Skenario kisah ini terlalu memuat peran yang menyedihkan untukku.
Aku lelah dengan peran yang selalu ditindas si Antagonis.
Bahkan dalam sinetron pun seorang budak diperkenankan untuk hidup bahagia, tetapi kenapa dunia nyata sepertinya terlalu kejam..??
Aku saja sampai lupa kapan terakhir tersenyum bahagia, kenyataan yang miris.
Lihat dirimu, lalu tatap aku, tidakkah kau sadar bahwa tanpa kau sakiti pun aku sudah begitu lemah??
Belum puas jugakah kecewakan si wanita yang tak berharga ini?
Aku tidak berharap kau bahagiakan, tidak mengecewakanku lagi saja sudah cukup.
Seharusnya itu hal yang mudah jika kau sayangi aku.
Ku upayakan segala hal yang buatmu senang, aku tidak minta balasan apapun, sedikit saja hargai aku.
Tapi sayangnya, dihargaipun sepertinya aku tidak berhak olehmu.
Kau kejam!!
Dia jahat Ibu
:'(
Bu, ajari aku memaafkannya
Rabu, 21 November 2012
Selasa, 20 November 2012
Aku Gagal
Aku dipermalukan oleh amarah.
Emosional menertawakanku dengan bangganya.
aku dikalahkan ego..
Kekecewaan meronta ingin menampar nafsu yg terus mencemooh diri
Pribadiku tak lagi bersahaja dimatanya
aku pendidik yang biarkan sang buah hati terluka
aku pendidik yang biarkan buah hati berlalu dihasut resah
Wajah polosnya penuh luka kecewa
Tersirat air mata ingin aliri pipi halusnya
Secuil harapan inginkan panggilanku tuk tahan langkahnya
Aku yang hanya mematung penuh keangkuhan
merasa diri penuh kebenaran
Emosional menertawakanku dengan bangganya.
aku dikalahkan ego..
Kekecewaan meronta ingin menampar nafsu yg terus mencemooh diri
Pribadiku tak lagi bersahaja dimatanya
aku pendidik yang biarkan sang buah hati terluka
aku pendidik yang biarkan buah hati berlalu dihasut resah
Wajah polosnya penuh luka kecewa
Tersirat air mata ingin aliri pipi halusnya
Secuil harapan inginkan panggilanku tuk tahan langkahnya
Aku yang hanya mematung penuh keangkuhan
merasa diri penuh kebenaran
Aku kalah dalam peperangan ini
Aku gagal tuk bisa diteladani
Maafkan kakak yang jauh dari kesempurnaan ini
Aku gagal tuk bisa diteladani
Maafkan kakak yang jauh dari kesempurnaan ini
Minggu, 04 November 2012
SoulMate
Akhirnya aku diterima disekolah itu, salah satu sekolah menengah atas yang
menjadi favorit di kampung halaman ku. Sejalan waktu aku mulai memiliki banyak
teman termasuk berteman akrab dengan Ridwan dan Nia. Namun siapa yang bisa
menyalahkan jika diantara persahabatan yang terjalin akhirnya tumbuh rasa
cinta. Begitulah yang ku ketahui dari dua orang sahabatku itu.
Namun mungkin bagi mereka persahabatan sangatlah berharga
sehingga mereka lebih memilih mengekang rasa cinta yang ada demi menjaga
hubungan persahabatan.
Nia mulai membuka hati untuk yang lain, meskipun
menurutku dihatinya masih tersimpan rasa sayang yang begitu besar pada Ridwan.
Nia mengatakan padaku dia tidak ingin mengecewakan Aldi yang selama ini
berupaya keras mendekatinya dan telah memberi perhatian lebih padanya dan
akhirnya mereka resmi berpacaran.
Mengetahui hal itu, Ridwan tetap berupaya untuk ikhlas,
meski dalam lubuk hatinya begitu kecewa. Dia mengatakan padaku akan berusaha mengikhlaskan
jika memang itu bisa membuat Nia bahagia.
Hari minggu itu kami pun pergi bertamasya ke salah satu
tempat wisata didaerahku. Kami berboncengan dengan speda motor bersama pasangan
masing-masing, namun di hari itu Ridwan tidak mau ikut, aku bisa membaca ada kecemburuan
di matanya jika melihat Nia bersama yang lain.
“Maaf Din, kalian aja
yang pigi, aku gak bisa ikut karena ada urusan keluarga” jelas Ridwan padaku.
“Yaudah kalo memang gak
bisa ikut jangan dipaksakan, aku tau kok wan alasan sebenarnya” aku menepuk
pundak Ridwan dan berlalu darinya.
Namun belum sempat aku
beranjak jauh, Ridwan berseru “Tolong jaga Nia baik-baik ya Din”, aku pun
terhenti “Iya tenang aja, Nia aman bersama kami, Aldi pasti bisa jaga dia Wan”.
Terkadang aku tidak habis fikir dengan pilihan yang
mereka buat, bagiku tidak masalah jika memang mereka mau menjalin hubungan
lebih dari sahabat, tapi pasti ada alasan yang lebih kuat bagi mereka berdua
sehingga memilih keputusan tersebut.
Perjalanan pun kami mulai, sekitar empat speda motor
berjalan beriringan dengan kecepatan yang standart menuju tempat wisata akan
kami datangi. Aku melihat senyum disemua wajah sahabatku, begitupula Nia.
Meskipun bagiku hari itu kurang sempurna tanpa kehadiran Ridwan, karena kami
baru ini pergi tanpa dia.
Kendaraann kami melaju beriringan dijalanan,
aku dan Nico dibarisan terdepan, disusul oleh teman yang lain dibelakang
kami,sedangkan Nia dan Aldi di posisi paling belakang.
Beberapa saat kemudian kami tiba ditempat tujuan kecuali
Nia dan Aldi, kami tidak melihat mereka. Kami pun menunggu sejenak. Menurut
teman yang lain mereka memang tertinggal dibelakang. Kami pun mengerti, mungkin
karena terlalu asyik ngobrol dalam nuansa manis orang baru jadian. Namun hampir
setengah jam kami menunggu, mereka tidak juga tiba di lokasi.
Beberapa saat kemudian Aldi menghubungi kami, dengan
suara gugup dia mengatakan bahwa mereka kecelakaan karena tabrakan. Sejenak
situasi begitu panik, kami pun bergegas menyusul kembali mereka. Aku begitu
takut akan keadaan mereka. Sesampai ditempat kejadian, kami mendapati aldi
dengan tubuh penuh luka, speda motor yang mereka kendarai rusak parah, namun
yang lebih parah lagi, Nia tidak sadarkan diri karena terjatuh dan kepalanya
terbentur batu. “ Tadi sebelum pingsan dia sempat muntah darah” jelas Aldi.
Warga pun mulai datang berbondong menolong kami, Nia
segera kami bawa kerumah sakit terdekat. Nia belum juga sadar, namun sudah
ditangani oleh dokter. Untuk sementara dokter memfonis Nia geger otak karena
benturan keras dikepalanya. Kami semua begitu terkejut, tidak menyangka hari
itu akan terjadi musibah pada kami.
Aku begitu panik, tidak tahu harus berbuat apa, bagaimana
reaksi kedua orang tuanya jka tau anaknya terbaring kritis dirumah sakit.
Begitu juga dengan Ridwan, dia pasti tidak akan terima satu pun hal buruk
terjadi pada Nia.
Tiga jam sudah nia masuk dalam ruang UGD, namun tidak
juga menampakkan kondisinya akan membaik. Ibunya menangis disisinya. Begitu
juga dengan Ridwan, dia marah pada kami semua karena tidak bisa menjaga Nia.
Terutama pada Aldi, hampir saja terjadi perkelahian antara mereka, namun kamu
cepat melerai mereka. “Ini sudah takdir yang memang pasti terjadi, jadi tidak
ada yang bisa disalahkan” aku berupaya menengahi mereka. “Bukan Cuma kamu wan, kami
semua sayang Nia” kata teman-teman yang lain menambahi.
Tepat pukul delapan malam, Nia menghembuskan nafas
terakhirnya. Nia pergi meninggalkan kami semua. Isak tangis memenuhi ruangan
itu. Kami tidak menyangka hari itu akan kehilangan salah satu sahabat terbaik
kami. Begitu juga kedua orang tua Nia yang harus kehilangan putri tercintanya.
Seminggu berlalu setelah kejadian itu, selalu ada yang
kurang bagi kami, tidak ada lagi senyum manis dari Nia. Tidak ada lagi canda
tawa bersamanya. Begitu juga dengan Ridwan. Tidak pernah lagi ada semangat
diwajahnya.
Menjelang ujian kenaikan kelas, kami semua disibukkan
dengan tugas-tugas, begtiu juga dengan persiapan menjelang ujian.
Satu persatu ujian kami lewati. Tiga hari menjelang
pembagian Rapor para guru disibukkan oleh tugas mereka masing-masing seperti
mengurus nilai murid-muridnya. Kami pun tidak lagi melakukan kegiatan
pembelajaran. Pagi itu setiba dikelas, aku berkumpul dengan teman-teman lain,
namun aku belum melihat Ridwan, tidak biasanya dia belum kelihatan jam segitu.
“Tumben si Ridwan belum keliatan” tanya salah seorang teman. “Macet mungkin
dijalan” jawabku.
Terdengar pengumuman dari sekolah, “Diberitahukan kepada
seluruh siswa-siswi agar lelebih berhati-hati dalam berkendaraan, baru saja
Siswa kelas X-3 yang bernama Ridwan jatuh dari sepeda motornya saat hendak
menuju sekolah, sekarang sedang ditangani di Rumah sakit”.
Kami semua shock mendengar pengumuman tersebut, tubuhku
refleks melemah tak berdaya. Sepulang sekolah kami semua murid X-3 mengunjungi
rumah sakit tempat Ridwan dirawat. Namun menurut perawat rumah sakit tersebut,
Ridwan dibawa kerumah sakit lain karena
mereka mengaku tidak sanggup menanganinya.
Air mata menetes dipipiku dan para sahabat, rasa sedih
akan kehilangan Nia belum hilang dari benak kami, kini kami mendengar berita
buruk tentang Ridwan. Kami semua mengirim sms ke Ridwan ungkapan doa semoga dia
dapat bertahan dan bisa kembali bergabung dengan kami.
Aku pulang kerumah dengan langkah gontai, badanku terasa
akan demam, mungkin karena terlalu shock sehingga semangatku jadi melemah. Aku
merebahkan diri dikasur dan teringat
kemarin saat Ridwan mengatarku pulang kerumah, kemudian dia curhat akan rasa
rindunya kepada Nia. Aku tidak habis
fikir kenapa hal ini bisa terjadi pada dua sahabat terbaikku. Dalam hati
aku terus berdoa akan keselamatan Ridwan, semoga dia bisa kuat melewati
masa-masa kritisnya.
Ridwan tiba didepan rumahku. Aku menatapnya aneh. Dia
terlihat pucat dan tak berdaya. Dia datang menghampiriku yang saat itu sedang
duduk diteras rumah.
“Din aku mau pamit” ucapnya.
“Mau pergi kemana wan?” tanyaku heran.
“Aku ingin menemani Nia
Din” jawabnya kemudian berbalik arah dan pergi begitu saja.
“Wan jangan
pergiiiiiiii....” aku menjerit berusaha mencegahnya hingga akhirnya aku terjaga
dari tidurku.
“Astaghfirullah,
ternyata mimpi”, aku terengah-engah, keringat membasahi sekujur tubuhku. Aku
tersadar bahwa aku tertidur saat pulang sekolah tadi.
Aku mengambil Handphone
ku dan mmelihat banyak missed call dan sms dari temanku.
Akupun membaca sms tersebut satu persatu :
Akupun membaca sms tersebut satu persatu :
“Innalillahi wainna
ilaihi raji’un, semoga Ridwan tenang disana”
“Sekali lagi kita
kehilangan sahabat terbaik kita, semoga amal ibadah Ridwan diterima-Nya”
Air mata itu mengalir
dipipiku, ternyata Ridwan benar-benar pamit denganku lewat mimpi tadi.
Aku yakin ini adalah
takdir yang sudah digariskan kepada dua orang sahabat terbaikku itu, Sang ilahi
lebih memilih mereka untuk berjodoh di surga.
Selamat jalan sahabat,
namamu akan selalu ada dihati kami..
Pelatihan kemarin...
Memasuki semester 7 di masa perkuliahanku hanya memunculkan satu hal didalam benak, Apakah aku bisa melewati program latihan mengajar itu kelak?
Itu dan itu terus.
Aku menyadari diri yang hanya bermodal penguasaan konsep.
Bagaimana kelak menguasai kelas?
mengamankan suasana kelas?
Apa aku mampu?
Namun aku juga berfikir, yang penting niatku benar-benar tulus ingin berbagi ilmu pada mereka, menjadi bagian dari mereka yang kelak jika mereka butuh, Insya Allah aku akan hadir membantu..
Ya..itu saja..
Hingga akhirnya penempatan itu meletakkan ku disuatu sekolah yang terbilang cukup menantang kemampuan akademik.
Aku pasrah. Allah pasti berencana baik dibalik semua ini.
Hari Pertama
Memasuki gerbang sekolah itu dengan rasa gugup, "Tempat ini begitu asing bagiku", fikirku dalam hati. Namun rasanya begitu nyaman, berada dilingkungan yang bernuansa islami, dimana karakter ramah-tamah dan saling menghormati benar-benar ditegakkan. Aku pun dihadapkan dengan sejumlah jadwal yang untuk 3 bulan kedepannya harus dijalani. Satu hal lagi yang membuatku senang, guru pembimbingku begitu baik. Ternyata benar, Allah berencana baik.
Hari Kedua
Pertama kalinya memasuki kelas seorang diri, aku disuruh mengamankan murid-murid itu karena gurunya belum datang. Really nervous. Sambutan acuh dari mereka, sedikit terkesan disepelekan, maklumlah jika mereka mengetahui statusku disekolah.
Setelah satu minggu
Aku mulai menikmati kegiatan ini, awalnya aku berfikir jadi guru itu sulit, ternyata tidak seutuhnya benar. Mereka cukup welcome dengan cara mengajarku. Aku tidak berharap banyak, asal mereka bilang mengerti saja itu sudah lebih dari cukup.
Mencoba memahami karakter mereka, membaur dengan mereka, itulah yang ku lakukan.
2 Bulan berlalu
Kehadiranku mulai di nanti, bukan hal yang sering terjadi untuk mata pelajaran Matematika. Terkadang interaksi yang terjadi bukan selayaknya guru dan murid, melainkan kakak dan adiknya. Tapi aku merasa mereka nyaman akan hal itu.
Hari-hari menjelang usai
Mereka tidak menginginkanku pergi. Respon yang begitu tidak terduga. Aku pun seperti mereka, merasa memiliki keluarga baru, menyayangi mereka.
Hari itu
Langkah ku pasti menuju ke kelas. Tidak seperti biasanya. Mereka tidak menunggu.
Hati kecilku sedih, bukan begini yang ku mau.
Untuk pertama dan yang terkahir kalinya mereka tidak respect padaku. Dan lebih parah lagi, mereka menentang semua yang ku katakan.
Kesabaranku habis. Spontan aku beranjak pergi, aku hanya tidak ingin marah dan memilih pergi. Mereka mengejarku, membujuk untuk kembali. Surprise ulang tahun dan perpisahan ternyata yang telah mereka rencanakan. Aku tidak menyangka. Aku senang namun sedih. Sambil bertutur terimakasih aku pun meneteskan air mata. Air mata bahagia. Ternyata muridku sudah dewasa dan mereka menyayangiku.
Itu dan itu terus.
Aku menyadari diri yang hanya bermodal penguasaan konsep.
Bagaimana kelak menguasai kelas?
mengamankan suasana kelas?
Apa aku mampu?
Namun aku juga berfikir, yang penting niatku benar-benar tulus ingin berbagi ilmu pada mereka, menjadi bagian dari mereka yang kelak jika mereka butuh, Insya Allah aku akan hadir membantu..
Ya..itu saja..
Hingga akhirnya penempatan itu meletakkan ku disuatu sekolah yang terbilang cukup menantang kemampuan akademik.
Aku pasrah. Allah pasti berencana baik dibalik semua ini.
Hari Pertama
Memasuki gerbang sekolah itu dengan rasa gugup, "Tempat ini begitu asing bagiku", fikirku dalam hati. Namun rasanya begitu nyaman, berada dilingkungan yang bernuansa islami, dimana karakter ramah-tamah dan saling menghormati benar-benar ditegakkan. Aku pun dihadapkan dengan sejumlah jadwal yang untuk 3 bulan kedepannya harus dijalani. Satu hal lagi yang membuatku senang, guru pembimbingku begitu baik. Ternyata benar, Allah berencana baik.
Hari Kedua
Pertama kalinya memasuki kelas seorang diri, aku disuruh mengamankan murid-murid itu karena gurunya belum datang. Really nervous. Sambutan acuh dari mereka, sedikit terkesan disepelekan, maklumlah jika mereka mengetahui statusku disekolah.
Setelah satu minggu
Aku mulai menikmati kegiatan ini, awalnya aku berfikir jadi guru itu sulit, ternyata tidak seutuhnya benar. Mereka cukup welcome dengan cara mengajarku. Aku tidak berharap banyak, asal mereka bilang mengerti saja itu sudah lebih dari cukup.
Mencoba memahami karakter mereka, membaur dengan mereka, itulah yang ku lakukan.
2 Bulan berlalu
Kehadiranku mulai di nanti, bukan hal yang sering terjadi untuk mata pelajaran Matematika. Terkadang interaksi yang terjadi bukan selayaknya guru dan murid, melainkan kakak dan adiknya. Tapi aku merasa mereka nyaman akan hal itu.
Hari-hari menjelang usai
Mereka tidak menginginkanku pergi. Respon yang begitu tidak terduga. Aku pun seperti mereka, merasa memiliki keluarga baru, menyayangi mereka.
Hari itu
Langkah ku pasti menuju ke kelas. Tidak seperti biasanya. Mereka tidak menunggu.
Hati kecilku sedih, bukan begini yang ku mau.
Untuk pertama dan yang terkahir kalinya mereka tidak respect padaku. Dan lebih parah lagi, mereka menentang semua yang ku katakan.
Kesabaranku habis. Spontan aku beranjak pergi, aku hanya tidak ingin marah dan memilih pergi. Mereka mengejarku, membujuk untuk kembali. Surprise ulang tahun dan perpisahan ternyata yang telah mereka rencanakan. Aku tidak menyangka. Aku senang namun sedih. Sambil bertutur terimakasih aku pun meneteskan air mata. Air mata bahagia. Ternyata muridku sudah dewasa dan mereka menyayangiku.
Rabu, 24 Oktober 2012
Renungan untuk Hari ini
Terkadang aku merasa dunia begitu kejam
Tidak adil..
Tapi harus tetap menyadari bahwa tidak ada nasib yg buruk,
hanya saja mungkin belum beruntung..
Aku tidak minta kita untuk saling care dan respect
Tidak mengusikku yg tidak pernah mengganggu kalian saja sudah cukup.
Aku fikir kalian teman, ternyata salah
Musuh dalam selimut..
Begitu bahagianya tertawa saat aku merasa tertindas..
Dan di malam ini,
Ternyata aku salah berniat meminjam bahumu untuk sandarkan segala keluh..
Jangankan tuk mengusap air mataku yg hampir jatuh
Malah kau menambah lebar luka yang sudah begitu menyakitkan ini,,
Ada apa dengan 24 Oktober ini?
Apa salahku ya Rabb?
Hanya pesan seorang murid yg mampu menghiburku :
"Jangan terpengaruh sama hal negative yang ada diluar sana"
Insya Allah nak..Akan seperti itu
:'(
Tidak adil..
Tapi harus tetap menyadari bahwa tidak ada nasib yg buruk,
hanya saja mungkin belum beruntung..
Aku tidak minta kita untuk saling care dan respect
Tidak mengusikku yg tidak pernah mengganggu kalian saja sudah cukup.
Aku fikir kalian teman, ternyata salah
Musuh dalam selimut..
Begitu bahagianya tertawa saat aku merasa tertindas..
Dan di malam ini,
Ternyata aku salah berniat meminjam bahumu untuk sandarkan segala keluh..
Jangankan tuk mengusap air mataku yg hampir jatuh
Malah kau menambah lebar luka yang sudah begitu menyakitkan ini,,
Ada apa dengan 24 Oktober ini?
Apa salahku ya Rabb?
Hanya pesan seorang murid yg mampu menghiburku :
"Jangan terpengaruh sama hal negative yang ada diluar sana"
Insya Allah nak..Akan seperti itu
:'(
Sabtu, 13 Oktober 2012
Aku Menyerah
Aku tidak menyesal menyangimu
yang ku sesalkan adalah terlambat mengetahui bahwa kau tidak sungguh-sungguh menyayangiku..
Aku terlalu naif ternyata, bodohnya menangisi hal yg tidak perlu..
Tidak perlu heran mengapa aku terus dikecewakan, tidak pernah dimengerti,.
karena memang aku tidak pernah berarti..
sedih..selalu sedih jika sadari itu
apa kau tau rasa sakitnya?
Benci, aku tidak pernah lakukan itu
Sayang, itu yang tidak akan pernah berubah untukmu
kau bisa tanyakan pada malaikat bahwa tak kan pernah ada yg bisa sayangimu lebih dari aku
Dan untukmu yg kemarin begitu ku harapkan kelak menjadi imamku
kelak jika kau temukan cinta barumu, kenali dia lahir dan batin
jgn pernah biarkan air mata mengaliri pipinya hanya karena sikapmu
karena air mata itu takkan pernah menetes jika kau tidak benar2 ia cintai
Putri Radika
yang ku sesalkan adalah terlambat mengetahui bahwa kau tidak sungguh-sungguh menyayangiku..
Aku terlalu naif ternyata, bodohnya menangisi hal yg tidak perlu..
Tidak perlu heran mengapa aku terus dikecewakan, tidak pernah dimengerti,.
karena memang aku tidak pernah berarti..
sedih..selalu sedih jika sadari itu
apa kau tau rasa sakitnya?
Benci, aku tidak pernah lakukan itu
Sayang, itu yang tidak akan pernah berubah untukmu
kau bisa tanyakan pada malaikat bahwa tak kan pernah ada yg bisa sayangimu lebih dari aku
Dan untukmu yg kemarin begitu ku harapkan kelak menjadi imamku
kelak jika kau temukan cinta barumu, kenali dia lahir dan batin
jgn pernah biarkan air mata mengaliri pipinya hanya karena sikapmu
karena air mata itu takkan pernah menetes jika kau tidak benar2 ia cintai
Putri Radika
Minggu, 02 September 2012
Bunda
Tiada air mata meskipun hatinya terluka
Ketegarannya melumpuhkan amarah
Akankah dy tetap tabah dengan rintangan yang selalu membuntuti??
Jemarinya lembut, membelai raga dengan penuh cinta
Tutur katanya santun, mendinginkan jiwa
Hatinya suci laksana kertas putih tanpa noda..
Bisakah Engkau tempatkan dy kelak di Surga-Mu yg terindah?
Jumat, 31 Agustus 2012
Goresan Pena Terakhir
Di suatu hari Kehidupan
pernikahan kami awalnya baik2 saja menurutku. Meskipun menjelang pernikahan
selalu terjadi konflik, tapi setelah menikah Mario tampak baik dan lebih
menuruti apa mauku.
Kami tidak pernah bertengkar hebat, kalau marah dia cenderung diam dan pergi ke kantornya bekerja sampai subuh, baru pulang ke rumah, mandi, kemudian mengantar anak kami sekolah. Tidurnya sangat sedikit, makannya pun sedikit. Aku pikir dia workaholic.
Dia menciumku maksimal 2x sehari, pagi menjelang kerja, dan saat dia pulang kerja, itu pun kalau aku masih bangun. Karena waktu pacaran dia tidak pernah romantis, aku pikir, memang dia tak romantis, dan tidak memerlukan hal2 seperti itu sebagai ungkapan sayang.
Kami jarang ngobrol sampai malam, kami jarang pergi nonton berdua, bahkan makan berdua diluar pun hampir tidak pernah. Kalau kami makan di meja makan berdua, kami asyik sendiri dengan sendok garpu kami, bukan obrolan yang terdengar, hanya denting piring yang beradu dengan sendok garpu.
Kalau hari libur, dia lebih sering hanya tiduran di kamar, atau main dengan anak2 kami, dia jarang sekali tertawa lepas. Karena dia sangat pendiam, aku menyangka dia memang tidak suka tertawa lepas.
Aku mengira rumah tangga kami baik2 saja selama 8 tahun pernikahan kami. Sampai suatu ketika, di suatu hari yang terik, saat itu suamiku tergolek sakit di rumah sakit, karena jarang makan, dan sering jajan di kantornya, dibanding makan di rumah, dia kena typhoid, dan harus dirawat di RS, karena sampai terjadi perforasi di ususnya. Pada saat dia masih di ICU, seorang perempuan datang menjenguknya. Dia memperkenalkan diri, bernama meisha, temannya Mario saat dulu kuliah.
Meisha tidak secantik aku, dia begitu sederhana, tapi aku tidak pernah melihat mata yang begitu cantik seperti yang dia miliki. Matanya bersinar indah, penuh kehangatan dan penuh cinta, ketika dia berbicara, seakan2 waktu berhenti berputar dan terpana dengan kalimat2nya yang ringan dan penuh pesona. Setiap orang, laki2 maupun perempuan bahkan mungkin serangga yang lewat, akan jatuh cinta begitu mendengar dia bercerita.
Meisha tidak pernah kenal dekat dengan Mario selama mereka kuliah dulu, Meisha bercerita Mario sangat pendiam, sehingga jarang punya teman yang akrab. 5 bulan lalu mereka bertemu, karena ada pekerjaan kantor mereka yang mempertemukan mereka. Meisha yang bekerja di advertising akhirnya bertemu dengan Mario yang sedang membuat iklan untuk perusahaan tempatnya bekerja.
Aku mulai mengingat 2,5 bulan lalu ada perubahan yang cukup drastis pada Mario, setiap mau pergi kerja, dia tersenyum manis padaku, dan dalam sehari bisa menciumku lebih dari 3x. Dia membelikan aku parfum baru, dan mulai sering tertawa lepas. Tapi di saat lain, dia sering termenung di depan komputernya. Atau termenung memegang Hp-nya. Kalau aku tanya, dia bilang, ada pekerjaan yang membingungkan.
Suatu saat Meisha pernah datang pada saat Mario sakit dan masih dirawat di RS. Aku sedang memegang sepiring nasi beserta lauknya dengan wajah kesal, karena Mario tidak juga mau aku suapi. Meisha masuk kamar, dan menyapa dengan suara riangnya,
“Hai Rima, kenapa dengan anak sulungmu yang nomor satu ini? tidak mau makan juga? uhh… dasar anak nakal, sini piringnya”, lalu dia terus mengajak Mario bercerita sambil menyuapi Mario, tiba2 saja sepiring nasi itu sudah habis ditangannya. Dan….aku tidak pernah melihat tatapan penuh cinta yang terpancar dari mata suamiku, seperti siang itu, tidak pernah seumur hidupku yang aku lalui bersamanya, tidak pernah sedetikpun!
Hatiku terasa sakit, lebih sakit dari ketika dia membalikkan tubuhnya membelakangi aku saat aku memeluknya dan berharap dia mencumbuku. Lebih sakit dari rasa sakit setelah operasi caesar ketika aku melahirkan anaknya. Lebih sakit dari rasa sakit, ketika dia tidak mau memakan masakan yang aku buat dengan susah payah.
Lebih sakit daripada sakit ketika dia tidak pulang ke rumah saat ulang tahun perkawinan kami kemarin. Lebih sakit dari rasa sakit ketika dia lebih suka mencumbu komputernya dibanding aku.
Tapi aku tidak pernah bisa marah setiap melihat perempuan itu. Meisha begitu manis, dia bisa hadir tiba2, membawakan donat buat anak2, dan membawakan ekrol kesukaanku. Dia mengajakku jalan2, kadang mengajakku nonton. kali lain, dia datang bersama suami dan ke-2 anaknya yang lucu2.
Aku tidak pernah bertanya, apakah suamiku mencintai perempuan berhati bidadari itu? karena tanpa bertanya pun aku sudah tahu, apa yang bergejolak dihatinya.
Suatu sore, mendung begitu menyelimuti jakarta, aku tidak pernah menyangka, hatiku pun akan mendung, bahkan gerimis kemudian.
Anak sulungku, seorang anak perempuan cantik berusia 7 tahun, rambutnya keriting ikal dan cerdasnya sama seperti ayahnya. Dia berhasil membuka password email Papanya, dan memanggilku, “Mama, mau lihat surat papa buat tante Meisha?”
Aku tertegun memandangnya, dan membaca surat elektronik itu,
Dear Meisha,
Kehadiranmu bagai beribu bintang gemerlap yang mengisi seluruh relung hatiku, aku tidak pernah merasakan jatuh cinta seperti ini, bahkan pada Rima. Aku mencintai Rima karena kondisi yang mengharuskan aku mencintainya, karena dia ibu dari anak2ku.
Ketika aku menikahinya, aku tetap tidak tahu apakah aku sungguh2 mencintainya. Tidak ada perasaan bergetar seperti ketika aku memandangmu, tidak ada perasaan rindu yang tidak pernah padam ketika aku tidak menjumpainya. Aku hanya tidak ingin menyakiti perasaannya. Ketika konflik2 terjadi saat kami pacaran dulu, aku sebenarnya kecewa, tapi aku tidak sanggup mengatakan padanya bahwa dia bukanlah perempuan yang aku cari untuk mengisi kekosongan hatiku. Hatiku tetap terasa hampa, meskipun aku menikahinya.
Aku tidak tahu, bagaimana caranya menumbuhkan cinta untuknya, seperti ketika cinta untukmu tumbuh secara alami, seperti pohon2 beringin yang tumbuh kokoh tanpa pernah mendapat siraman dari pemiliknya. Seperti pepohonan di hutan2 belantara yang tidak pernah minta disirami, namun tumbuh dengan lebat secara alami. Itu yang aku rasakan.
Aku tidak akan pernah bisa memilikimu, karena kau sudah menjadi milik orang lain dan aku adalah laki2 yang sangat memegang komitmen pernikahan kami. Meskipun hatiku terasa hampa, itu tidaklah mengapa, asal aku bisa melihat Rima bahagia dan tertawa, dia bisa mendapatkan segala yang dia inginkan selama aku mampu. Dia boleh mendapatkan seluruh hartaku dan tubuhku, tapi tidak jiwaku dan cintaku, yang hanya aku berikan untukmu. Meskipun ada tembok yang menghalangi kita, aku hanya berharap bahwa engkau mengerti, you are the only one in my heart.
yours,
Mario
Mataku terasa panas. Jelita, anak sulungku memelukku erat. Meskipun baru berusia 7 tahun, dia adalah malaikat jelitaku yang sangat mengerti dan menyayangiku.
Suamiku tidak pernah mencintaiku. Dia tidak pernah bahagia bersamaku. Dia mencintai perempuan lain.
Aku mengumpulkan kekuatanku. Sejak itu, aku menulis surat hampir setiap hari untuk suamiku. Surat itu aku simpan di amplop, dan aku letakkan di lemari bajuku, tidak pernah aku berikan untuknya.
Mobil yang dia berikan untukku aku kembalikan padanya. Aku mengumpulkan tabunganku yang kusimpan dari sisa2 uang belanja, lalu aku belikan motor untuk mengantar dan menjemput anak2ku. Mario merasa heran, karena aku tidak pernah lagi bermanja dan minta dibelikan bermacam2 merek tas dan baju. Aku terpuruk dalam kehancuranku. Aku dulu memintanya menikahiku karena aku malu terlalu lama pacaran, sedangkan teman2ku sudah menikah semua. Ternyata dia memang tidak pernah menginginkan aku menjadi istrinya.
Betapa tidak berharganya aku. Tidakkah dia tahu, bahwa aku juga seorang perempuan yang berhak mendapatkan kasih sayang dari suaminya ? Kenapa dia tidak mengatakan saja, bahwa dia tidak mencintai aku dan tidak menginginkan aku ? itu lebih aku hargai daripada dia cuma diam dan mengangguk dan melamarku lalu menikahiku. Betapa malangnya nasibku.
Mario terus menerus sakit2an, dan aku tetap merawatnya dengan setia. Biarlah dia mencintai perempuan itu terus di dalam hatinya. Dengan pura2 tidak tahu, aku sudah membuatnya bahagia dengan mencintai perempuan itu. Kebahagiaan Mario adalah kebahagiaanku juga, karena aku akan selalu mencintainya.
**********
Setahun kemudian…
Meisha membuka amplop surat2 itu dengan air mata berlinang. Tanah pemakaman itu masih basah merah dan masih dipenuhi bunga.
” Mario, suamiku….
Aku tidak pernah menyangka pertemuan kita saat aku pertama kali bekerja di kantormu, akan membawaku pada cinta sejatiku. Aku begitu terpesona padamu yang pendiam dan tampak dingin. Betapa senangnya aku ketika aku tidak bertepuk sebelah tangan. Aku mencintaimu, dan begitu posesif ingin memilikimu seutuhnya.
Aku sering marah, ketika kamu asyik bekerja, dan tidak memperdulikan aku. Aku merasa di atas angin, ketika kamu hanya diam dan menuruti keinginanku… Aku pikir, aku si puteri cantik yang diinginkan banyak pria, telah memenuhi ruang hatimu dan kamu terlalu mencintaiku sehingga mau melakukan apa saja untukku…..
Ternyata aku keliru…. aku menyadarinya tepat sehari setelah pernikahan kita. Ketika aku membanting hadiah jam tangan dari seorang teman kantor dulu yang aku tahu sebenarnya menyukai Mario.
Aku melihat matamu begitu terluka, ketika berkata, “kenapa, Rima? Kenapa kamu mesti cemburu? dia sudah menikah, dan aku sudah memilihmu menjadi istriku?”
Aku tidak perduli,dan berlalu dari hadapanmu dengan sombongnya.
Sekarang aku menyesal, memintamu melamarku. Engkau tidak pernah bahagia bersamaku. Aku adalah hal terburuk dalam kehidupan cintamu. Aku bukanlah wanita yang sempurna yang engkau inginkan.
Istrimu,
Rima”
Di surat yang lain,
“………Kehadiran perempuan itu membuatmu berubah, engkau tidak lagi sedingin es. Engkau mulai terasa hangat, namun tetap saja aku tidak pernah melihat cahaya cinta dari matamu untukku, seperti aku melihat cahaya yang penuh cinta itu berpendar dari kedua bola matamu saat memandang Meisha……”
Disurat yang kesekian,
“…….Aku bersumpah, akan membuatmu jatuh cinta padaku.
Aku telah berubah, Mario. Engkau lihat kan, aku tidak lagi marah2 padamu, aku tidak lagi suka membanting2 barang dan berteriak jika emosi. Aku belajar masak, dan selalu kubuatkan masakan yang engkau sukai. Aku tidak lagi boros, dan selalau menabung. Aku tidak lagi suka bertengkar dengan ibumu. Aku selalu tersenyum menyambutmu pulang ke rumah.
Dan aku selalu meneleponmu, untuk menanyakan sudahkah kekasih hatiku makan siang ini? Aku merawatmu jika engkau sakit, aku tidak kesal saat engkau tidak mau aku suapi, aku menungguimu sampai tertidur disamping tempat tidurmu, di rumah sakit saat engkau dirawat, karena penyakit pencernaanmu yang selalu bermasalah…….
Meskipun belum terbit juga, sinar cinta itu dari matamu, aku akan tetap berusaha dan menantinya……..”
Meisha menghapus air mata yang terus mengalir dari kedua mata indahnya… dipeluknya Jelita yang tersedu-sedu disampingnya.
Disurat terakhir, pagi ini…
“…………..Hari ini adalah hari ulang tahun pernikahan kami yang ke-9. Tahun lalu engkau tidak pulang ke rumah, tapi tahun ini aku akan memaksamu pulang, karena hari ini aku akan masak, masakan yang paling enak sedunia. Kemarin aku belajar membuatnya di rumah Bude Tati, sampai kehujanan dan basah kuyup, karena waktu pulang hujannya deras sekali, dan aku hanya mengendarai motor.
Saat aku tiba di rumah kemarin malam, aku melihat sinar kekhawatiran dimatamu. Engkau memelukku, dan menyuruhku segera ganti baju supaya tidak sakit.
Tahukah engkau suamiku,
Selama hampir 15 tahun aku mengenalmu, 6 tahun kita pacaran, dan hampir 9 tahun kita menikah, baru kali ini aku melihat sinar kekhawatiran itu dari matamu, inikah tanda2 cinta mulai bersemi dihatimu ?………”
Jelita menatap Meisha, dan bercerita,
“Siang itu Mama menjemputku dengan motornya, dari jauh aku melihat keceriaan diwajah mama, dia terus melambai-lambaikan tangannya kepadaku. Aku tidak pernah melihat wajah yang sangat bersinar dari mama seperti siang itu, dia begitu cantik. Meskipun dulu sering marah2 kepadaku, tapi aku selalu menyayanginya. Mama memarkir motornya di seberang jalan, Ketika mama menyeberang jalan, tiba2 mobil itu lewat dari tikungan dengan kecepatan tinggi…… aku tidak sanggup melihatnya terlontar,
Tante….. aku melihatnya masih memandangku sebelum dia tidak lagi bergerak……”. Jelita memeluk Meisha dan terisak-isak. Bocah cantik ini masih terlalu kecil untuk merasakan sakit di hatinya, tapi dia sangat dewasa.
Meisha mengeluarkan selembar kertas yang dia print tadi pagi. Mario mengirimkan email lagi kemarin malam, dan tadinya aku ingin Rima membacanya.
Dear Meisha,
Selama setahun ini aku mulai merasakan Rima berbeda, dia tidak lagi marah2 dan selalu berusaha menyenangkan hatiku. Dan tadi, dia pulang dengan tubuh basah kuyup karena kehujanan, aku sangat khawatir dan memeluknya. Tiba2 aku baru menyadari betapa beruntungnya aku memiliki dia. Hatiku mulai bergetar…. Inikah tanda2 aku mulai mencintainya?
Aku terus berusaha mencintainya seperti yang engkau sarankan, Meisha. Dan besok aku akan memberikan surprise untuknya, aku akan membelikan mobil mungil untuknya, supaya dia tidak lagi naik motor kemana-mana. Bukan karena dia ibu dari anak2ku, tapi karena dia belahan jiwaku….
Meisha menatap Mario yang tampak semakin ringkih, yang masih terduduk disamping nisan Rima. Di wajahnya tampak duka yang dalam. Semuanya telah terjadi, Mario……
Kadang kita baru menyadari mencintai seseorang, ketika seseorang itu telah pergi meninggalkan kita
Kami tidak pernah bertengkar hebat, kalau marah dia cenderung diam dan pergi ke kantornya bekerja sampai subuh, baru pulang ke rumah, mandi, kemudian mengantar anak kami sekolah. Tidurnya sangat sedikit, makannya pun sedikit. Aku pikir dia workaholic.
Dia menciumku maksimal 2x sehari, pagi menjelang kerja, dan saat dia pulang kerja, itu pun kalau aku masih bangun. Karena waktu pacaran dia tidak pernah romantis, aku pikir, memang dia tak romantis, dan tidak memerlukan hal2 seperti itu sebagai ungkapan sayang.
Kami jarang ngobrol sampai malam, kami jarang pergi nonton berdua, bahkan makan berdua diluar pun hampir tidak pernah. Kalau kami makan di meja makan berdua, kami asyik sendiri dengan sendok garpu kami, bukan obrolan yang terdengar, hanya denting piring yang beradu dengan sendok garpu.
Kalau hari libur, dia lebih sering hanya tiduran di kamar, atau main dengan anak2 kami, dia jarang sekali tertawa lepas. Karena dia sangat pendiam, aku menyangka dia memang tidak suka tertawa lepas.
Aku mengira rumah tangga kami baik2 saja selama 8 tahun pernikahan kami. Sampai suatu ketika, di suatu hari yang terik, saat itu suamiku tergolek sakit di rumah sakit, karena jarang makan, dan sering jajan di kantornya, dibanding makan di rumah, dia kena typhoid, dan harus dirawat di RS, karena sampai terjadi perforasi di ususnya. Pada saat dia masih di ICU, seorang perempuan datang menjenguknya. Dia memperkenalkan diri, bernama meisha, temannya Mario saat dulu kuliah.
Meisha tidak secantik aku, dia begitu sederhana, tapi aku tidak pernah melihat mata yang begitu cantik seperti yang dia miliki. Matanya bersinar indah, penuh kehangatan dan penuh cinta, ketika dia berbicara, seakan2 waktu berhenti berputar dan terpana dengan kalimat2nya yang ringan dan penuh pesona. Setiap orang, laki2 maupun perempuan bahkan mungkin serangga yang lewat, akan jatuh cinta begitu mendengar dia bercerita.
Meisha tidak pernah kenal dekat dengan Mario selama mereka kuliah dulu, Meisha bercerita Mario sangat pendiam, sehingga jarang punya teman yang akrab. 5 bulan lalu mereka bertemu, karena ada pekerjaan kantor mereka yang mempertemukan mereka. Meisha yang bekerja di advertising akhirnya bertemu dengan Mario yang sedang membuat iklan untuk perusahaan tempatnya bekerja.
Aku mulai mengingat 2,5 bulan lalu ada perubahan yang cukup drastis pada Mario, setiap mau pergi kerja, dia tersenyum manis padaku, dan dalam sehari bisa menciumku lebih dari 3x. Dia membelikan aku parfum baru, dan mulai sering tertawa lepas. Tapi di saat lain, dia sering termenung di depan komputernya. Atau termenung memegang Hp-nya. Kalau aku tanya, dia bilang, ada pekerjaan yang membingungkan.
Suatu saat Meisha pernah datang pada saat Mario sakit dan masih dirawat di RS. Aku sedang memegang sepiring nasi beserta lauknya dengan wajah kesal, karena Mario tidak juga mau aku suapi. Meisha masuk kamar, dan menyapa dengan suara riangnya,
“Hai Rima, kenapa dengan anak sulungmu yang nomor satu ini? tidak mau makan juga? uhh… dasar anak nakal, sini piringnya”, lalu dia terus mengajak Mario bercerita sambil menyuapi Mario, tiba2 saja sepiring nasi itu sudah habis ditangannya. Dan….aku tidak pernah melihat tatapan penuh cinta yang terpancar dari mata suamiku, seperti siang itu, tidak pernah seumur hidupku yang aku lalui bersamanya, tidak pernah sedetikpun!
Hatiku terasa sakit, lebih sakit dari ketika dia membalikkan tubuhnya membelakangi aku saat aku memeluknya dan berharap dia mencumbuku. Lebih sakit dari rasa sakit setelah operasi caesar ketika aku melahirkan anaknya. Lebih sakit dari rasa sakit, ketika dia tidak mau memakan masakan yang aku buat dengan susah payah.
Lebih sakit daripada sakit ketika dia tidak pulang ke rumah saat ulang tahun perkawinan kami kemarin. Lebih sakit dari rasa sakit ketika dia lebih suka mencumbu komputernya dibanding aku.
Tapi aku tidak pernah bisa marah setiap melihat perempuan itu. Meisha begitu manis, dia bisa hadir tiba2, membawakan donat buat anak2, dan membawakan ekrol kesukaanku. Dia mengajakku jalan2, kadang mengajakku nonton. kali lain, dia datang bersama suami dan ke-2 anaknya yang lucu2.
Aku tidak pernah bertanya, apakah suamiku mencintai perempuan berhati bidadari itu? karena tanpa bertanya pun aku sudah tahu, apa yang bergejolak dihatinya.
Suatu sore, mendung begitu menyelimuti jakarta, aku tidak pernah menyangka, hatiku pun akan mendung, bahkan gerimis kemudian.
Anak sulungku, seorang anak perempuan cantik berusia 7 tahun, rambutnya keriting ikal dan cerdasnya sama seperti ayahnya. Dia berhasil membuka password email Papanya, dan memanggilku, “Mama, mau lihat surat papa buat tante Meisha?”
Aku tertegun memandangnya, dan membaca surat elektronik itu,
Dear Meisha,
Kehadiranmu bagai beribu bintang gemerlap yang mengisi seluruh relung hatiku, aku tidak pernah merasakan jatuh cinta seperti ini, bahkan pada Rima. Aku mencintai Rima karena kondisi yang mengharuskan aku mencintainya, karena dia ibu dari anak2ku.
Ketika aku menikahinya, aku tetap tidak tahu apakah aku sungguh2 mencintainya. Tidak ada perasaan bergetar seperti ketika aku memandangmu, tidak ada perasaan rindu yang tidak pernah padam ketika aku tidak menjumpainya. Aku hanya tidak ingin menyakiti perasaannya. Ketika konflik2 terjadi saat kami pacaran dulu, aku sebenarnya kecewa, tapi aku tidak sanggup mengatakan padanya bahwa dia bukanlah perempuan yang aku cari untuk mengisi kekosongan hatiku. Hatiku tetap terasa hampa, meskipun aku menikahinya.
Aku tidak tahu, bagaimana caranya menumbuhkan cinta untuknya, seperti ketika cinta untukmu tumbuh secara alami, seperti pohon2 beringin yang tumbuh kokoh tanpa pernah mendapat siraman dari pemiliknya. Seperti pepohonan di hutan2 belantara yang tidak pernah minta disirami, namun tumbuh dengan lebat secara alami. Itu yang aku rasakan.
Aku tidak akan pernah bisa memilikimu, karena kau sudah menjadi milik orang lain dan aku adalah laki2 yang sangat memegang komitmen pernikahan kami. Meskipun hatiku terasa hampa, itu tidaklah mengapa, asal aku bisa melihat Rima bahagia dan tertawa, dia bisa mendapatkan segala yang dia inginkan selama aku mampu. Dia boleh mendapatkan seluruh hartaku dan tubuhku, tapi tidak jiwaku dan cintaku, yang hanya aku berikan untukmu. Meskipun ada tembok yang menghalangi kita, aku hanya berharap bahwa engkau mengerti, you are the only one in my heart.
yours,
Mario
Mataku terasa panas. Jelita, anak sulungku memelukku erat. Meskipun baru berusia 7 tahun, dia adalah malaikat jelitaku yang sangat mengerti dan menyayangiku.
Suamiku tidak pernah mencintaiku. Dia tidak pernah bahagia bersamaku. Dia mencintai perempuan lain.
Aku mengumpulkan kekuatanku. Sejak itu, aku menulis surat hampir setiap hari untuk suamiku. Surat itu aku simpan di amplop, dan aku letakkan di lemari bajuku, tidak pernah aku berikan untuknya.
Mobil yang dia berikan untukku aku kembalikan padanya. Aku mengumpulkan tabunganku yang kusimpan dari sisa2 uang belanja, lalu aku belikan motor untuk mengantar dan menjemput anak2ku. Mario merasa heran, karena aku tidak pernah lagi bermanja dan minta dibelikan bermacam2 merek tas dan baju. Aku terpuruk dalam kehancuranku. Aku dulu memintanya menikahiku karena aku malu terlalu lama pacaran, sedangkan teman2ku sudah menikah semua. Ternyata dia memang tidak pernah menginginkan aku menjadi istrinya.
Betapa tidak berharganya aku. Tidakkah dia tahu, bahwa aku juga seorang perempuan yang berhak mendapatkan kasih sayang dari suaminya ? Kenapa dia tidak mengatakan saja, bahwa dia tidak mencintai aku dan tidak menginginkan aku ? itu lebih aku hargai daripada dia cuma diam dan mengangguk dan melamarku lalu menikahiku. Betapa malangnya nasibku.
Mario terus menerus sakit2an, dan aku tetap merawatnya dengan setia. Biarlah dia mencintai perempuan itu terus di dalam hatinya. Dengan pura2 tidak tahu, aku sudah membuatnya bahagia dengan mencintai perempuan itu. Kebahagiaan Mario adalah kebahagiaanku juga, karena aku akan selalu mencintainya.
**********
Setahun kemudian…
Meisha membuka amplop surat2 itu dengan air mata berlinang. Tanah pemakaman itu masih basah merah dan masih dipenuhi bunga.
” Mario, suamiku….
Aku tidak pernah menyangka pertemuan kita saat aku pertama kali bekerja di kantormu, akan membawaku pada cinta sejatiku. Aku begitu terpesona padamu yang pendiam dan tampak dingin. Betapa senangnya aku ketika aku tidak bertepuk sebelah tangan. Aku mencintaimu, dan begitu posesif ingin memilikimu seutuhnya.
Aku sering marah, ketika kamu asyik bekerja, dan tidak memperdulikan aku. Aku merasa di atas angin, ketika kamu hanya diam dan menuruti keinginanku… Aku pikir, aku si puteri cantik yang diinginkan banyak pria, telah memenuhi ruang hatimu dan kamu terlalu mencintaiku sehingga mau melakukan apa saja untukku…..
Ternyata aku keliru…. aku menyadarinya tepat sehari setelah pernikahan kita. Ketika aku membanting hadiah jam tangan dari seorang teman kantor dulu yang aku tahu sebenarnya menyukai Mario.
Aku melihat matamu begitu terluka, ketika berkata, “kenapa, Rima? Kenapa kamu mesti cemburu? dia sudah menikah, dan aku sudah memilihmu menjadi istriku?”
Aku tidak perduli,dan berlalu dari hadapanmu dengan sombongnya.
Sekarang aku menyesal, memintamu melamarku. Engkau tidak pernah bahagia bersamaku. Aku adalah hal terburuk dalam kehidupan cintamu. Aku bukanlah wanita yang sempurna yang engkau inginkan.
Istrimu,
Rima”
Di surat yang lain,
“………Kehadiran perempuan itu membuatmu berubah, engkau tidak lagi sedingin es. Engkau mulai terasa hangat, namun tetap saja aku tidak pernah melihat cahaya cinta dari matamu untukku, seperti aku melihat cahaya yang penuh cinta itu berpendar dari kedua bola matamu saat memandang Meisha……”
Disurat yang kesekian,
“…….Aku bersumpah, akan membuatmu jatuh cinta padaku.
Aku telah berubah, Mario. Engkau lihat kan, aku tidak lagi marah2 padamu, aku tidak lagi suka membanting2 barang dan berteriak jika emosi. Aku belajar masak, dan selalu kubuatkan masakan yang engkau sukai. Aku tidak lagi boros, dan selalau menabung. Aku tidak lagi suka bertengkar dengan ibumu. Aku selalu tersenyum menyambutmu pulang ke rumah.
Dan aku selalu meneleponmu, untuk menanyakan sudahkah kekasih hatiku makan siang ini? Aku merawatmu jika engkau sakit, aku tidak kesal saat engkau tidak mau aku suapi, aku menungguimu sampai tertidur disamping tempat tidurmu, di rumah sakit saat engkau dirawat, karena penyakit pencernaanmu yang selalu bermasalah…….
Meskipun belum terbit juga, sinar cinta itu dari matamu, aku akan tetap berusaha dan menantinya……..”
Meisha menghapus air mata yang terus mengalir dari kedua mata indahnya… dipeluknya Jelita yang tersedu-sedu disampingnya.
Disurat terakhir, pagi ini…
“…………..Hari ini adalah hari ulang tahun pernikahan kami yang ke-9. Tahun lalu engkau tidak pulang ke rumah, tapi tahun ini aku akan memaksamu pulang, karena hari ini aku akan masak, masakan yang paling enak sedunia. Kemarin aku belajar membuatnya di rumah Bude Tati, sampai kehujanan dan basah kuyup, karena waktu pulang hujannya deras sekali, dan aku hanya mengendarai motor.
Saat aku tiba di rumah kemarin malam, aku melihat sinar kekhawatiran dimatamu. Engkau memelukku, dan menyuruhku segera ganti baju supaya tidak sakit.
Tahukah engkau suamiku,
Selama hampir 15 tahun aku mengenalmu, 6 tahun kita pacaran, dan hampir 9 tahun kita menikah, baru kali ini aku melihat sinar kekhawatiran itu dari matamu, inikah tanda2 cinta mulai bersemi dihatimu ?………”
Jelita menatap Meisha, dan bercerita,
“Siang itu Mama menjemputku dengan motornya, dari jauh aku melihat keceriaan diwajah mama, dia terus melambai-lambaikan tangannya kepadaku. Aku tidak pernah melihat wajah yang sangat bersinar dari mama seperti siang itu, dia begitu cantik. Meskipun dulu sering marah2 kepadaku, tapi aku selalu menyayanginya. Mama memarkir motornya di seberang jalan, Ketika mama menyeberang jalan, tiba2 mobil itu lewat dari tikungan dengan kecepatan tinggi…… aku tidak sanggup melihatnya terlontar,
Tante….. aku melihatnya masih memandangku sebelum dia tidak lagi bergerak……”. Jelita memeluk Meisha dan terisak-isak. Bocah cantik ini masih terlalu kecil untuk merasakan sakit di hatinya, tapi dia sangat dewasa.
Meisha mengeluarkan selembar kertas yang dia print tadi pagi. Mario mengirimkan email lagi kemarin malam, dan tadinya aku ingin Rima membacanya.
Dear Meisha,
Selama setahun ini aku mulai merasakan Rima berbeda, dia tidak lagi marah2 dan selalu berusaha menyenangkan hatiku. Dan tadi, dia pulang dengan tubuh basah kuyup karena kehujanan, aku sangat khawatir dan memeluknya. Tiba2 aku baru menyadari betapa beruntungnya aku memiliki dia. Hatiku mulai bergetar…. Inikah tanda2 aku mulai mencintainya?
Aku terus berusaha mencintainya seperti yang engkau sarankan, Meisha. Dan besok aku akan memberikan surprise untuknya, aku akan membelikan mobil mungil untuknya, supaya dia tidak lagi naik motor kemana-mana. Bukan karena dia ibu dari anak2ku, tapi karena dia belahan jiwaku….
Meisha menatap Mario yang tampak semakin ringkih, yang masih terduduk disamping nisan Rima. Di wajahnya tampak duka yang dalam. Semuanya telah terjadi, Mario……
Kadang kita baru menyadari mencintai seseorang, ketika seseorang itu telah pergi meninggalkan kita
+++++++++++
Selasa, 05 Juni 2012
My Friend is My love
“Akhirnya
selesai juga ya Mi ujian kita, lega rasanya” Hafis menepuk pundakku dari
belakang saat aku menuruni anak tangga. “Iya fis, lega rasanya, pengen
cepat-cepat pulkam” sahutku. “Emang kamu pulang kapan Mi?” tanya Hafis.
“Rencananya nanti sore langsung pulang, aku duluan ya, soalnya temenku udah
nunggu dikost” aku pun berlalu meninggalkan hafis dengan perasaan sedih
mengingat untuk beberapa saat tidak bertemu lagi dengannya.
Libur pun tlah
dimulai, hati ini gembira untuk sejenak terlepas dari beban perkuliahan. Namu
saat kaki ini hendak melangkah meninggalkan kota itu, hati kecilku sedikit
bersedih karena untuk beberapa saat pula tidak bisa melihat sosoknya. Mungkin
dia tidak pernah tau bahwa aku selalu merindu jika sehari saja tidak melihat wajah
dan senyumannya. Tapi mungkin baginya aku hanyalah sahabat biasa meskipun
batinku kerap bertanya akan maksud dari perhatian yang dia berikan padaku
selama setahun ini.
Sejak
hubunganku berakhir setahun yang lalu dengan pacarku, hafis menjadi begitu akrab
denganku, meskipun aku menilai itu tidak lebih dari fatner kampus, dan kami pun
hanya menjalin komunikasi sebatas permasalahan kuliah saja. Namun entah kenapa,
aku menjadi begiitu suka melihatnya dari kejauhan. Dia pribadi yang hangat
dimataku, supel bergaul dengan siapa saja. Itu juga yang mengakibatkanku
berfikir bahwa perhatian yang dia berikan padaku hanya sebatas sahabat biasa.
“Mi,
HP mu bunyi tuh dikamar, sepertinya ada yang menelpon” ibu memanggilku karena
mendengar HP yang sedang ku carge dikamar berbunyi, aku yang sedang asyik
menonton acara tv langsung kekamar melihat siapa yang menelpon. “Halo, Assalamu’alaikum, ada apa fis?” aku
langsung menjawab telpon tersebut dengan hati bahagia, tidak ku sangka malam
itu hafis menelpon, seakan dia bisa membaca isi hatiku yang sangat
merindukannya, baru 3 hari tidak melihatnya, namun sudah membuat dadaku sesak
ingin secepatnya bertemu. “Hmmm, gak pa2 koq Mi, pengen nelpon kamu aja, aku
gak ganggu kan?” jawab hafis dari seberang sana. Kami pun asyik ngobrol sampai
akhirnya telpon itu terputus karena HP ku lowbet lagi. Tak terlukiskan
senangnya hatiku malam itu, ingin sekali rasanya libur itu cepat berlalu agar
aqu bisa bertemu lagi dengannya.
Begitu
seterusnya, hampir 4 kali Hafis menelpon ku selama liburan 2 minggu itu,
disamping sms yang cukup intens antara kami. Terkadang aku merasa bodoh
membiarkan hatiku hanyut kepada perasaan yang tidak seharusnya diberikan kepada
sahabat, tapi apa yang bisa ku lakukan saat rasa sayang itu benar-benar
tercipta untuknya.
Perkuliahan
pun dimulai, begitu semangatnya aku hendak secepatnya tiba dikampus. Aku
memasuki ruang kelas, bergabung dengan teman-temanku yang lain. Mataku
berkeliling mencarinya, namun ternyata hari itu dia terlambat. Aku begitu
memperhatikan setiap langkahnya memasuki kelas, dan berharap dia tau, ada
seorang wanita diruangan itu yang begitu bahagia dapat melihatnya hari itu.
Selesai perkuliahan Hafis menghampiriku, seperti biasa apabila aku pulkam, dia
pasti menagih oleh-oleh dariku. Akupun membawakan beberapa cemilan dan yang
pastinya segudang rindu untuknya. “Mi entar malam aku maen kekostmu ya, kangen
juga aku sama kamu”, “hmmm, kayak aku gak tau aja kalo kamu Cuma mau mintak
oleh-oleh”.
Malam
itu hafis datang kekostku selepas sholat Isya, kami duduk-duduk diteras sambil
ngobrol dan memakan cemilan. Dia banyak bercerita pengalamannya selama liburan,
begitu juga denganku. Hafis memang tipe orang yang banyak bicara, ada saja yang
selalu bisa ia ceritakan bahkan terkadang membuatku begitu geli. Sampai
akhirnya dia mengutarakan maksud kedatangannya malam itu, “Mi, malam besok ada
konser, kita nonton yuk, band nya bagus2 lho” Hafis mencoba meyakinkanku untuk
mau menerima ajakannya”. “Boleh, tapi tumben kamu ngajak aku?” aku mencoba mencari tahu alasan dia
mengajakku, karena ini baru pertama kali dia mengajakku pergi, meskipun itu
tidak bisa membuktikan apa-apa, hal yang biasa juga dilakukan seorang sahabat
mengajak pergi nonton sebuah koser. “Hitung-hitung refresh otak sebelum mulai
belajar, trus ngobatin kangen sama kamu” katanya sambil menjewer telingaku. Dia
berhasil membuat bibirku manyun karena jewerannya, meskipun kata-kata
terakhirnya itu membuat hatiku senang. Kami pun sepakat pergi esok malam untuk
menonton konser tersebut.
Keesokan
harinya stelah sholat Isya Hafis menjeput ku, aku sengaja berdandan sesimple
mungkin karena aku tipe orang yang menyukai kesederhanaan. Hafis
memperhatikanku dengan seksama, membuatku aku sedikit merasa gerogi. “Cantik
juga kamu ya Mi?” dia mencoba merayuku yang hanya mengakibatkan kadar gerogi
semakin meningkat. “Baru nyadar, kayaknya seluruh dunia udah tau kalau aku
memang cantik, mata kamu aja yang berkelainan” Jawab ku sepede mungkin mencoba
menenangkan diri. Kami pun segera meluncur ketempat tujuan, untuk beberapa saat
diperjalanan kami habiskan dengan canda gurau, membuatku lupa akan nervous yang
kurasakan.
Sepanjang
konser malm itu tanganku tidak pernah lepas dari genggaman tangannya, aku tau,
itu caranya memberikan perlindungan padaku karena padatnya penonton konser,
dismping itu tidak jarang pula terjadi aksi dorong-dorongan. Sebenarnya
aku cukup takut malam itu, melihat
disatu sisi ada aksi lempar-lemparan, namun entah kenapa aku yakin aku akan
tetap aman selama masih ada dia disisihku. Tanpa terasa konser itu pun usai,
dan waktu pun sudah hampir jam sebelas malam, aku harus secepatnya pulang karena sudah hampir
melewati batas izin keluar yang diberikan ibu kostku. Beda halnya pada saat
pergi tadi, hanya keheningan yang mewarnai perjalanan pulang malam itu. Aku
tidak tau apa yang ada dalam benaknya, apakah sama dengan yang aku rasakan saat
itu yaitu bahagia.
Akhirnya
kami sampai juga dikostku, aku pun harus segera masuk takut nanti dimarahi ibu
kost, “Makasi ya fis buat malam ini”, “Iya sama-sama, aku langsung pulang aja
ya, g enak ni udah kemalaman”. Aku masih berdiri melihatnya pergi dan akhirnya
lenyap dari pandanganku, aku masih mencoba membayangkan indahnya hal-hal yang
baru saja ku lewati beberapa waktu lalu.
Untuk
pertama kalinya malam itu aku susah tidur, sepertinya setelah kejadian tadi aku
benar-benar merasakan aku jatuh cinta padanya, namun lagi-lagi dilema itu
meracuni fikiranku, apakah dia merasakan yang sama? Apakah yang ku anggap indah
juga indah baginya?. Ingin sekali rasanya aku memasuki fikirannya untuk mengetahui apa yang dia
fikirkan. Intinya kegalauan tidak pernah rela pergi jauh dariku.
Keesokan
harinya saat menuju kelas untuk pertama kalinya aku tidak ingin melihat nya,
jantungku tidak karuan menyadari diri yang sudah berada didaerah sekitarnya
meskipun mata ini belum melihatnya. Tidak berapa lama setelah aku tiba dikelas,
hafis masuk kekelas. Ku lihat dia berjalan hendak menghampiriku, dan entah
mengapa kaki ku refleks beranjak dari tempat itu dan mencoba berjalan
menghindar darinya. Aku melihat reaksi wajahnya yang begitu heran, hafis
mencoba memanggilku, namun aku pura-pura tidak mendengar dengan asik ngobrol
dengan temanku yang lain. Aku juga tidak mengerti mengapa aku bertingkah
seperti itu, mungkin aku masih merasa grogi akan kejadian malam itu, baginya
itu biasa saja namun tidak untukku.
Jam
perkuliahan pun berakhir, aku bergegas langsung pulang kekostku yang jaraknya
tidak jauh dari kampus. Hari itu ku lalui seakan berada dalam penjara yang
mengekang setiap gerakku. Aku mengutuki diri atas sikapku yang tidak
profesional itu. Sesampai dikost tiba-tiba HP ku berderig ternyata panggilan
dari Hafis, aku tidak menjawabnya, akhirnya dia mengirim sms untukku. “Mi km
knp hari ni, sprtinya mnghndar gt dr aku?”, aku merebahkan diri dikasur sembari
memikirkan jawaban apa yang pas untuk pertanyaan tersebut. “Aku gk knp2 koq
fis, biasa ja” bls qu singkat. “Tadi aqu panggil kamu koq diem aja” blsnya
lagi. “Emg km ada manggil ya, gak denger fis, sory, km tenang aja, aku gak
kenpa2 koq” aqu mencoba meyakinkannya bahwa tidak ada satu permasalahanpun
terjadi, karena aku sendiri pun tidak tahu kenapa bisa bertingkah seperti itu. “owh
yaudah, aqu takut aja kamu marah sama aku, aku jadi ngerasa gak enak”. Aku
tidak membalas lagi sms tersebut, aku tidak ingin membohonginya lagi terlalu
jauh.
Senja
pun tiba, membaca Al-Qur’an setelah sholat maghrib merupakan rutinitas yang
selalu ku jaga setiap hari, itu sala satu caraku agar tetap merasakan kedamaian
dihati. Meskipun kurang begitu berlaku untuk hari itu, entah mengapa penat
merajalela dibenakku, dadaku terasa sesak, hatiku gelisah gak karuan. Aku
selalu bermohon pada-Nya agar menghilangkan segala rasaku untuknya jika memang
akhirnya akan tercipta luka baru, namun doaku berbanding terbalik dengan apa
yang ku rasa, rasa sayangku semakin bertambah untuknya. Aku kesal dengan diri
sendiri yang tidak komitmen pada persahabatan.
“Mi
ada temanmu tuh diluar nyariin” kata yana teman sekamarku. “Siapa yan?” tanyaku
heran. “Kayaknya si Hafis lha Mi”, aku terkejut mendengarnya, kenapa tiba-tiba
dia datang kekostku, apalagi tanpa memberitahu terlebih dahulu, aku langsung
saja menghampirinya. “Kok datang gak kasi tau dulu fis?” tanyaku padanya. “Ntar
klo kasi tau, takutnya gak dibolehin datang, soalnya hari ini kamu agak aneh”.
Aku tertawa mendengar penjelasannya, memang sedikit benar, aku pun merasakan
diriku agak aneh belakangan ini. Kami asik ngobrol, ternyata dia memang merasa
aneh dengan sikapku tadi, dan mencoba mencari tau apa yang terjadi. Namun tidak
banyak yang bisa ku katakan selain “tidak apa2”.
“Kita
jalan-jalan yuk Mi?” tiba-tiba Hafis mengajakku. “Mau kemana fis?” tanyaku
lagi, tidak biasanya dia seperti itu. “Kemana aja, keliling-keliling, cari
udara segar”. “Owh yaudah, tunggu bentar ya, aku ganti baju dulu” jawabku
kemudian menuju kekamar mencari-cari pakain yang kira-kira cocok untuk
kekenakan. Seperti biasa, simple tapi elegan merupakan ciri khasku.
Kami
pun berkeliling-keliling gak tau tujuan, berbeda seperti biasanya, suasana
begitu dingin, tidak ada komunikasi diantara kami. Saat melewati suatu taman,
dia menghentikan kendaraan disitu. Aku mencoba membaca situasi, kenapa mesti
ketaman, kalo untuk sekedar ngobrol, sepertinya bisa dilakukan dikostku saja.
Kami pun duduk, sama seperti tadi, suasana masih dingin. Lidahku pun kelu tidak
tau harus membicarakan apa. “Kemaren kamu cerita mau pindah kost, jadi?” Hafis
membuka pembicaraan, meskipun aku tau itu hanya basa basi karena tidak tau mau
membahas problem apa, memang seh aku pernah cerita mau pindah kost, tapi
rasanya tempat itu terlalu spesial untuk membahas hal sepele seperti itu.
“Hmmm,,jadi gak ya??” ku jawab
sekedarnya
“Jadi gak? Tanya nya lagi.
“aku masih bingung fis” jawabku.
“Jadian Yuk” tiba-tiba dia
melontarkan pertanyaan yang membuatku shock. Situasi kembali dingin, dia
menatapku dalam. “Apaan seh fis?” aku mencoba menenangkan diri meskipun
jantungku tidak normal berdetak. Hafis menggengam tangkanku memalingkan wajahku
yang sedari tadi menghindar dari pandangannya untuk menatapnya. Aku merasakan
keseriusan dimatanya, berbeda dengan Hafis yang selama ini.
“Mi, ngerasa gak seh selama ini
kamu aku perlakukan lebih dari teman biasa?” aku membaca kejujuran dimatanya
saat kata-kata itu dia ucapkan. Namun belum sempat aku memberikan respon dia
kembali melanjutkan kata-katanya, sepertinya begitu banyak yang dia ingin
ungkapkan yang selama ini dia sembunyikan dan sudah tidak sanggup lagi untuk
dipendam. “Gimana bisa aku tidur dengan tenang malam ini kalo harus ngeliat
respon kamu yang kayak tadi dikampus” ujarnya lagi padaku, aku tidak menyangka
hal itu membuatnya segelisah itu, “Ya Rabb, mungkinkah selama ini kami
merasakan hal yang sama” teriakku dalam hati.
“Aku gak tau kenapa bisa gini,
semenjak mengenalmu, aku suka dengan kepribadianmu, perlahan-lahan rasa kagumku
berubah menjadi sayang.. bahkan begitu sayang, jadi rasanya begitu sakit jika
harus diperlakukan seperti tadi”. Aku terhenyak mendengar pengakuannya, aku
melihat sisi lain dari dirinya malam ini. Seketika bibirku terkunci rapat, tidak tau harus berkata apa. Namu
tangan itu masih terus menggenggam erat tanganku seakan tidak ingin melepasnya
lagi.
Aku tersenyum padanya, ingin
sekali rasanya mengatakan bahwa aku menyayanginya mungkin lebih dari rasa
sayangnya padaku, namun itu tetap tidak bisa ku lakukan padanya.
“Mungkin kalo kamu enggak spesial
dihatiku, aku gak akan bersikap seperti tadi dikampus. Rasanya seneng banget
menhabiskan waktu malam itu denganmu sampai-sampai aku gak bisa mengontrol diri
waktu tadi ngeliat kamu fis” Belum selesai aku bicara, hafis merangkulku.
“Udah gak usah dilanjut lagi, aku
udah ngerti sekarang, aku sayang kamu Hayati Ilmi, bolehkan aku memilikimu
seutuhnya?” Aku merebahkan kepalaku dibahunya, “Aku juga sayang kamu Hafis
Siddiq”. Hafis memelukku dan medaratkan satu kecupan dikeningku. Tak terkira
bahagianya hatiku malam ini, begitu juga yang ku tangkap dari wajahnya.
Ternyata ini yang dimaksud-Nya selama ini, aku saja yang selalu tidak sabar,
bahwa semua itu kan indah pada waktunya.
Langganan:
Postingan (Atom)