Senin, 15 Juli 2013

17. Pelangi Setelah Hujan (Ending)

17. Pelangi Setelah Hujan

            Sejak saat itu komunikasi Ilmi dan Alan benar-benar terputus. Beberapa bulan berlalu namun Alan tak pernah menghubunginya lagi. Ilmi mengerti pasti Alan sangat kecewa dan mungkin tidak lagi mau berkomunikasi dengannya.
            Sementara itu, Ilmi melewati hari-harinya dengan haru pilu bersama keluarganya. Ilmi benar-benar berupaya menjadi anak dan kakak yang baik untuk Ibu dan adik-adiknya. Ilmi sangat bangga dengan kedua adiknya yang berbudi pekerti baik serta menjadi siswa-siswi yang berprestasi disekolahnya.
            Aira sedang giat-giatnya belajar demi mengupayakan beasiswa kuliah gratis dari pemerintah yang akan diberikan kepada siswa yang berprestasi. Sedangkan Hafis selalu saja memenangkan perlombaan cerdas-cermat baik itu disekolah, maupun menjadi utusan mewakili sekolahnya ke tingkat kabupaten.
            Hari itu Ilmi mengajak kedua adiknya berziarah ke makam Bapak mereka. Rutinitas itu selalu mereka lakukan setiap akhir bulan guna menghilangkan rasa rindu mereka kepada sang Bapak. Hari itu Ibunya tidak ikut karena mereka pergi di sore hari sedangkan Ibunya masih harus menyelesaikan pekerjaan. Sesampainya di depan pusara sang Bapak, Ilmi tak pernah bisa menahan meneteskan air mata. Kenangan akan sosok Bapak yang begitu arif dalam memimpin keluarga selalu menghampirinya. Bersama kedua sanga adik Ilmi membacakan do’a untuk sang Bapak guna ketenangannya di alam sana.
            Setelah mereasa puas melepas rindu, mereka bergegas pulang kerumah. Jarak pemakaman dari rumah mereka tidaklah jauh sehingga mereka tidak menaiki kendaraan dan hanya berjalan kaki setiap kali pergi berziarah. Sesampainya di depan rumah, Aira melihat ada sepatu pria yang terletak didepan pintu rumahnya.
            “Sepertinya ada tamu, tapi siapa ya kak yang datang sore-sore begini?”.
            Mendengar perkataan Aira, Ilmi langsung memperhatikan sepatu hitam yang terlihat mengkilap karena dirawat baik oleh pemiliknya terletak didepan pintu rumah mereka. Ia sedikitpun tidak bisa menduga siapa tamu yang sedang berada didalam rumahnya. Sedangkan Hafis malah tertarik dengan sepatu tersebut dan mencoba mengenakannya. Namun sayang karena kakinya masih terlampau kecil sehingga sepatu itu terlihat begitu besar dikenakannya.
            “Fis…jangan dek..cepat lepas dan letakkan lagi, nanti sepatunya rusak”. Aira dan Ilmi merasa geli dengan tingkah adik mereka, setelah meletakkan kembali sepatu tersebut, Hafis pun langsung masuk kedalam rumah disusul oleh kedua kakaknya. Saat masuk dan melihat ternyata tamu yang datang tak lain adalah Alan. Jantung Ilmi spontan berdetak kencang tidak karuan. Ia seakan sedang bermimpi melihat tamu pria yang sedang berbicara dengan Ibunya saat itu adalah Alan.
            “Mereka sudah pulang. Nak Alan bilang dia temanmu Mi, kasian dia agak kesusahan katanya mencari rumah kita”. Jelas sang Ibu.
            Ilmi masih terdiam dan menatap Alan yang kini benar-benar hadir dihadapannya. Ia tidak menyangka setelah beberapa bulan tidak mendengar kabarnya, hari itu ia bisa melihatnya kembali secara langsung.
            “Iya bu..sebentar Ilmi buatkan minum dulu”.
            “Tidak usah kak, Ra saja”.
            Ilmi semakin salah tingkah karena dia bermaksud mengambil kesempatan membuatkan minum untuk Alan suapaya dapat menenangkan hatinya yang sedang tak menentu. Alan pun terlihat memperhatikan Ilmi dengan seksama. Iya yakin kedatangannya yang begitu mendadak pasti membuat Ilmi sangat terkejut ditambah lagi komunikasi mereka terputus total dalam beberapa bulan terakhir.
            Ilmi merasa canggung kini berhadapan dengan Alan, semua perasaan menggelayutinya. Mereka dibiarkan berbicara berdua karena Ibu dan adik-adiknya tau tamu itu adalah teman Ilmi yang memang ingin bertemu dengannya.
            “Mas tau darimana alamat rumah Ilmi?”
            Ilmi heran kenapa Alan bisa sampai kerumahnya. Alan pun menceritakan bahwa dia sebenarnya sudah beberapa hari melakukan pekerjaanya di kampus cabang dari universitas tempatnya bekerja di Medan. Kampus tersebut terletak diluar kota dari tempat tinggal Ilmi yang jarak tempuhnya sekitar tiga puluh menit. Pihak kampus memintanya melakukan peninjauan selama sepuluh hari di kampus yang baru dibuka itu. Kebetulan hari itu dia tidak ada jadwal, ia memanfaatkan waktu tersebut untuk berkunjung ke rumah Ilmi yang diketahuinya alamat rumah tersebut dari Putri.
            “Jadi ceritanya Universitas tempat aku bekerja sedang membuka beberapa cabang di kabupaten”. Jelas Alan.
            “Owh…tapi kenapa Mas tidak bilang Ilmi dulu kalau mau datang?”
            “Aku sengaja, mau balas dendam karena kamu dulu pulang gak bilang-bilang sama aku”
            Ilmi tertawa mendengarnya. Ilmi tidak menyangka Alan masih memendam jengkel atas sikapnya bahkan berkesempatan untuk membalas.
            “Aku pamit pulang dulu ya Mi, takut nanti kemalaman”
“Owh yasudah hati-hati ya Mas, Ilmi senang Mas mau bertamu ke gubuk kami ini”.
“Mi…meskipun gubuk, namun menyimpan bidadari didalamnya” sahut Alan sambil melempar senyum pada Ilmi. Alan kemudian pamit kepada Ibu dan adik-adik Ilmi. Tampak ia begitu sulit memalingkan wajahnya dari Ilmi untuk kemudian pergi dari rumah itu. Sementara Ilmi begitu senang hatinya karena Alan ternyata tidak marah padanya bahkan masih mau menyempatkan diri mengunjunginya.
Malam harinya Ilmi menerima sms dari Alan. Alan menanyakan kegiatan yang sedang dilakukannya. Ilmi dengan senang hati membalas sms tersebut. Beberapa saat kemudian Alan mengirimkan sms minta izin untuk diperbolehkan bertamu lagi kerumahnya sebelum kembali ke Medan. Ilmi tentu saja memperbolehkan Alan datang kerumahnya kapanpun dia mau. Karena pertemuan yang begitu singkat kemarin tak mampu  menghapus rindu Ilmi padanya.
Keesokan harinya seperti yang dijanjikan, Alan benar-benar datang kembali bertamu kerumahnya. Lama mereka berbincang-bincang mengenai kegiatan masing-masing. Binar kerinduan tampak jelas melekat disetiap sorot mata kedua sejoli itu. Tidak ada yang berubah jika mereka bertemu. Selalu saja Alan mampu membuat Ilmi merasa gembira dengan segala leluconnya.
“Besok Aku balik ke Medan Mi” tiba-tiba saja Alan mengatakan hal yang sedikit membuat semangat bicara Ilmi menurun.
“Sudah selesai ya Mas urusan ke kampus itu?”
“Iya sudah..Tapi seminggu kemudian aku dipindah tugas menjadi dosen tetap disitu”
“Maksud Mas?” tanya Ilmi heran.
“Sebelumnya aku minta maaf selama ini tidak pernah menghubungimu. Aku disibukkan dengan penyelesaian S2 ku beberapa bulan ini. Aku habiskan waktu untuk fokus pada risetku. Alhamdulillah studiku sudah selesai. Berhubung pihak Universitas membuka cabang ke daerah-daerah lain termasuk tempat yang sekarang akan menjadi tempat kerjaku. Aku tertarik untuk mencoba pindah mengajar ke tempat itu”. Jelas Alan mengenai kepindahannya.
“Tapi kenapa mesti pindah Mas? Bukannya di sana Mas sudah mendapat posisi yang baik, Mas juga sudah memiliki tempat tinggal disana?”. Tanya Ilmi sambil melemparkan tatapan penuh keheranan, karena yang dilakukan Alan termasuk hal yang membuang-buang waktu dan tenaga saja fikir Ilmi.
“Aku tahu tempat itu tidak jauh dari tempat tinggalmu Mi, itu membuat aku melakukan semuanya, sulit rasanya bagiku menerima penolakanmu hanya karena masalah jarak. Apa salahnya aku berusaha menggapai kebahagiaanku kalau memang aku mampu”.
Penjelasan Alan tak hanya membuat Ilmi terharu, ia juga takjub dengan usaha Alan demi untuk mendapatkan dirinya.
“Mas serius dengan semua  ini?”
“Setiap hari aku berdoa meminta petunjuk untuk mengikhlaskanmu atau terus berusaha mendapatkanmu. Alhamdulillah sholat Istikharah menjawab segalanya. Allah memberikan petunjuk bagiku lewat pkerjaan ini”.
“Subhanallah..Ilmi tidak tahu harus bilang apa Mas, Ilmi tidak menyangka Mas lakukan semua ini hanya karena Ilmi”.
“Jadi apa masih ada alasan bagimu menolakku Mi?
Ilmi terhenyak mendengar kata-kata terakhir yang Alan ucapkan, ia tidak menyangka hari itu ia kembali di lamar oleh Alan.
“Jika Ibu merestui, Ilmi bersedia Mas”.
Dengan setulus hati Alan pun menyampaikan niat baiknya memperistri Ilmi kepada Ibunya. Bak gayung bersambut, Ibu dan adik-adik Ilmi merestui mereka. Alan yang baru beberapa hari memperkenalkan diri ternyata cukup bersahaja dimata keluarga Ilmi.
Setelah menyelesaikan urusan kepindahan tugasnya. Alan pun memboyong kedua orang tuanya untuk meminang Ilmi secara resmi. Beberapa bulan kemudian akhirnya mereka resmi menjadi suami istri. Prosesi akad nikah di sebuah mesjid yang diwalikan oleh pamannya dan dan di saksikan oleh seluruh sanak saudara benar-benar berlangsung khidmat. Keesokan harinya resepsi pernikahan yang sederhana namun cukup sakral itu pun berlangsung di kediaman Ilmi. Putri sahabatnya juga turut hadir dalam pesta itu dan menyaksikan Ilmi yang akhirnya mulai menemukan mentari yang selama ini enggan menyinari mendungnya kehidupan sahabatnya itu.
Takkan terwakilkan oleh apapun rasanya kebahagiaan yang Ilmi rasakan hari ini Mas. Terimakasih telah mempercayai Ilmi untuk mendampingimu Mas” ucap Ilmi pada Alan saat mereka memasuki kamar pengantin mereka.
            Jangan berterima kasih begitu sayang, kita bersatu karena memang Allah telah memberi restu. Mulai sekarang apapun yang terjadi kita hadapi bersama. sambut Alan sambil menggenggam erat kedua tangan Ilmi. Kedua matanya tak lepas memandang wajah Ilmi sambil tersenyum. Ilmi menunduk malu, hatinya bergetar saat telapak tangan Alan menyentuh dagunya kemudian mengecup keningnya. Kini di hadapannya hadir secara nyata orang yang selalu memenuhi mimpi-mimpinya siang dan malam.
Kehidupan Ilmi pun perlahan berubah menjadi lebih baik. Berkah yang diterimanya datang silih berganti. Menyadari kemapuan yang di miliki Ilmi, Alan pun membuka tempat bimbingan belajar dimana Ilmi dan Aira menjadi tenaga pengajar. Rizky yang diberikan Allah pada mereka tak henti-hentinya mengalir. Tempat bimbingan belajar itu menjadi salah satu bimbel terbaik di kota itu. Alan juga mensupport Ilmi untuk kuliah sesuai jurusan yang di inginkannya. Ilmi sangat senang hatinya akan segala pengertian dan pengorbanan Alan untuk membahagiakannya. Ilmi tidak menyangka akhirnya bisa duduk di bangku kuliah meskipun dalam usia yang tidak muda lagi, namun baginya menuntut Ilmi tidaklah memandang usia. Ilmi menjalani aktivitasnya sebagai Istri sekaligus calon Ibu dari bayi laki-laki yang dikandungnya serta terus mengikuti kegiatan kuliah. Semua bisa terlaksana dengan baik karena kepiawaian Alan dalam membimbingnya. Sosok Alan benar-benar segalanya bagi Ilmi.
Ilmi selalu bersyukur atas segala nikmat yang kini diterima oleh-nya. Ia akhirnya bisa menikmati indahnya pelangi setelah diterpa derasnya hujan.

16. Maaf (Pelangi Setelah Hujan)

16. Maaf
            Bus melaju cepat hingga tak terasa beberapa saat lagi Ilmi akan tiba kembali dikampungnya yang sudah hampir dua tahun ditinggal olehnya. Banyak hal memenuhi lamunannya sepanjang perjalanan saat matanya memperhatikan pepohonan yang dilalui sepanjang jalan. Rindu ingin segera berkumpul lagi ditengah-tengah keluarganya serta berharap dapat melihat Hafis adiknya segera sembuh menggelayuti fikirannya. Ditambah lagi pertimbangan akan keputusan yang harus segera diambilnya atas keinginan Alan untuk mempersunting dirinya benar-benar ingin membuat seisi kepalanya keluar berhamburan. Ilmi bahkan tidak membertahu Alan mengenai kepulangannya. Disamping yang memang sangat mendadak, momen pertemuannya tadi malam dianggap tidak tepat karena ia takut Alan berfikir bahwa ia menghindar darinya.
            Sekitar jam setengah sembilan malam Ilmi tiba dikampungnya. Ilmi pun memanggil becak guna mengantarkannya kerumah. Sesampainya di depan rumah, tampak Ibunya yang sudah menanti kedatangannya didepan pintu, Ilmi pun mempercepat langkahnya untuk segera dapat memeluk Ibunya. Saat hambruk di pelukan sang Ibu, Ilmi tak kuasa menahan air mata yang mengalir di pipinya. Perasaan senang dan rindu yang tak tak terbendung mewarnai pertemuan anak dan Ibu tersebut.
            “Ibu senang kamu pulang dengan selamat Mi”
            “Iya Bu, Ilmi juga senang bisa pulang dan bertemu Ibu lagi”
            “Kita ke klinik saja ya, Aira disana menemani Hafis”
            Ilmi tak lagi memperdulikan kondisinya yang lelah karena seharian diperjalanan, bahkan pada saat itu perutnya belim terisi oleh makanan. Kedua Ibu dan anak tersebut langsung saja pergi ke klinik. Sesampainya di klinik Ilmi tampak terburu-buru menuju ruang dimana Hafis dirawat karena tidak sabar ingin melihat keadaan adik bungsunya itu. Memasuki ruang tersebut, Ilmi melihat Hafis yang tertidur dengan infus yang terpasang ke lengannya. Tubuhnya tampak kurus dan pucat. Aira pun menhampirinya dan memeluk kakaknya tersebut. Keluarga yang tak lagi memiliki sosok seorang ayah itu tenggelam dalam keharuan suasana keluarga.
            “Ra senang kakak akhirnya pulang. Sebelum sakit, Hafis sering menanyakan kapan kakak pulang”. Perkataan Aira benar-benar menyentuh hati Ilmi, betapa adik bungsunya merindukan dirinya.
            “Iya Ra, kakak juga sangat rindu dengan kalian. Bagaimana perkembangan kondisi Hafis?”
            “Alhamdulillah sudah lebih baik kak”
            “Syukurlah Ra, kasian dia masih terlalu kecil sudah harus mengalami sakit separah ini, tubuhnya kurus, padahal dia biasanya selalu buat kita gemas dengan tubuhnya yang gempal”
            Ilmi mendekati Hafis dan duduk di sisi ranjang adiknya. Diusapnya kepala adiknya tersebut hingga terasa olehnya suhu tubuh Hafis yang sangat tinggi. Ilmi merasa keputusannya untuk pulang sangatlah tepat, keluarganya benar-benar dalam kondisi rapuh, setidaknya meskipun dia tidak bisa membantu banyak, dengan berkumpulnya ia kembali dapat memberikan semangat yang saat itu sangat dibutuhkan Ibu dan adik-adiknya.
            Keesokan harinya Hafis semakin menunjukkan tanda-tanda semakin membaik. “Jika memang kondisinya memungkinkan, ia boleh dibawa pulang besok sore”, kata dokter yang memeriksa Hafis malam itu. Ilmi sekeluarga pun sangat senang karena Hafis benar-benar membaik hari itu. Setidaknya selain memang sudah membaik, mereka tidak perlu lagi menanggung biaya klinik yang cukup menguras keuangan mereka yang sangat minim.
            Ilmi dan Aira mempersiapkan makanan untuk dimakan malam itu. Hafis tampak asyik duduk dipangkuan Ibunya, selain karena tubuhnya yang masih lemah, Hafis juga memang sangat manja. Aira pun senang akan kehadiran kembali sosok kakak dihidupnya. Masa-masa pertumbuhannya kearah dewasa benar-benar butuh seorang kakak untuk dijadikan tempat berbagi.
            “Kakak gak balik lagi kan kemedan?” Pertanyaan Aira seakan berharap Ilmi tidak lagi pergi meninggalkan mereka.
            “Kakak belum tahu Ra, kalau memang disini memungkinkan untuk mendapatkan pekerjaan yang mencukupi kebutuhan kita mungkin saja kakak tidak balik lagi kesana”.
            “Ra bisa ikut bekerja kok kak, kakak dulu bisa bantu Ibu sambil sekolah, kenapa Ra tidak”.
            “Jangan Ra, kalian fokus saja sekolah, kakak tidak mau sekolahmu terganggu”.
            “Kita harus kerja sama kak, kakak jangan takut, Ra tetap menjaga nilai-nilai Ra disekolah tetap baik kok”.
            “Sudah jangan bandal, turuti saja nasehat kakak, ada nanti masanya kalian untuk mencari nafkah, tapi sekarang tugas kalian menuntut Ilmi dan harus mendapat nilai terbaik”.
            “Bukan hanya masalah uang kak, tapi kami butuh kakak disini, Ibu terkadang sakit-sakitan, Ra butuh kakak sebagai anak tertua ada disini agar segala masalah bisa kita hadapi bersama”. Kata-kata terakhir Aira cukup keras sehingga terdengar oleh Ibu mereka, sang Ibu pun menghampiri kedua Putrinya guna menengahi perdebatan yang sedang terjadi.
            “Sudahlah Ra, tidak boleh begitu, Kakakmu sudah berkorban banyak, biarkan  dia memutuskan sendiri jalan mana yang harus ditempuhnya. Kakakmu bukan pergi untuk dirinya sendiri melainkan untuk kita semua”.
            Ilmi benar-benar tersentuh hatinya dengan perkataan Ibunya tersebut, Ibunya bisa saja mengatakan rela jika harus ditinggal pergi lagi olehnya. Namun apa yang terlihat olehnya di mata sang Ibu tidaklah sama dengan apa yang diucapkan. Sama seperti Aira, Ibunya juga tampak sangat berharap dia tidak lagi pergi meninggalkan mereka.
            “Tidak Bu, Ilmi tidak akan pergi lagi. Uang bisa dicari dimana saja, tapi keluarga takkan bisa Ilmi temukan selain disini”.
            Aira dan Ibunya benar-benar terkejut mendengar apa yang dikatakan oleh Ilmi, mereka tidak menyangka Ilmi mau memenuhi permintaan mereka. Sejak saat itu Ilmi memutuskan untuk mencari pekerjaan baru dikampungnya saja. Berharap besar dari relasi bisnis pamannya, akhirnya Ilmi mendapat pekerjaan sebagai buruh di salah satu pabrik terasi dikampung mereka. Meskipun gajinya tidak sebesar yang ia peroleh sebagai seorang kasir, tapi setidaknya dia bisa terus berada ditengah keluarganya.
            Sementara itu, hatinya masih  dirundung kegalauan akan pria yang selalu memenuhi benaknya. Kemungkinan dirinya untuk bisa menerima lamaran Alan pupuslah sudah. Ia tidak mungkin mengecewakan Ibu dan adik-adiknya dengan menikah dan pergi meninggalkan mereka karena kondisi pekerjaan Alan yang sudah menetap dikota lain yang cukup jauh dari tempat mereka.
            Sudah seminggu Ia tidak berkomunikasi dengan Alan. Sedangkan Alan benar-benar harus melewati hari-hari dalam penantian akan keinginannya memiliki gadis yang sangat dicintainya.
            Malam itu tepatnya malam minggu Alan tak kuasa menahan dirinya untuk bertemu Ilmi. Ia begitu Rindu akan pujaan hatinya yang setiap waktu mengisi relung hatinya. Selepas sholat Isya, Alan nekat datang kekost Putri untuk menemui Ilmi, ia tidak perduli jikalau Ilmi marah padanya yang tidak tepat janji menunggu jawaban darinya. Ia telah siap dengan semua resiko meskipun ditolak sekalipun demi terlepas dari segala kegundahan yang beberapa hari belakangan ini selalu menyelimutinya. Saat tiba dikos Putri, Ia disambut baik oleh Putri meskipun Putri tampak terkejut dengan kehadirannya.
            “Ilmi ada kan Put?” Putri bingung harus menjawab apa, ia tahu bahwa Ilmi merahasiakan kepulangannya, tapi Putri juga tidak menyangka Ilmi sampai saat itu belum memberi tahu Alan dimana dirinya. Melihat Alan yang begitu berharap dapat bertemu sahabatnya tersebut membuat Putri Iba dan akhirnya menceritakan semua yang terjadi. Mendengar hal itu Alan shock berat. Nampak jelas kekecewaan mewarnai raut wajahnya. Alan tidak menyangka jika Ilmi harus merahasiakan kepulangannya darinya.
            Malam itu Alan benar-benar diliputi gundah dan gelisah. Ia bingung apa yang harus diperbuatnya. Disamping ia sangat ingin mengetahui jawaban yang akan diberikan Ilmi padanya, Ia juga khawatir dengan keadaan keluarga Ilmi disana. Lama Alan terdiam membisu dikamarnya sambil memegang ponselnya. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk menelpon Ilmi dan mencari tahu kebenarannya.
“Halo…Assalamualaikum” Ilmi akhirnya menjawab telpon dari Alan setelah sekitar empat kali ponselnya dibiarkan begitu saja berdering. Mendengar sahutan dari Ilmi, Alan pun senang lah hatinya.
“Waalaikumsalam…maaf Mi kalau aku mengganggumu”
            “Tidak kok Mas”
            Lama mereka terdiam membisu. Ilmi bingung dengan maksud Alan menelponnya. Ia menduga jika Alan tidak sabar menanti keputusannya, namun ia juga berfikiran sepertinya Alan sudah mengetahui keberadaannya. Sementara itu Alan cukup lega hatinya bisa mendengar kembali suara Ilmi yang sudah hampir seminggu tidak terdengar olehnya.
            “Bagaimana kabar Hafis Mi, sudah sembuh kan?”
            Ilmi tidak menduga Alan langsung bertanya akan hal itu, ternyata benar dugaannya bahwa Alan telah mengetahui kepulangannya.
            “Alhamdulillah sudah Mas. Mas maafkan Ilmi karena tidak memberitahukan kepulangan Ilmi kepada Mas”.
            “Tidak perlu minta maaf. Jujur aku sedikit kecewa ternyata aku belum sepenuhnya dijadikan sahabat tempatmu berbagi, tapi memang aku tidak berhak untuk tau sepenuhnya tentangmu”.
            “Bukan begitu Mas, sebenarnya malam itu Ilmi ingin cerita sama Mas, Tapi Ilmi tidak mau Mas mengira Ilmi mencoba menghindar dari Mas”.
            “Iya Mi sudahlah, aku mengerti. Aku menelpon hanya ingin tahu kabarmu dan Hafis, sampaikan salamku pada Ibu ya”.
            “Iya Mas terimakasih, nanti Ilmi sampaikan, tapi jangan tutup dulu telponnya”.
            Alan sempat berdegup jantungnya seakan tahu apa yang hendak disampaikan Ilmi selanjutnya.
            “Sekali lagi Ilmi mohon maaf Mas, Ilmi tidak bisa menerima lamaran Mas Alan”. Ilmi benar-benar berat untuk mengatakan keputusannya saat itu, namun ia juga tidak mampu untuk memendamnya lebih lama lagi, karena sampai kapanpun jawabannya tidaklah berubah.
            “Kenapa Mi, boleh aku tau alasannya?”
            “Mas pasti juga sudah tau kalau Ilmi juga sangat menyayangi Mas Alan, tapi kondisi yang membuat kita tidak bisa bersatu Mas. Ilmi tidak mungkin mementingkan diri sendiri sementara disini Ibu dan adik-adik sangat membutuhkan Ilmi ada diantara mereka. Ilmi sudah mendapat pekerjaan baru disini, Ilmi tidak akan balik lagi kesana. Sementara Mas Alan tidak mungkin meninggalkan kota itu. Disanalah tempat Mas, disanalah Mas mendapatkan rezeki, semuanya sudah cukup jadi alasan kalau kita memang tidak bisa bersatu”. Tanpa disadarinya air mata mengalir semakin deras di pipinya, terasa begitu sakit olehnya saat ia harus menolak semua angan-angan indahnya itu. Ilmi tidak pernah membayangkan sebelumnya aka nada seorang pria yang begitu sepenuh hati menginginkan dirinya untuk jadi pendamping. Hingga akhirnya waktu mempertemukan, disaat itu juga ia harus ikhlas melepasnya karena keluarga lebih utama baginya.
            “Iya Mi, aku bisa memahaminya, terima kasih sudah hadir di hidupku, aku yakin jika memang Ilmi yang telah ditakdirkan oleh-Nya untukku, kita pasti akan bersatu”. Terdengar nada suara Alan mulai rendah, tak terkira lagi hancur hatinya malam itu saat mengetahui semua kenyataan pahit yang harus diterimanya disaat bersamaan.

Rabu, 03 Juli 2013

15. Pangeran Berkuda Putih (Pelangi Setelah Hujan)

15. Pangeran Berkuda Putih (Pelangi Setelah Hujan)
            Perlahan jemari tangan Ilmi mulai bergerak hingga akhirnya dia membuka kelopak matanya. Ilmi tampak heran dan memperhatikan sekelilingnya yang dirasakannya begitu asing. Ilmi melihat kesisi sebelah kiri tempat tidur ia di rawat ada seorang gadis yang tertidur dengan tangan yang menggenggam tangan kirinya. Ilmi  mulai teringat akan peristiwa terakhir yang dialaminya. Ia mulai sadar bahwa dia tidak sadarkan diri sejak siang hari dan kini terjaga pada saat pukul setengah sepuluh malam.
            Ia melihat Putri tertidur pulas di sisi rajangnya. Ilmi tidak bermaksud membangunkan Putri namun Putri langsung terjaga karena pergerakan yang dilakukan olehnya.
            “Ilmiiiiiiiiiiiiii….syukurlah kamu sudah sadar”
            “Dokter bilang kamu akan siuman setelah tiga jam selesai operasi, tapi sudah empat jam tidak sadar juga, aku khawatir tadi”.
            Putri tampak begitu bersemangat mencerita perihal kejadian yang telah menimpa Ilmi. Disamping itu dia sangat senang karena Ilmi sudah kembali terjaga dari tidurnya.
            “Kamu keliatannya capek Put, kalau mau pulang gak apa-apa kok, aku gak apa-apa disini sendiri, nanti ka nada suster yang memeriksa beberapa jam sekali” Tutur Imi pada sahabatnya yang begitu terlihat lelah olehnya sembari menggenggam tangannya.
            “Kamu tu ya, selalu bisa bilang sendiri, gara-gara terlalu pede kemana-mana sendiri makanya jadi kayak gini”. Bantah Putri dengan juteknya. Ilmi pun tersenyum melihat respon Putri.
            “Makasi ya Put, entah apa jadinya nasibku kalo kamu gak ada disini, tapi kamu tidak bilang ke Ibu kan Put?” Ilmi takut jikalau Ibunya tahu hal yang menimpa dirinya. Pasti Ibunya akan sangat khawatir dan akan menambah beban fikirannya.
            “Udah kamu tenang aja, semuanya aman Mi, aku panggilkan perawatnya dulu ya, mana tau ada yang harus diperiksa”. Putri pun beranjak keluar dari kamar tersebut menuju perawat yang sedang berjaga guna mengecek keadaan Ilmi yang sudah siuman.
            Butiran air mata mengalir di pipi Ilmi. Ia merasa begitu ceroboh dan bodoh selalu saja menyusahkan orang-orang disekitarnya. Baru saja ia mendapat perkerjaan dan gaji yang lumayan. Sudah datang musibah yang harus mengehentikan semua aktivitasnya entah untuk berapa lama.
            Ilmi pun meraba kepalanya yang terbalut perban. Kepalanya terasa pusing. Samar-sama dia ingat bahwa kepalanya terbentur karena tertabrak sepeda motor hingga akhirnya dia tidak sadarkan diri lagi.
            Keesokannya setelah mengurus sarapan pagi dan memastikan kondisi Ilmi yang cukup stabil, Putri mohon pamit untuk meninggalkan Ilmi karena ada kuliah yang harus diikutinya.
            “Nanti kalo sudah pulang kuliah aku langsung kesini, kalo ada apa-apa jangan langsung kabari aku ya Mi”.
            “Ok bos..thanks ya Put” jawab Ilmi sambil melempar senyuman pada sahabatnya tersebut.
            Putri pun bergegas pergi dari ruang tersebut. Saat hendak keluar dari gerbang ia berpapasan dengan Fadlan yang sepertinya berniat masuk ke dalam. Fadlan tampak menghampirinya dengan wajah yang terlihat ramah. Putri agak sedikit bingung dan malu atas sikap kasar yang dilakukannya semalam.
            “Mau kemana Dik, saya baru saja hendak menjenguk teman Dik Putri”. Terlihat di tangan kanannya menggenggam bungkusan yang berisi buah-buahan.
            “Saya mau pulang Pak, silahkan saja Pak, tadi dia baru selesai sarapan, dan kebetulan sedang sendiri karena saya harus buru-buru pergi”. Putri tampak kikuk, disamping rasa tidak enak dihatinya, dia juga merasa sangat tidak sopan dengan seseorang yang berstatus dosen ditempatnya kuliah.
            Fadlan hanya terheran melihat ekspresi Putri yang tampak kebingungan dan terlihat lebih sopan. Tapi dia tidak berbincang banyak dengan gadis berwajah oriental tersebut karena Putri buru-buru pergi meninggalkannya.
            Fadlan pun menuju ke ruangan tempat Ilmi dirawat. Memasuki ruangan yang berisikan beberapa pasien tersebut, Fadlan seakan sudah bisa menduga mana Ilmi karena hanya dia pasien yang seumuran dengan Putri. Fadlan langsung saja menyapa Ilmi dengan nada ramah dan senyum tergambar jelas di wajahnya.
            Ilmi tampak heran dengan lelaki yang tidak dikenalnya dan tiba-tiba datang menjenguknya. Fadlan tampak lebih berwibawa hari itu dengan stelan kemeja kerja yang biasa dikenakannya. Lelaki yang berparas tampan dengan susunan alis bak semut beriring tersebut hampir membuat Ilmi tidak mengedipkan mata melihatnya.
            “Selamat pagi, Dik Ilmi kan?” sapaan ramah dilemparkan oleh Fadlan sebagai awal pembuka percakapan.
            “Iya saya Ilmi, maaf Bapak siapa ya?” jawab Ilmi yang masih heran namun tetap bersikap ramah ciri khas dirinya yang selalu dilakukan kepada siapapun.
            “Hmmm…Saya Fadlan, panggilan akrab saya Alan”
            “Nama yang bagus sama seperti orangnya” Bisik Ilmi dalam hati.
            “Maaf dik jika saya lancang datang kesini, karena saya lah semalam yang telah menabrak dik Ilmi hingga jadi berkondisi seperti sekarang  ini”. Alan menghentikan kata-katanya dan menghela nafas. Ilmi pun sempat terkejut dengan pengakuannya. Ilmi memperhatikan terdapat beberapa luka di dahi dan lengan laki-laki yang sedang berdiri di hadapannya tersebut membuatnya yakin bahwa sepertinya ia tidak sedang berbohong.
            “Tidak apa-apa Pak, semalam itu musibah yang juga terjadi karena kecerobohan saya tidak berhati-hati menyebrangi jalan”. Ilmi berusaha mencairkan Susana karena melihat ketegangan diwajah Alan.
            Alan merasakan kondisi yang bertolak belakang dengan apa yang telah dibayangkannya, berdasarkan sikap Putri padanya semalam, Ia berfikir Ilmi akan lebih histeris lagi mendegarkan pengakuannya. “Terima kasih Dik, tapi sekali lagi saya mohon maaf”. Balasnya sambil merekahkan senyum di bibirnya. Perasaan bersalah tidak begitu saja hilang dari benaknya melihat Ilmi yang menjadi korban kini terbaring tidak berdaya dengan perban yang melilit kepalanya dan selang infus yang masih menancap di lengan kanannya. Alan berjanji dalam hati akan mempertanggung jawabakan semua perbuatannya.
            “Iya pak sama-sam, Ilmi juga begitu”
            “Jangan panggil saya Pak, panggil saja saya Mas Alan, umur saya masih 26 tahun kok Mi”.
            Ilmi tersenyum mendengar penuturannya. Penampilannya yang bersahaja dan begitu rapi membuat Ilmi merasa tidak hormat jika harus memanggil namanya secara langsung. “Baiklah Mas” jawab Ilmi.
            “Saya semalam sudah bertemu dengan teman kamu Putri waktu membicarakan kasus ini, dia tampak marah sekali dengan saya”.
“Hehehe…dia memang agak jutek mas apalagi sampai ngeliat saya seperti ini, pasti dia jadi emosi”.
“Tapi tadi sepertinya dia terburu-buru pergi saat berpapasan dengan saya di gerbang”.
“Iya dia mau kuliah Mas, dari semalam dia sudah lelah menjaga saya”. Ilmi menceritakan perihal kedekatan mereka sebagai sahabat. Ilmi juga mengatakan bahwa Putri bukan saja sahabat melainkan sudah dianggap saudara olehnya.
Alan nampak asyik mendengarnya. Ia mulai mengerti betapa dekatnya hubungan mereka. Jadi wajar baginya jika Putri semalam seemosi itu melihatnya. “Kalau saya boleh tau dia kuliah dimana ya Mi?” tanya alan.
            Ilmi pun memberitahukan dimana Putri mendalami studi Pendidikan Matematikanya yang ternyata juga tempat dimana Alan mengajar. Alan sedikit terkejut dan mulai paham dengan perubahan sikap Putri padanya pagi tadi. Ia menduga bahwa Putri pasti sudah mengenalnya sebelumnya karena mereka berkecimpung di fakultas yang sama.
            “Kebetulan ya Mi, saya juga mengajar disitu sebagai dosen fisika”.
Ilmi sudah menduga bahwa lelaki yang sedang dihadapannya bukan orang biasa karena tampak dari penampilan dan cara bertutur kata yang terlihat sebagai seorang yang terpelajar. “Wah..hebat ya Mas, pasti mas pintar, masih muda sudah  jadi  dosen”. Penuturan Ilmi tersebut mengembangkan senyum diwajah Alan.
“Semuanya tergantung usaha Mi, saya juga perantau disini, Orang tua saya hanya bisa memberikan uang pas-pasan setiap bulan selama masa kuliah saya. Tapi itu sudah sangat saya syukuri. Saya selalu belajar keras demi mencoba beberapa beasiswa yang bisa membantu menopang biaya kuliah saya yang akhirnya saya dapatkan. Alhamdulillah Allah seakan selalu mendengar do’a saya dan membalas semua jerih payah saya. Seorang dosen mengangkat saya menjadi asisten. Beliau mengupayakan saya mendapatkan beasiswa untuk S2 dan meminta saya melanjutkan kuliah sambil mengajar. Saya pun mengikuti saran beliau dan melanjutkan kuliah sambil mengajar hingga akhirnya saya diangkat menjadi dosen”. Alan terus menceritakan pengalaman hidupnya yang semakin membuat Ilmi terpana. Sedikitpun tidak ada rasa benci di hatinya pada Alan akibat kecelakaan yang dialaminya. Malah ia semakin terkagum akan sosok Alan yang hangat dan penuh potensi itu.
“Maaf Mi, saya jadi terlalu banyak bicara, tapi saya selalu menceritakan pengalaman saya ini guna membangkitkan semangat adik-adik yang menurut saya masih mempunyai kesempatan meraih semua hal yang mereka impikan. Asalkan beruusaha dan berdo’a, Insya Allah semua bisa diraih.
“Wooww…fantastis, Ilmi jadi lupa sama nyeri di kepala Ilmi karena cerita Mas Alan. Ilmi jadi pengen cepat-cepat sembuh juga biar bisa bekerja lagi Mas”. Tutur Ilmi yang tampak lebih bersemangat setelah beberapa saat berbincan-bincang dengan teman barunya tersebut.
Setelah hampir satu jam menghabiskan waktu ngobrol dengan Ilmi, Alan pamit undur diri karena ada jadwal mengajar yang harus dipenuhinya. Ia juga melihat Ilmi butuh istirahat. Sementara itu Ilmi cukup senang dengan kehadiran Alan pagi itu. Tidak pernah dia merasakan senyaman itu berbicara dengan lawan jenisnya. Setelah Alan keluar dari ruangannya, Ilmi mulai berkenalan pula dengan  pasien-pasien yang ada disekelilingnya yang rata-rata adalah manula dengan berbagai macam penyakit.
Setelah lelah bertegur sapa Ilmi kembali tertidur diatas ranjang rawatnya hingga akhirnya kedatangan Putri membawakan makan siang kesukaannya membangunkan Ilmi dari tidurnya. Ia senang melihat Putri kembali ada disampingnya ditambah lagi membawakan makanan yang sangat dia sukai.
“Kamu kok cepat pulang kuliahnya Put?”
“Iya nih Mi, dosen untuk sore ini tidak masuk, jadinya aku bisa pulang sekarang”.
Mereka kemudian menyantap makanan yang dibawa Putri bersama-sama. Kondisi Ilmi tampak lebih membaik dari sebelumnya, hanya saja dia masih sering mengeluhkan rasa sakit dikepalanya karena terbentur pada saat kecelakaan terjadi.
“Hmm…iya Put, tadi orang yang nabrak aku semalam datang kesini, namanya Alan”.
“Iya Mi, aku sudah kenal, tadi pagi juga papasan kok sama aku”
“Dia baik ya Put, ganteng lagi, hahahaha…” Ilmi tampak malu mengekspresikan kata-kata terakhirnya.
“Iya memang, tapi semalam sempat aku jutekin, abis aku kesal kenapa dia seceroboh itu”.
“Gak heran, nona Darting (Darah Tinggi)” julukan yang sedari dulu diberikan Ilmi pada Putri karena Putri sangat mudah terbawa emosi.
“Hahahaha…malah ternyata dia dosen dikampusku, segan banget Mi rasanya semalam marah-marahi Bapak itu”.
“Iya tadi Mas Alan juga bilang gitu pas aku kasi tau kamu kuliah dimana. Hebat banget lo Put, pengalaman hidupnnya luar biasa Put”. Ilmi tampak bersemangat saat menceritakan segala hal tentang Alan.
“Mas?” tanya Putri heran dengan nada mengejek dan lirikan nakal.
“Hmmm…iya..tadi dia minta dipanggil Mas” jawab Ilmi polos.
“Wah..wah…sepertinya ada something spesial nih yang udah terjadi, semangat amat ngomongin Alan, upss maksudnya Mas Alan”.
“iiiiicccchhhh apaan sich, biasa aja kok, aku kan Cuma kagum sama dia” Ilmi kemudian menceritakan semua pengalaman Alan yang tadi diceritakan oleh Alan padanya. Putri sebenarnya turut kagum karena untuk meraih beasiswa ataupun diangkat sebagai asdos yang kemudian menjadi dosen bukan hal yang mudah. Kesempatan yang sangat langka dan hanya bisa di raih oleh Mahasiswa yang benar-benar jenius.
“Iya..iya dech..tapi dia memang baik kok, semalam dia minta damai atas kasus ini dan berjanji membiayai semua tanggungan pengobatanmu, pas sorenya aku ke ruang administrasi, mereka bilang semuanya telah dilunasi oleh Fadlan”. Papar Putri.
“Masya Allah..kasian ya Put”
“Ya itu kan memang udah resiko dia Mi…”
Putri tak henti-henti membully Ilmi yang tampak sangat care pada Alan.
“Cie…cie…bukannya menumpas bajak laut, malah kesengsem sama pesona pangeran berkuda putih”.
“Hahahahaha…..” Mereka tertawa bersama-sama.