Rabu, 21 November 2012

Dia Jahat Ibu

Skenario kisah ini terlalu memuat peran yang menyedihkan untukku.
Aku lelah dengan peran yang selalu ditindas si Antagonis.
Bahkan dalam sinetron pun seorang budak diperkenankan untuk hidup bahagia, tetapi kenapa dunia nyata sepertinya terlalu kejam..??
Aku saja sampai lupa kapan terakhir tersenyum bahagia, kenyataan yang miris.

Lihat dirimu, lalu tatap aku, tidakkah kau sadar bahwa tanpa kau sakiti pun aku sudah begitu lemah??
Belum puas jugakah kecewakan si wanita yang tak berharga ini?
Aku tidak berharap kau bahagiakan, tidak mengecewakanku lagi saja sudah cukup.
Seharusnya itu hal yang mudah jika kau sayangi aku.
Ku upayakan segala hal yang buatmu senang, aku tidak minta balasan apapun, sedikit saja hargai aku.
Tapi sayangnya, dihargaipun sepertinya aku tidak berhak olehmu.
Kau kejam!!

Dia jahat Ibu
:'(
Bu, ajari aku memaafkannya


Selasa, 20 November 2012

Aku Gagal


Aku  dipermalukan oleh amarah.
Emosional menertawakanku dengan bangganya.
aku dikalahkan ego..
Kekecewaan meronta ingin menampar nafsu yg terus mencemooh diri

Pribadiku tak lagi bersahaja dimatanya
aku pendidik yang biarkan sang buah hati terluka
aku pendidik yang biarkan buah hati berlalu dihasut resah

Wajah polosnya penuh luka kecewa
Tersirat air mata ingin aliri pipi halusnya
Secuil harapan inginkan panggilanku tuk tahan langkahnya
Aku yang hanya mematung penuh keangkuhan
merasa diri penuh kebenaran

Aku kalah dalam peperangan ini
Aku gagal tuk bisa diteladani
Maafkan kakak yang jauh dari kesempurnaan ini





Minggu, 04 November 2012

SoulMate



            Akhirnya aku diterima disekolah  itu, salah satu sekolah menengah atas yang menjadi favorit di kampung halaman ku. Sejalan waktu aku mulai memiliki banyak teman termasuk berteman akrab dengan Ridwan dan Nia. Namun siapa yang bisa menyalahkan jika diantara persahabatan yang terjalin akhirnya tumbuh rasa cinta. Begitulah yang ku ketahui dari dua orang sahabatku itu.
            Namun mungkin bagi mereka persahabatan sangatlah berharga sehingga mereka lebih memilih mengekang rasa cinta yang ada demi menjaga hubungan persahabatan.
            Nia mulai membuka hati untuk yang lain, meskipun menurutku dihatinya masih tersimpan rasa sayang yang begitu besar pada Ridwan. Nia mengatakan padaku dia tidak ingin mengecewakan Aldi yang selama ini berupaya keras mendekatinya dan telah memberi perhatian lebih padanya dan akhirnya mereka resmi berpacaran.
            Mengetahui hal itu, Ridwan tetap berupaya untuk ikhlas, meski dalam lubuk hatinya begitu kecewa. Dia mengatakan padaku akan berusaha mengikhlaskan jika memang itu bisa membuat Nia bahagia.
            Hari minggu itu kami pun pergi bertamasya ke salah satu tempat wisata didaerahku. Kami berboncengan dengan speda motor bersama pasangan masing-masing, namun di hari itu Ridwan tidak mau ikut, aku bisa membaca ada kecemburuan di matanya jika melihat Nia bersama yang lain.
“Maaf Din, kalian aja yang pigi, aku gak bisa ikut karena ada urusan keluarga” jelas Ridwan padaku.
“Yaudah kalo memang gak bisa ikut jangan dipaksakan, aku tau kok wan alasan sebenarnya” aku menepuk pundak Ridwan dan berlalu darinya.
Namun belum sempat aku beranjak jauh, Ridwan berseru “Tolong jaga Nia baik-baik ya Din”, aku pun terhenti “Iya tenang aja, Nia aman bersama kami, Aldi  pasti bisa jaga dia Wan”.
            Terkadang aku tidak habis fikir dengan pilihan yang mereka buat, bagiku tidak masalah jika memang mereka mau menjalin hubungan lebih dari sahabat, tapi pasti ada alasan yang lebih kuat bagi mereka berdua sehingga memilih keputusan tersebut.
            Perjalanan pun kami mulai, sekitar empat speda motor berjalan beriringan dengan kecepatan yang standart menuju tempat wisata akan kami datangi. Aku melihat senyum disemua wajah sahabatku, begitupula Nia. Meskipun bagiku hari itu kurang sempurna tanpa kehadiran Ridwan, karena kami baru ini pergi tanpa dia.
              Kendaraann kami melaju beriringan dijalanan, aku dan Nico dibarisan terdepan, disusul oleh teman yang lain dibelakang kami,sedangkan Nia dan Aldi di posisi paling belakang.
            Beberapa saat kemudian kami tiba ditempat tujuan kecuali Nia dan Aldi, kami tidak melihat mereka. Kami pun menunggu sejenak. Menurut teman yang lain mereka memang tertinggal dibelakang. Kami pun mengerti, mungkin karena terlalu asyik ngobrol dalam nuansa manis orang baru jadian. Namun hampir setengah jam kami menunggu, mereka tidak juga tiba di lokasi.
            Beberapa saat kemudian Aldi menghubungi kami, dengan suara gugup dia mengatakan bahwa mereka kecelakaan karena tabrakan. Sejenak situasi begitu panik, kami pun bergegas menyusul kembali mereka. Aku begitu takut akan keadaan mereka. Sesampai ditempat kejadian, kami mendapati aldi dengan tubuh penuh luka, speda motor yang mereka kendarai rusak parah, namun yang lebih parah lagi, Nia tidak sadarkan diri karena terjatuh dan kepalanya terbentur batu. “ Tadi sebelum pingsan dia sempat muntah darah” jelas Aldi.
            Warga pun mulai datang berbondong menolong kami, Nia segera kami bawa kerumah sakit terdekat. Nia belum juga sadar, namun sudah ditangani oleh dokter. Untuk sementara dokter memfonis Nia geger otak karena benturan keras dikepalanya. Kami semua begitu terkejut, tidak menyangka hari itu akan terjadi musibah pada kami.
            Aku begitu panik, tidak tahu harus berbuat apa, bagaimana reaksi kedua orang tuanya jka tau anaknya terbaring kritis dirumah sakit. Begitu juga dengan Ridwan, dia pasti tidak akan terima satu pun hal buruk terjadi pada Nia.
            Tiga jam sudah nia masuk dalam ruang UGD, namun tidak juga menampakkan kondisinya akan membaik. Ibunya menangis disisinya. Begitu juga dengan Ridwan, dia marah pada kami semua karena tidak bisa menjaga Nia. Terutama pada Aldi, hampir saja terjadi perkelahian antara mereka, namun kamu cepat melerai mereka. “Ini sudah takdir yang memang pasti terjadi, jadi tidak ada yang bisa disalahkan” aku berupaya menengahi mereka. “Bukan Cuma kamu wan, kami semua sayang Nia” kata teman-teman yang lain menambahi.
            Tepat pukul delapan malam, Nia menghembuskan nafas terakhirnya. Nia pergi meninggalkan kami semua. Isak tangis memenuhi ruangan itu. Kami tidak menyangka hari itu akan kehilangan salah satu sahabat terbaik kami. Begitu juga kedua orang tua Nia yang harus kehilangan putri tercintanya.
            Seminggu berlalu setelah kejadian itu, selalu ada yang kurang bagi kami, tidak ada lagi senyum manis dari Nia. Tidak ada lagi canda tawa bersamanya. Begitu juga dengan Ridwan. Tidak pernah lagi ada semangat diwajahnya.
            Menjelang ujian kenaikan kelas, kami semua disibukkan dengan tugas-tugas, begtiu juga dengan persiapan menjelang ujian.
            Satu persatu ujian kami lewati. Tiga hari menjelang pembagian Rapor para guru disibukkan oleh tugas mereka masing-masing seperti mengurus nilai murid-muridnya. Kami pun tidak lagi melakukan kegiatan pembelajaran. Pagi itu setiba dikelas, aku berkumpul dengan teman-teman lain, namun aku belum melihat Ridwan, tidak biasanya dia belum kelihatan jam segitu. “Tumben si Ridwan belum keliatan” tanya salah seorang teman. “Macet mungkin dijalan” jawabku.
            Terdengar pengumuman dari sekolah, “Diberitahukan kepada seluruh siswa-siswi agar lelebih berhati-hati dalam berkendaraan, baru saja Siswa kelas X-3 yang bernama Ridwan jatuh dari sepeda motornya saat hendak menuju sekolah, sekarang sedang ditangani di Rumah sakit”.
            Kami semua shock mendengar pengumuman tersebut, tubuhku refleks melemah tak berdaya. Sepulang sekolah kami semua murid X-3 mengunjungi rumah sakit tempat Ridwan dirawat. Namun menurut perawat rumah sakit tersebut, Ridwan dibawa kerumah  sakit lain karena mereka mengaku tidak sanggup menanganinya.
            Air mata menetes dipipiku dan para sahabat, rasa sedih akan kehilangan Nia belum hilang dari benak kami, kini kami mendengar berita buruk tentang Ridwan. Kami semua mengirim sms ke Ridwan ungkapan doa semoga dia dapat bertahan dan bisa kembali bergabung dengan kami.
            Aku pulang kerumah dengan langkah gontai, badanku terasa akan demam, mungkin karena terlalu shock sehingga semangatku jadi melemah. Aku merebahkan diri dikasur  dan teringat kemarin saat Ridwan mengatarku pulang kerumah, kemudian dia curhat akan rasa rindunya kepada Nia. Aku tidak habis  fikir kenapa hal ini bisa terjadi pada dua sahabat terbaikku. Dalam hati aku terus berdoa akan keselamatan Ridwan, semoga dia bisa kuat melewati masa-masa kritisnya.
            Ridwan tiba didepan rumahku. Aku menatapnya aneh. Dia terlihat pucat dan tak berdaya. Dia datang menghampiriku yang saat itu sedang duduk diteras rumah.
 “Din aku mau pamit” ucapnya.
 “Mau pergi kemana wan?” tanyaku heran.
“Aku ingin menemani Nia Din” jawabnya kemudian berbalik arah dan pergi begitu saja.
“Wan jangan pergiiiiiiii....” aku menjerit berusaha mencegahnya hingga akhirnya aku terjaga dari tidurku.
“Astaghfirullah, ternyata mimpi”, aku terengah-engah, keringat membasahi sekujur tubuhku. Aku tersadar bahwa aku tertidur saat pulang sekolah tadi.
Aku mengambil Handphone ku dan mmelihat banyak missed call dan sms dari temanku.
Akupun membaca sms tersebut satu persatu :
“Innalillahi wainna ilaihi raji’un, semoga Ridwan tenang disana”
“Sekali lagi kita kehilangan sahabat terbaik kita, semoga amal ibadah Ridwan diterima-Nya”
Air mata itu mengalir dipipiku, ternyata Ridwan benar-benar pamit denganku lewat mimpi tadi.
Aku yakin ini adalah takdir yang sudah digariskan kepada dua orang sahabat terbaikku itu, Sang ilahi lebih memilih mereka untuk berjodoh di surga.
Selamat jalan sahabat, namamu akan selalu ada dihati kami..

           
           
             

Pelatihan kemarin...

Memasuki semester 7 di masa perkuliahanku hanya memunculkan satu hal didalam benak, Apakah aku bisa melewati program latihan mengajar itu kelak?
Itu dan itu terus.
Aku menyadari diri yang hanya bermodal penguasaan konsep.
Bagaimana kelak menguasai kelas?
mengamankan suasana kelas?
Apa aku mampu?
Namun aku juga berfikir, yang penting niatku benar-benar tulus ingin berbagi ilmu pada mereka, menjadi bagian dari mereka yang kelak jika mereka butuh, Insya Allah aku akan hadir membantu..
Ya..itu saja..
Hingga akhirnya penempatan itu meletakkan ku disuatu sekolah yang terbilang cukup menantang kemampuan akademik.
Aku pasrah. Allah pasti berencana baik dibalik semua ini.

Hari Pertama
Memasuki gerbang sekolah itu  dengan rasa gugup, "Tempat ini begitu asing bagiku", fikirku dalam hati. Namun rasanya begitu nyaman, berada dilingkungan yang bernuansa islami, dimana karakter ramah-tamah dan saling menghormati benar-benar ditegakkan. Aku pun dihadapkan dengan sejumlah jadwal yang untuk 3 bulan kedepannya harus dijalani. Satu hal lagi yang membuatku senang, guru pembimbingku begitu baik. Ternyata benar, Allah berencana baik.

Hari Kedua
Pertama kalinya memasuki kelas seorang diri, aku disuruh mengamankan murid-murid itu karena gurunya belum datang. Really nervous. Sambutan acuh dari mereka, sedikit terkesan disepelekan, maklumlah jika mereka mengetahui statusku disekolah.

Setelah satu minggu

Aku mulai menikmati kegiatan ini, awalnya aku berfikir jadi guru itu sulit, ternyata tidak seutuhnya benar. Mereka cukup welcome dengan cara mengajarku. Aku tidak berharap banyak, asal mereka bilang mengerti saja itu sudah lebih dari cukup.
Mencoba memahami karakter mereka, membaur dengan mereka, itulah yang ku lakukan.

2 Bulan berlalu

Kehadiranku mulai di nanti, bukan hal yang sering terjadi untuk mata pelajaran Matematika. Terkadang interaksi yang terjadi bukan selayaknya guru dan murid, melainkan kakak dan adiknya. Tapi aku merasa mereka nyaman akan hal itu.

Hari-hari menjelang usai
Mereka tidak menginginkanku pergi. Respon yang begitu tidak terduga. Aku pun seperti mereka, merasa memiliki keluarga baru, menyayangi mereka.

Hari itu

Langkah ku pasti menuju ke kelas. Tidak seperti biasanya. Mereka tidak menunggu.
Hati kecilku sedih, bukan begini yang ku mau.
Untuk pertama dan yang terkahir kalinya mereka tidak respect padaku. Dan lebih parah lagi, mereka menentang semua yang ku katakan.
Kesabaranku habis. Spontan aku beranjak pergi, aku hanya tidak ingin marah dan memilih pergi. Mereka mengejarku, membujuk untuk kembali. Surprise ulang tahun dan perpisahan ternyata yang telah mereka rencanakan. Aku tidak menyangka. Aku senang namun sedih. Sambil bertutur terimakasih aku pun meneteskan air mata. Air mata bahagia. Ternyata muridku sudah dewasa dan mereka menyayangiku.


Rabu, 24 Oktober 2012

Renungan untuk Hari ini

Terkadang aku merasa dunia begitu kejam
Tidak adil..
Tapi harus tetap menyadari bahwa tidak ada nasib yg buruk,
hanya saja mungkin belum beruntung..

Aku tidak minta kita untuk saling care dan respect
Tidak mengusikku yg tidak pernah mengganggu kalian saja sudah cukup.
Aku fikir kalian teman, ternyata salah
Musuh dalam selimut..
Begitu bahagianya tertawa saat aku merasa tertindas..

Dan di malam ini,
Ternyata aku salah berniat meminjam bahumu untuk sandarkan segala keluh..
Jangankan tuk mengusap air mataku yg hampir jatuh
Malah kau menambah lebar luka yang sudah begitu menyakitkan ini,,

Ada apa dengan 24 Oktober ini?
Apa salahku ya Rabb?

Hanya pesan seorang murid yg mampu menghiburku :
"Jangan terpengaruh sama hal negative yang ada diluar sana"
Insya Allah nak..Akan seperti itu

:'(


Sabtu, 13 Oktober 2012

Aku Menyerah

Aku tidak menyesal menyangimu
yang ku sesalkan adalah terlambat mengetahui bahwa kau  tidak sungguh-sungguh menyayangiku..
Aku terlalu naif ternyata, bodohnya menangisi hal yg tidak perlu..

Tidak perlu heran mengapa aku terus dikecewakan, tidak pernah dimengerti,.
karena memang aku tidak pernah berarti..
sedih..selalu sedih jika sadari itu
apa kau tau rasa sakitnya?

Benci, aku tidak pernah lakukan itu
Sayang, itu yang tidak akan pernah berubah untukmu
kau bisa tanyakan pada malaikat bahwa tak kan pernah ada yg bisa sayangimu lebih dari aku

Dan  untukmu yg kemarin begitu ku harapkan kelak menjadi imamku
kelak jika kau temukan cinta barumu, kenali dia lahir dan batin
jgn pernah biarkan air mata mengaliri pipinya hanya karena sikapmu
karena air mata itu takkan pernah menetes jika kau tidak benar2 ia cintai

Putri Radika

Minggu, 02 September 2012

Bunda

Wanita terindah dalam hidupku
Tiada air mata meskipun hatinya terluka
Ketegarannya melumpuhkan amarah
Akankah dy tetap tabah dengan rintangan yang selalu membuntuti??

Jemarinya lembut, membelai raga dengan penuh cinta
Tutur katanya santun, mendinginkan jiwa
Hatinya suci laksana kertas putih tanpa noda..
Bisakah Engkau tempatkan dy kelak di Surga-Mu yg terindah?

Jumat, 31 Agustus 2012

Goresan Pena Terakhir


Di suatu hari Kehidupan pernikahan kami awalnya baik2 saja menurutku. Meskipun menjelang pernikahan selalu terjadi konflik, tapi setelah menikah Mario tampak baik dan lebih menuruti apa mauku.

Kami tidak pernah bertengkar hebat, kalau marah dia cenderung diam dan pergi ke kantornya bekerja sampai subuh, baru pulang ke rumah, mandi, kemudian mengantar anak kami sekolah. Tidurnya sangat sedikit, makannya pun sedikit. Aku pikir dia workaholic.

Dia menciumku maksimal 2x sehari, pagi menjelang kerja, dan saat dia pulang kerja, itu pun kalau aku masih bangun. Karena waktu pacaran dia tidak pernah romantis, aku pikir, memang dia tak romantis, dan tidak memerlukan hal2 seperti itu sebagai ungkapan sayang.

Kami jarang ngobrol sampai malam, kami jarang pergi nonton berdua, bahkan makan berdua diluar pun hampir tidak pernah. Kalau kami makan di meja makan berdua, kami asyik sendiri dengan sendok garpu kami, bukan obrolan yang terdengar, hanya denting piring yang beradu dengan sendok garpu.

Kalau hari libur, dia lebih sering hanya tiduran di kamar, atau main dengan anak2 kami, dia jarang sekali tertawa lepas. Karena dia sangat pendiam, aku menyangka dia memang tidak suka tertawa lepas.

Aku mengira rumah tangga kami baik2 saja selama 8 tahun pernikahan kami. Sampai suatu ketika, di suatu hari yang terik, saat itu suamiku tergolek sakit di rumah sakit, karena jarang makan, dan sering jajan di kantornya, dibanding makan di rumah, dia kena typhoid, dan harus dirawat di RS, karena sampai terjadi perforasi di ususnya. Pada saat dia masih di ICU, seorang perempuan datang menjenguknya. Dia memperkenalkan diri, bernama meisha, temannya Mario saat dulu kuliah.

Meisha tidak secantik aku, dia begitu sederhana, tapi aku tidak pernah melihat mata yang begitu cantik seperti yang dia miliki. Matanya bersinar indah, penuh kehangatan dan penuh cinta, ketika dia berbicara, seakan2 waktu berhenti berputar dan terpana dengan kalimat2nya yang ringan dan penuh pesona. Setiap orang, laki2 maupun perempuan bahkan mungkin serangga yang lewat, akan jatuh cinta begitu mendengar dia bercerita.

Meisha tidak pernah kenal dekat dengan Mario selama mereka kuliah dulu, Meisha bercerita Mario sangat pendiam, sehingga jarang punya teman yang akrab. 5 bulan lalu mereka bertemu, karena ada pekerjaan kantor mereka yang mempertemukan mereka. Meisha yang bekerja di advertising akhirnya bertemu dengan Mario yang sedang membuat iklan untuk perusahaan tempatnya bekerja.

Aku mulai mengingat 2,5 bulan lalu ada perubahan yang cukup drastis pada Mario, setiap mau pergi kerja, dia tersenyum manis padaku, dan dalam sehari bisa menciumku lebih dari 3x. Dia membelikan aku parfum baru, dan mulai sering tertawa lepas. Tapi di saat lain, dia sering termenung di depan komputernya. Atau termenung memegang Hp-nya. Kalau aku tanya, dia bilang, ada pekerjaan yang membingungkan.

Suatu saat Meisha pernah datang pada saat Mario sakit dan masih dirawat di RS. Aku sedang memegang sepiring nasi beserta lauknya dengan wajah kesal, karena Mario tidak juga mau aku suapi. Meisha masuk kamar, dan menyapa dengan suara riangnya,

“Hai Rima, kenapa dengan anak sulungmu yang nomor satu ini? tidak mau makan juga? uhh… dasar anak nakal, sini piringnya”, lalu dia terus mengajak Mario bercerita sambil menyuapi Mario, tiba2 saja sepiring nasi itu sudah habis ditangannya. Dan….aku tidak pernah melihat tatapan penuh cinta yang terpancar dari mata suamiku, seperti siang itu, tidak pernah seumur hidupku yang aku lalui bersamanya, tidak pernah sedetikpun!

Hatiku terasa sakit, lebih sakit dari ketika dia membalikkan tubuhnya membelakangi aku saat aku memeluknya dan berharap dia mencumbuku. Lebih sakit dari rasa sakit setelah operasi caesar ketika aku melahirkan anaknya. Lebih sakit dari rasa sakit, ketika dia tidak mau memakan masakan yang aku buat dengan susah payah.

Lebih sakit daripada sakit ketika dia tidak pulang ke rumah saat ulang tahun perkawinan kami kemarin. Lebih sakit dari rasa sakit ketika dia lebih suka mencumbu komputernya dibanding aku.

Tapi aku tidak pernah bisa marah setiap melihat perempuan itu. Meisha begitu manis, dia bisa hadir tiba2, membawakan donat buat anak2, dan membawakan ekrol kesukaanku. Dia mengajakku jalan2, kadang mengajakku nonton. kali lain, dia datang bersama suami dan ke-2 anaknya yang lucu2.

Aku tidak pernah bertanya, apakah suamiku mencintai perempuan berhati bidadari itu? karena tanpa bertanya pun aku sudah tahu, apa yang bergejolak dihatinya.
Suatu sore, mendung begitu menyelimuti jakarta, aku tidak pernah menyangka, hatiku pun akan mendung, bahkan gerimis kemudian.

Anak sulungku, seorang anak perempuan cantik berusia 7 tahun, rambutnya keriting ikal dan cerdasnya sama seperti ayahnya. Dia berhasil membuka password email Papanya, dan memanggilku, “Mama, mau lihat surat papa buat tante Meisha?”

Aku tertegun memandangnya, dan membaca surat elektronik itu,

Dear Meisha,
Kehadiranmu bagai beribu bintang gemerlap yang mengisi seluruh relung hatiku, aku tidak pernah merasakan jatuh cinta seperti ini, bahkan pada Rima. Aku mencintai Rima karena kondisi yang mengharuskan aku mencintainya, karena dia ibu dari anak2ku.

Ketika aku menikahinya, aku tetap tidak tahu apakah aku sungguh2 mencintainya. Tidak ada perasaan bergetar seperti ketika aku memandangmu, tidak ada perasaan rindu yang tidak pernah padam ketika aku tidak menjumpainya. Aku hanya tidak ingin menyakiti perasaannya. Ketika konflik2 terjadi saat kami pacaran dulu, aku sebenarnya kecewa, tapi aku tidak sanggup mengatakan padanya bahwa dia bukanlah perempuan yang aku cari untuk mengisi kekosongan hatiku. Hatiku tetap terasa hampa, meskipun aku menikahinya.

Aku tidak tahu, bagaimana caranya menumbuhkan cinta untuknya, seperti ketika cinta untukmu tumbuh secara alami, seperti pohon2 beringin yang tumbuh kokoh tanpa pernah mendapat siraman dari pemiliknya. Seperti pepohonan di hutan2 belantara yang tidak pernah minta disirami, namun tumbuh dengan lebat secara alami. Itu yang aku rasakan.

Aku tidak akan pernah bisa memilikimu, karena kau sudah menjadi milik orang lain dan aku adalah laki2 yang sangat memegang komitmen pernikahan kami. Meskipun hatiku terasa hampa, itu tidaklah mengapa, asal aku bisa melihat Rima bahagia dan tertawa, dia bisa mendapatkan segala yang dia inginkan selama aku mampu. Dia boleh mendapatkan seluruh hartaku dan tubuhku, tapi tidak jiwaku dan cintaku, yang hanya aku berikan untukmu. Meskipun ada tembok yang menghalangi kita, aku hanya berharap bahwa engkau mengerti, you are the only one in my heart.
yours,
Mario

Mataku terasa panas. Jelita, anak sulungku memelukku erat. Meskipun baru berusia 7 tahun, dia adalah malaikat jelitaku yang sangat mengerti dan menyayangiku.
Suamiku tidak pernah mencintaiku. Dia tidak pernah bahagia bersamaku. Dia mencintai perempuan lain.

Aku mengumpulkan kekuatanku. Sejak itu, aku menulis surat hampir setiap hari untuk suamiku. Surat itu aku simpan di amplop, dan aku letakkan di lemari bajuku, tidak pernah aku berikan untuknya.

Mobil yang dia berikan untukku aku kembalikan padanya. Aku mengumpulkan tabunganku yang kusimpan dari sisa2 uang belanja, lalu aku belikan motor untuk mengantar dan menjemput anak2ku. Mario merasa heran, karena aku tidak pernah lagi bermanja dan minta dibelikan bermacam2 merek tas dan baju. Aku terpuruk dalam kehancuranku. Aku dulu memintanya menikahiku karena aku malu terlalu lama pacaran, sedangkan teman2ku sudah menikah semua. Ternyata dia memang tidak pernah menginginkan aku menjadi istrinya.

Betapa tidak berharganya aku. Tidakkah dia tahu, bahwa aku juga seorang perempuan yang berhak mendapatkan kasih sayang dari suaminya ? Kenapa dia tidak mengatakan saja, bahwa dia tidak mencintai aku dan tidak menginginkan aku ? itu lebih aku hargai daripada dia cuma diam dan mengangguk dan melamarku lalu menikahiku. Betapa malangnya nasibku.

Mario terus menerus sakit2an, dan aku tetap merawatnya dengan setia. Biarlah dia mencintai perempuan itu terus di dalam hatinya. Dengan pura2 tidak tahu, aku sudah membuatnya bahagia dengan mencintai perempuan itu. Kebahagiaan Mario adalah kebahagiaanku juga, karena aku akan selalu mencintainya.
**********

Setahun kemudian…

Meisha membuka amplop surat2 itu dengan air mata berlinang. Tanah pemakaman itu masih basah merah dan masih dipenuhi bunga.

” Mario, suamiku….

Aku tidak pernah menyangka pertemuan kita saat aku pertama kali bekerja di kantormu, akan membawaku pada cinta sejatiku. Aku begitu terpesona padamu yang pendiam dan tampak dingin. Betapa senangnya aku ketika aku tidak bertepuk sebelah tangan. Aku mencintaimu, dan begitu posesif ingin memilikimu seutuhnya.

Aku sering marah, ketika kamu asyik bekerja, dan tidak memperdulikan aku. Aku merasa di atas angin, ketika kamu hanya diam dan menuruti keinginanku… Aku pikir, aku si puteri cantik yang diinginkan banyak pria, telah memenuhi ruang hatimu dan kamu terlalu mencintaiku sehingga mau melakukan apa saja untukku…..

Ternyata aku keliru…. aku menyadarinya tepat sehari setelah pernikahan kita. Ketika aku membanting hadiah jam tangan dari seorang teman kantor dulu yang aku tahu sebenarnya menyukai Mario.

Aku melihat matamu begitu terluka, ketika berkata, “kenapa, Rima? Kenapa kamu mesti cemburu? dia sudah menikah, dan aku sudah memilihmu menjadi istriku?”

Aku tidak perduli,dan berlalu dari hadapanmu dengan sombongnya.
Sekarang aku menyesal, memintamu melamarku. Engkau tidak pernah bahagia bersamaku. Aku adalah hal terburuk dalam kehidupan cintamu. Aku bukanlah wanita yang sempurna yang engkau inginkan.
Istrimu,
Rima”

Di surat yang lain,

“………Kehadiran perempuan itu membuatmu berubah, engkau tidak lagi sedingin es. Engkau mulai terasa hangat, namun tetap saja aku tidak pernah melihat cahaya cinta dari matamu untukku, seperti aku melihat cahaya yang penuh cinta itu berpendar dari kedua bola matamu saat memandang Meisha……”

Disurat yang kesekian,

“…….Aku bersumpah, akan membuatmu jatuh cinta padaku.
Aku telah berubah, Mario. Engkau lihat kan, aku tidak lagi marah2 padamu, aku tidak lagi suka membanting2 barang dan berteriak jika emosi. Aku belajar masak, dan selalu kubuatkan masakan yang engkau sukai. Aku tidak lagi boros, dan selalau menabung. Aku tidak lagi suka bertengkar dengan ibumu. Aku selalu tersenyum menyambutmu pulang ke rumah.

Dan aku selalu meneleponmu, untuk menanyakan sudahkah kekasih hatiku makan siang ini? Aku merawatmu jika engkau sakit, aku tidak kesal saat engkau tidak mau aku suapi, aku menungguimu sampai tertidur disamping tempat tidurmu, di rumah sakit saat engkau dirawat, karena penyakit pencernaanmu yang selalu bermasalah…….
Meskipun belum terbit juga, sinar cinta itu dari matamu, aku akan tetap berusaha dan menantinya……..”
Meisha menghapus air mata yang terus mengalir dari kedua mata indahnya… dipeluknya Jelita yang tersedu-sedu disampingnya.

Disurat terakhir, pagi ini…

“…………..Hari ini adalah hari ulang tahun pernikahan kami yang ke-9. Tahun lalu engkau tidak pulang ke rumah, tapi tahun ini aku akan memaksamu pulang, karena hari ini aku akan masak, masakan yang paling enak sedunia. Kemarin aku belajar membuatnya di rumah Bude Tati, sampai kehujanan dan basah kuyup, karena waktu pulang hujannya deras sekali, dan aku hanya mengendarai motor.
Saat aku tiba di rumah kemarin malam, aku melihat sinar kekhawatiran dimatamu. Engkau memelukku, dan menyuruhku segera ganti baju supaya tidak sakit.
Tahukah engkau suamiku,

Selama hampir 15 tahun aku mengenalmu, 6 tahun kita pacaran, dan hampir 9 tahun kita menikah, baru kali ini aku melihat sinar kekhawatiran itu dari matamu, inikah tanda2 cinta mulai bersemi dihatimu ?………”

Jelita menatap Meisha, dan bercerita,

“Siang itu Mama menjemputku dengan motornya, dari jauh aku melihat keceriaan diwajah mama, dia terus melambai-lambaikan tangannya kepadaku. Aku tidak pernah melihat wajah yang sangat bersinar dari mama seperti siang itu, dia begitu cantik. Meskipun dulu sering marah2 kepadaku, tapi aku selalu menyayanginya. Mama memarkir motornya di seberang jalan, Ketika mama menyeberang jalan, tiba2 mobil itu lewat dari tikungan dengan kecepatan tinggi…… aku tidak sanggup melihatnya terlontar,

Tante….. aku melihatnya masih memandangku sebelum dia tidak lagi bergerak……”. Jelita memeluk Meisha dan terisak-isak. Bocah cantik ini masih terlalu kecil untuk merasakan sakit di hatinya, tapi dia sangat dewasa.

Meisha mengeluarkan selembar kertas yang dia print tadi pagi. Mario mengirimkan email lagi kemarin malam, dan tadinya aku ingin Rima membacanya.

Dear Meisha,

Selama setahun ini aku mulai merasakan Rima berbeda, dia tidak lagi marah2 dan selalu berusaha menyenangkan hatiku. Dan tadi, dia pulang dengan tubuh basah kuyup karena kehujanan, aku sangat khawatir dan memeluknya. Tiba2 aku baru menyadari betapa beruntungnya aku memiliki dia. Hatiku mulai bergetar…. Inikah tanda2 aku mulai mencintainya?

Aku terus berusaha mencintainya seperti yang engkau sarankan, Meisha. Dan besok aku akan memberikan surprise untuknya, aku akan membelikan mobil mungil untuknya, supaya dia tidak lagi naik motor kemana-mana. Bukan karena dia ibu dari anak2ku, tapi karena dia belahan jiwaku….

Meisha menatap Mario yang tampak semakin ringkih, yang masih terduduk disamping nisan Rima. Di wajahnya tampak duka yang dalam. Semuanya telah terjadi, Mario……

Kadang kita baru menyadari mencintai seseorang, ketika seseorang itu telah pergi meninggalkan kita
+++++++++++

Selasa, 05 Juni 2012

My Friend is My love


                “Akhirnya selesai juga ya Mi ujian kita, lega rasanya” Hafis menepuk pundakku dari belakang saat aku menuruni anak tangga. “Iya fis, lega rasanya, pengen cepat-cepat pulkam” sahutku. “Emang kamu pulang kapan Mi?” tanya Hafis. “Rencananya nanti sore langsung pulang, aku duluan ya, soalnya temenku udah nunggu dikost” aku pun berlalu meninggalkan hafis dengan perasaan sedih mengingat untuk beberapa saat tidak bertemu lagi dengannya.
Libur pun tlah dimulai, hati ini gembira untuk sejenak terlepas dari beban perkuliahan. Namu saat kaki ini hendak melangkah meninggalkan kota itu, hati kecilku sedikit bersedih karena untuk beberapa saat pula tidak bisa melihat sosoknya. Mungkin dia tidak pernah tau bahwa aku selalu merindu jika sehari saja tidak melihat wajah dan senyumannya. Tapi mungkin baginya aku hanyalah sahabat biasa meskipun batinku kerap bertanya akan maksud dari perhatian yang dia berikan padaku selama setahun ini.
Sejak hubunganku berakhir setahun yang lalu dengan pacarku, hafis menjadi begitu akrab denganku, meskipun aku menilai itu tidak lebih dari fatner kampus, dan kami pun hanya menjalin komunikasi sebatas permasalahan kuliah saja. Namun entah kenapa, aku menjadi begiitu suka melihatnya dari kejauhan. Dia pribadi yang hangat dimataku, supel bergaul dengan siapa saja. Itu juga yang mengakibatkanku berfikir bahwa perhatian yang dia berikan padaku hanya sebatas sahabat biasa.
                “Mi, HP mu bunyi tuh dikamar, sepertinya ada yang menelpon” ibu memanggilku karena mendengar HP yang sedang ku carge dikamar berbunyi, aku yang sedang asyik menonton acara tv langsung kekamar melihat siapa yang menelpon.  “Halo, Assalamu’alaikum, ada apa fis?” aku langsung menjawab telpon tersebut dengan hati bahagia, tidak ku sangka malam itu hafis menelpon, seakan dia bisa membaca isi hatiku yang sangat merindukannya, baru 3 hari tidak melihatnya, namun sudah membuat dadaku sesak ingin secepatnya bertemu. “Hmmm, gak pa2 koq Mi, pengen nelpon kamu aja, aku gak ganggu kan?” jawab hafis dari seberang sana. Kami pun asyik ngobrol sampai akhirnya telpon itu terputus karena HP ku lowbet lagi. Tak terlukiskan senangnya hatiku malam itu, ingin sekali rasanya libur itu cepat berlalu agar aqu bisa bertemu lagi dengannya.
                Begitu seterusnya, hampir 4 kali Hafis menelpon ku selama liburan 2 minggu itu, disamping sms yang cukup intens antara kami. Terkadang aku merasa bodoh membiarkan hatiku hanyut kepada perasaan yang tidak seharusnya diberikan kepada sahabat, tapi apa yang bisa ku lakukan saat rasa sayang itu benar-benar tercipta untuknya.
                Perkuliahan pun dimulai, begitu semangatnya aku hendak secepatnya tiba dikampus. Aku memasuki ruang kelas, bergabung dengan teman-temanku yang lain. Mataku berkeliling mencarinya, namun ternyata hari itu dia terlambat. Aku begitu memperhatikan setiap langkahnya memasuki kelas, dan berharap dia tau, ada seorang wanita diruangan itu yang begitu bahagia dapat melihatnya hari itu. Selesai perkuliahan Hafis menghampiriku, seperti biasa apabila aku pulkam, dia pasti menagih oleh-oleh dariku. Akupun membawakan beberapa cemilan dan yang pastinya segudang rindu untuknya. “Mi entar malam aku maen kekostmu ya, kangen juga aku sama kamu”, “hmmm, kayak aku gak tau aja kalo kamu Cuma mau mintak oleh-oleh”.
                Malam itu hafis datang kekostku selepas sholat Isya, kami duduk-duduk diteras sambil ngobrol dan memakan cemilan. Dia banyak bercerita pengalamannya selama liburan, begitu juga denganku. Hafis memang tipe orang yang banyak bicara, ada saja yang selalu bisa ia ceritakan bahkan terkadang membuatku begitu geli. Sampai akhirnya dia mengutarakan maksud kedatangannya malam itu, “Mi, malam besok ada konser, kita nonton yuk, band nya bagus2 lho” Hafis mencoba meyakinkanku untuk mau menerima ajakannya”. “Boleh, tapi tumben kamu ngajak  aku?” aku mencoba mencari tahu alasan dia mengajakku, karena ini baru pertama kali dia mengajakku pergi, meskipun itu tidak bisa membuktikan apa-apa, hal yang biasa juga dilakukan seorang sahabat mengajak pergi nonton sebuah koser. “Hitung-hitung refresh otak sebelum mulai belajar, trus ngobatin kangen sama kamu” katanya sambil menjewer telingaku. Dia berhasil membuat bibirku manyun karena jewerannya, meskipun kata-kata terakhirnya itu membuat hatiku senang. Kami pun sepakat pergi esok malam untuk menonton konser tersebut.
                Keesokan harinya stelah sholat Isya Hafis menjeput ku, aku sengaja berdandan sesimple mungkin karena aku tipe orang yang menyukai kesederhanaan. Hafis memperhatikanku dengan seksama, membuatku aku sedikit merasa gerogi. “Cantik juga kamu ya Mi?” dia mencoba merayuku yang hanya mengakibatkan kadar gerogi semakin meningkat. “Baru nyadar, kayaknya seluruh dunia udah tau kalau aku memang cantik, mata kamu aja yang berkelainan” Jawab ku sepede mungkin mencoba menenangkan diri. Kami pun segera meluncur ketempat tujuan, untuk beberapa saat diperjalanan kami habiskan dengan canda gurau, membuatku lupa akan nervous yang kurasakan.
                Sepanjang konser malm itu tanganku tidak pernah lepas dari genggaman tangannya, aku tau, itu caranya memberikan perlindungan padaku karena padatnya penonton konser, dismping itu tidak jarang pula terjadi aksi dorong-dorongan. Sebenarnya aku  cukup takut malam itu, melihat disatu sisi ada aksi lempar-lemparan, namun entah kenapa aku yakin aku akan tetap aman selama masih ada dia disisihku. Tanpa terasa konser itu pun usai, dan waktu pun sudah hampir jam sebelas malam, aku  harus secepatnya pulang karena sudah hampir melewati batas izin keluar yang diberikan ibu kostku. Beda halnya pada saat pergi tadi, hanya keheningan yang mewarnai perjalanan pulang malam itu. Aku tidak tau apa yang ada dalam benaknya, apakah sama dengan yang aku rasakan saat itu yaitu bahagia.
                Akhirnya kami sampai juga dikostku, aku pun harus segera masuk takut nanti dimarahi ibu kost, “Makasi ya fis buat malam ini”, “Iya sama-sama, aku langsung pulang aja ya, g enak ni udah kemalaman”. Aku masih berdiri melihatnya pergi dan akhirnya lenyap dari pandanganku, aku masih mencoba membayangkan indahnya hal-hal yang baru saja ku lewati beberapa waktu lalu.
                Untuk pertama kalinya malam itu aku susah tidur, sepertinya setelah kejadian tadi aku benar-benar merasakan aku jatuh cinta padanya, namun lagi-lagi dilema itu meracuni fikiranku, apakah dia merasakan yang sama? Apakah yang ku anggap indah juga indah baginya?. Ingin sekali rasanya aku memasuki  fikirannya untuk mengetahui apa yang dia fikirkan. Intinya kegalauan tidak pernah rela pergi jauh dariku.
                Keesokan harinya saat menuju kelas untuk pertama kalinya aku tidak ingin melihat nya, jantungku tidak karuan menyadari diri yang sudah berada didaerah sekitarnya meskipun mata ini belum melihatnya. Tidak berapa lama setelah aku tiba dikelas, hafis masuk kekelas. Ku lihat dia berjalan hendak menghampiriku, dan entah mengapa kaki ku refleks beranjak dari tempat itu dan mencoba berjalan menghindar darinya. Aku melihat reaksi wajahnya yang begitu heran, hafis mencoba memanggilku, namun aku pura-pura tidak mendengar dengan asik ngobrol dengan temanku yang lain. Aku juga tidak mengerti mengapa aku bertingkah seperti itu, mungkin aku masih merasa grogi akan kejadian malam itu, baginya itu biasa saja namun tidak untukku.
                Jam perkuliahan pun berakhir, aku bergegas langsung pulang kekostku yang jaraknya tidak jauh dari kampus. Hari itu ku lalui seakan berada dalam penjara yang mengekang setiap gerakku. Aku mengutuki diri atas sikapku yang tidak profesional itu. Sesampai dikost tiba-tiba HP ku berderig ternyata panggilan dari Hafis, aku tidak menjawabnya, akhirnya dia mengirim sms untukku. “Mi km knp hari ni, sprtinya mnghndar gt dr aku?”, aku merebahkan diri dikasur sembari memikirkan jawaban apa yang pas untuk pertanyaan tersebut. “Aku gk knp2 koq fis, biasa ja” bls qu singkat. “Tadi aqu panggil kamu koq diem aja” blsnya lagi. “Emg km ada manggil ya, gak denger fis, sory, km tenang aja, aku gak kenpa2 koq” aqu mencoba meyakinkannya bahwa tidak ada satu permasalahanpun terjadi, karena aku sendiri pun tidak tahu kenapa bisa bertingkah seperti itu. “owh yaudah, aqu takut aja kamu marah sama aku, aku jadi ngerasa gak enak”. Aku tidak membalas lagi sms tersebut, aku tidak ingin membohonginya lagi terlalu jauh.
                Senja pun tiba, membaca Al-Qur’an setelah sholat maghrib merupakan rutinitas yang selalu ku jaga setiap hari, itu sala satu caraku agar tetap merasakan kedamaian dihati. Meskipun kurang begitu berlaku untuk hari itu, entah mengapa penat merajalela dibenakku, dadaku terasa sesak, hatiku gelisah gak karuan. Aku selalu bermohon pada-Nya agar menghilangkan segala rasaku untuknya jika memang akhirnya akan tercipta luka baru, namun doaku berbanding terbalik dengan apa yang ku rasa, rasa sayangku semakin bertambah untuknya. Aku kesal dengan diri sendiri yang tidak komitmen pada persahabatan.
                “Mi ada temanmu tuh diluar nyariin” kata yana teman sekamarku. “Siapa yan?” tanyaku heran. “Kayaknya si Hafis lha Mi”, aku terkejut mendengarnya, kenapa tiba-tiba dia datang kekostku, apalagi tanpa memberitahu terlebih dahulu, aku langsung saja menghampirinya. “Kok datang gak kasi tau dulu fis?” tanyaku padanya. “Ntar klo kasi tau, takutnya gak dibolehin datang, soalnya hari ini kamu agak aneh”. Aku tertawa mendengar penjelasannya, memang sedikit benar, aku pun merasakan diriku agak aneh belakangan ini. Kami asik ngobrol, ternyata dia memang merasa aneh dengan sikapku tadi, dan mencoba mencari tau apa yang terjadi. Namun tidak banyak yang bisa ku katakan selain “tidak apa2”.
                “Kita jalan-jalan yuk Mi?” tiba-tiba Hafis mengajakku. “Mau kemana fis?” tanyaku lagi, tidak biasanya dia seperti itu. “Kemana aja, keliling-keliling, cari udara segar”. “Owh yaudah, tunggu bentar ya, aku ganti baju dulu” jawabku kemudian menuju kekamar mencari-cari pakain yang kira-kira cocok untuk kekenakan. Seperti biasa, simple tapi elegan merupakan ciri khasku.
                Kami pun berkeliling-keliling gak tau tujuan, berbeda seperti biasanya, suasana begitu dingin, tidak ada komunikasi diantara kami. Saat melewati suatu taman, dia menghentikan kendaraan disitu. Aku mencoba membaca situasi, kenapa mesti ketaman, kalo untuk sekedar ngobrol, sepertinya bisa dilakukan dikostku saja. Kami pun duduk, sama seperti tadi, suasana masih dingin. Lidahku pun kelu tidak tau harus membicarakan apa. “Kemaren kamu cerita mau pindah kost, jadi?” Hafis membuka pembicaraan, meskipun aku tau itu hanya basa basi karena tidak tau mau membahas problem apa, memang seh aku pernah cerita mau pindah kost, tapi rasanya tempat itu terlalu spesial untuk membahas hal sepele seperti itu.
“Hmmm,,jadi gak ya??” ku jawab sekedarnya
“Jadi gak? Tanya nya lagi.
“aku masih bingung fis” jawabku.
“Jadian Yuk” tiba-tiba dia melontarkan pertanyaan yang membuatku shock. Situasi kembali dingin, dia menatapku dalam. “Apaan seh fis?” aku mencoba menenangkan diri meskipun jantungku tidak normal berdetak. Hafis menggengam tangkanku memalingkan wajahku yang sedari tadi menghindar dari pandangannya untuk menatapnya. Aku merasakan keseriusan dimatanya, berbeda dengan Hafis yang selama ini.
“Mi, ngerasa gak seh selama ini kamu aku perlakukan lebih dari teman biasa?” aku membaca kejujuran dimatanya saat kata-kata itu dia ucapkan. Namun belum sempat aku memberikan respon dia kembali melanjutkan kata-katanya, sepertinya begitu banyak yang dia ingin ungkapkan yang selama ini dia sembunyikan dan sudah tidak sanggup lagi untuk dipendam. “Gimana bisa aku tidur dengan tenang malam ini kalo harus ngeliat respon kamu yang kayak tadi dikampus” ujarnya lagi padaku, aku tidak menyangka hal itu membuatnya segelisah itu, “Ya Rabb, mungkinkah selama ini kami merasakan hal yang sama” teriakku dalam hati.
“Aku gak tau kenapa bisa gini, semenjak mengenalmu, aku suka dengan kepribadianmu, perlahan-lahan rasa kagumku berubah menjadi sayang.. bahkan begitu sayang, jadi rasanya begitu sakit jika harus diperlakukan seperti tadi”. Aku terhenyak mendengar pengakuannya, aku melihat sisi lain dari dirinya malam ini. Seketika bibirku terkunci  rapat, tidak tau harus berkata apa. Namu tangan itu masih terus menggenggam erat tanganku seakan tidak ingin melepasnya lagi.
Aku tersenyum padanya, ingin sekali rasanya mengatakan bahwa aku menyayanginya mungkin lebih dari rasa sayangnya padaku, namun itu tetap tidak bisa ku lakukan padanya.
“Mungkin kalo kamu enggak spesial dihatiku, aku gak akan bersikap seperti tadi dikampus. Rasanya seneng banget menhabiskan waktu malam itu denganmu sampai-sampai aku gak bisa mengontrol diri waktu tadi ngeliat kamu fis” Belum selesai aku bicara, hafis merangkulku.
“Udah gak usah dilanjut lagi, aku udah ngerti sekarang, aku sayang kamu Hayati Ilmi, bolehkan aku memilikimu seutuhnya?” Aku merebahkan kepalaku dibahunya, “Aku juga sayang kamu Hafis Siddiq”. Hafis memelukku dan medaratkan satu kecupan dikeningku. Tak terkira bahagianya hatiku malam ini, begitu juga yang ku tangkap dari wajahnya. Ternyata ini yang dimaksud-Nya selama ini, aku saja yang selalu tidak sabar, bahwa semua itu kan indah pada waktunya.