Rabu, 21 November 2012

Dia Jahat Ibu

Skenario kisah ini terlalu memuat peran yang menyedihkan untukku.
Aku lelah dengan peran yang selalu ditindas si Antagonis.
Bahkan dalam sinetron pun seorang budak diperkenankan untuk hidup bahagia, tetapi kenapa dunia nyata sepertinya terlalu kejam..??
Aku saja sampai lupa kapan terakhir tersenyum bahagia, kenyataan yang miris.

Lihat dirimu, lalu tatap aku, tidakkah kau sadar bahwa tanpa kau sakiti pun aku sudah begitu lemah??
Belum puas jugakah kecewakan si wanita yang tak berharga ini?
Aku tidak berharap kau bahagiakan, tidak mengecewakanku lagi saja sudah cukup.
Seharusnya itu hal yang mudah jika kau sayangi aku.
Ku upayakan segala hal yang buatmu senang, aku tidak minta balasan apapun, sedikit saja hargai aku.
Tapi sayangnya, dihargaipun sepertinya aku tidak berhak olehmu.
Kau kejam!!

Dia jahat Ibu
:'(
Bu, ajari aku memaafkannya


Selasa, 20 November 2012

Aku Gagal


Aku  dipermalukan oleh amarah.
Emosional menertawakanku dengan bangganya.
aku dikalahkan ego..
Kekecewaan meronta ingin menampar nafsu yg terus mencemooh diri

Pribadiku tak lagi bersahaja dimatanya
aku pendidik yang biarkan sang buah hati terluka
aku pendidik yang biarkan buah hati berlalu dihasut resah

Wajah polosnya penuh luka kecewa
Tersirat air mata ingin aliri pipi halusnya
Secuil harapan inginkan panggilanku tuk tahan langkahnya
Aku yang hanya mematung penuh keangkuhan
merasa diri penuh kebenaran

Aku kalah dalam peperangan ini
Aku gagal tuk bisa diteladani
Maafkan kakak yang jauh dari kesempurnaan ini





Minggu, 04 November 2012

SoulMate



            Akhirnya aku diterima disekolah  itu, salah satu sekolah menengah atas yang menjadi favorit di kampung halaman ku. Sejalan waktu aku mulai memiliki banyak teman termasuk berteman akrab dengan Ridwan dan Nia. Namun siapa yang bisa menyalahkan jika diantara persahabatan yang terjalin akhirnya tumbuh rasa cinta. Begitulah yang ku ketahui dari dua orang sahabatku itu.
            Namun mungkin bagi mereka persahabatan sangatlah berharga sehingga mereka lebih memilih mengekang rasa cinta yang ada demi menjaga hubungan persahabatan.
            Nia mulai membuka hati untuk yang lain, meskipun menurutku dihatinya masih tersimpan rasa sayang yang begitu besar pada Ridwan. Nia mengatakan padaku dia tidak ingin mengecewakan Aldi yang selama ini berupaya keras mendekatinya dan telah memberi perhatian lebih padanya dan akhirnya mereka resmi berpacaran.
            Mengetahui hal itu, Ridwan tetap berupaya untuk ikhlas, meski dalam lubuk hatinya begitu kecewa. Dia mengatakan padaku akan berusaha mengikhlaskan jika memang itu bisa membuat Nia bahagia.
            Hari minggu itu kami pun pergi bertamasya ke salah satu tempat wisata didaerahku. Kami berboncengan dengan speda motor bersama pasangan masing-masing, namun di hari itu Ridwan tidak mau ikut, aku bisa membaca ada kecemburuan di matanya jika melihat Nia bersama yang lain.
“Maaf Din, kalian aja yang pigi, aku gak bisa ikut karena ada urusan keluarga” jelas Ridwan padaku.
“Yaudah kalo memang gak bisa ikut jangan dipaksakan, aku tau kok wan alasan sebenarnya” aku menepuk pundak Ridwan dan berlalu darinya.
Namun belum sempat aku beranjak jauh, Ridwan berseru “Tolong jaga Nia baik-baik ya Din”, aku pun terhenti “Iya tenang aja, Nia aman bersama kami, Aldi  pasti bisa jaga dia Wan”.
            Terkadang aku tidak habis fikir dengan pilihan yang mereka buat, bagiku tidak masalah jika memang mereka mau menjalin hubungan lebih dari sahabat, tapi pasti ada alasan yang lebih kuat bagi mereka berdua sehingga memilih keputusan tersebut.
            Perjalanan pun kami mulai, sekitar empat speda motor berjalan beriringan dengan kecepatan yang standart menuju tempat wisata akan kami datangi. Aku melihat senyum disemua wajah sahabatku, begitupula Nia. Meskipun bagiku hari itu kurang sempurna tanpa kehadiran Ridwan, karena kami baru ini pergi tanpa dia.
              Kendaraann kami melaju beriringan dijalanan, aku dan Nico dibarisan terdepan, disusul oleh teman yang lain dibelakang kami,sedangkan Nia dan Aldi di posisi paling belakang.
            Beberapa saat kemudian kami tiba ditempat tujuan kecuali Nia dan Aldi, kami tidak melihat mereka. Kami pun menunggu sejenak. Menurut teman yang lain mereka memang tertinggal dibelakang. Kami pun mengerti, mungkin karena terlalu asyik ngobrol dalam nuansa manis orang baru jadian. Namun hampir setengah jam kami menunggu, mereka tidak juga tiba di lokasi.
            Beberapa saat kemudian Aldi menghubungi kami, dengan suara gugup dia mengatakan bahwa mereka kecelakaan karena tabrakan. Sejenak situasi begitu panik, kami pun bergegas menyusul kembali mereka. Aku begitu takut akan keadaan mereka. Sesampai ditempat kejadian, kami mendapati aldi dengan tubuh penuh luka, speda motor yang mereka kendarai rusak parah, namun yang lebih parah lagi, Nia tidak sadarkan diri karena terjatuh dan kepalanya terbentur batu. “ Tadi sebelum pingsan dia sempat muntah darah” jelas Aldi.
            Warga pun mulai datang berbondong menolong kami, Nia segera kami bawa kerumah sakit terdekat. Nia belum juga sadar, namun sudah ditangani oleh dokter. Untuk sementara dokter memfonis Nia geger otak karena benturan keras dikepalanya. Kami semua begitu terkejut, tidak menyangka hari itu akan terjadi musibah pada kami.
            Aku begitu panik, tidak tahu harus berbuat apa, bagaimana reaksi kedua orang tuanya jka tau anaknya terbaring kritis dirumah sakit. Begitu juga dengan Ridwan, dia pasti tidak akan terima satu pun hal buruk terjadi pada Nia.
            Tiga jam sudah nia masuk dalam ruang UGD, namun tidak juga menampakkan kondisinya akan membaik. Ibunya menangis disisinya. Begitu juga dengan Ridwan, dia marah pada kami semua karena tidak bisa menjaga Nia. Terutama pada Aldi, hampir saja terjadi perkelahian antara mereka, namun kamu cepat melerai mereka. “Ini sudah takdir yang memang pasti terjadi, jadi tidak ada yang bisa disalahkan” aku berupaya menengahi mereka. “Bukan Cuma kamu wan, kami semua sayang Nia” kata teman-teman yang lain menambahi.
            Tepat pukul delapan malam, Nia menghembuskan nafas terakhirnya. Nia pergi meninggalkan kami semua. Isak tangis memenuhi ruangan itu. Kami tidak menyangka hari itu akan kehilangan salah satu sahabat terbaik kami. Begitu juga kedua orang tua Nia yang harus kehilangan putri tercintanya.
            Seminggu berlalu setelah kejadian itu, selalu ada yang kurang bagi kami, tidak ada lagi senyum manis dari Nia. Tidak ada lagi canda tawa bersamanya. Begitu juga dengan Ridwan. Tidak pernah lagi ada semangat diwajahnya.
            Menjelang ujian kenaikan kelas, kami semua disibukkan dengan tugas-tugas, begtiu juga dengan persiapan menjelang ujian.
            Satu persatu ujian kami lewati. Tiga hari menjelang pembagian Rapor para guru disibukkan oleh tugas mereka masing-masing seperti mengurus nilai murid-muridnya. Kami pun tidak lagi melakukan kegiatan pembelajaran. Pagi itu setiba dikelas, aku berkumpul dengan teman-teman lain, namun aku belum melihat Ridwan, tidak biasanya dia belum kelihatan jam segitu. “Tumben si Ridwan belum keliatan” tanya salah seorang teman. “Macet mungkin dijalan” jawabku.
            Terdengar pengumuman dari sekolah, “Diberitahukan kepada seluruh siswa-siswi agar lelebih berhati-hati dalam berkendaraan, baru saja Siswa kelas X-3 yang bernama Ridwan jatuh dari sepeda motornya saat hendak menuju sekolah, sekarang sedang ditangani di Rumah sakit”.
            Kami semua shock mendengar pengumuman tersebut, tubuhku refleks melemah tak berdaya. Sepulang sekolah kami semua murid X-3 mengunjungi rumah sakit tempat Ridwan dirawat. Namun menurut perawat rumah sakit tersebut, Ridwan dibawa kerumah  sakit lain karena mereka mengaku tidak sanggup menanganinya.
            Air mata menetes dipipiku dan para sahabat, rasa sedih akan kehilangan Nia belum hilang dari benak kami, kini kami mendengar berita buruk tentang Ridwan. Kami semua mengirim sms ke Ridwan ungkapan doa semoga dia dapat bertahan dan bisa kembali bergabung dengan kami.
            Aku pulang kerumah dengan langkah gontai, badanku terasa akan demam, mungkin karena terlalu shock sehingga semangatku jadi melemah. Aku merebahkan diri dikasur  dan teringat kemarin saat Ridwan mengatarku pulang kerumah, kemudian dia curhat akan rasa rindunya kepada Nia. Aku tidak habis  fikir kenapa hal ini bisa terjadi pada dua sahabat terbaikku. Dalam hati aku terus berdoa akan keselamatan Ridwan, semoga dia bisa kuat melewati masa-masa kritisnya.
            Ridwan tiba didepan rumahku. Aku menatapnya aneh. Dia terlihat pucat dan tak berdaya. Dia datang menghampiriku yang saat itu sedang duduk diteras rumah.
 “Din aku mau pamit” ucapnya.
 “Mau pergi kemana wan?” tanyaku heran.
“Aku ingin menemani Nia Din” jawabnya kemudian berbalik arah dan pergi begitu saja.
“Wan jangan pergiiiiiiii....” aku menjerit berusaha mencegahnya hingga akhirnya aku terjaga dari tidurku.
“Astaghfirullah, ternyata mimpi”, aku terengah-engah, keringat membasahi sekujur tubuhku. Aku tersadar bahwa aku tertidur saat pulang sekolah tadi.
Aku mengambil Handphone ku dan mmelihat banyak missed call dan sms dari temanku.
Akupun membaca sms tersebut satu persatu :
“Innalillahi wainna ilaihi raji’un, semoga Ridwan tenang disana”
“Sekali lagi kita kehilangan sahabat terbaik kita, semoga amal ibadah Ridwan diterima-Nya”
Air mata itu mengalir dipipiku, ternyata Ridwan benar-benar pamit denganku lewat mimpi tadi.
Aku yakin ini adalah takdir yang sudah digariskan kepada dua orang sahabat terbaikku itu, Sang ilahi lebih memilih mereka untuk berjodoh di surga.
Selamat jalan sahabat, namamu akan selalu ada dihati kami..

           
           
             

Pelatihan kemarin...

Memasuki semester 7 di masa perkuliahanku hanya memunculkan satu hal didalam benak, Apakah aku bisa melewati program latihan mengajar itu kelak?
Itu dan itu terus.
Aku menyadari diri yang hanya bermodal penguasaan konsep.
Bagaimana kelak menguasai kelas?
mengamankan suasana kelas?
Apa aku mampu?
Namun aku juga berfikir, yang penting niatku benar-benar tulus ingin berbagi ilmu pada mereka, menjadi bagian dari mereka yang kelak jika mereka butuh, Insya Allah aku akan hadir membantu..
Ya..itu saja..
Hingga akhirnya penempatan itu meletakkan ku disuatu sekolah yang terbilang cukup menantang kemampuan akademik.
Aku pasrah. Allah pasti berencana baik dibalik semua ini.

Hari Pertama
Memasuki gerbang sekolah itu  dengan rasa gugup, "Tempat ini begitu asing bagiku", fikirku dalam hati. Namun rasanya begitu nyaman, berada dilingkungan yang bernuansa islami, dimana karakter ramah-tamah dan saling menghormati benar-benar ditegakkan. Aku pun dihadapkan dengan sejumlah jadwal yang untuk 3 bulan kedepannya harus dijalani. Satu hal lagi yang membuatku senang, guru pembimbingku begitu baik. Ternyata benar, Allah berencana baik.

Hari Kedua
Pertama kalinya memasuki kelas seorang diri, aku disuruh mengamankan murid-murid itu karena gurunya belum datang. Really nervous. Sambutan acuh dari mereka, sedikit terkesan disepelekan, maklumlah jika mereka mengetahui statusku disekolah.

Setelah satu minggu

Aku mulai menikmati kegiatan ini, awalnya aku berfikir jadi guru itu sulit, ternyata tidak seutuhnya benar. Mereka cukup welcome dengan cara mengajarku. Aku tidak berharap banyak, asal mereka bilang mengerti saja itu sudah lebih dari cukup.
Mencoba memahami karakter mereka, membaur dengan mereka, itulah yang ku lakukan.

2 Bulan berlalu

Kehadiranku mulai di nanti, bukan hal yang sering terjadi untuk mata pelajaran Matematika. Terkadang interaksi yang terjadi bukan selayaknya guru dan murid, melainkan kakak dan adiknya. Tapi aku merasa mereka nyaman akan hal itu.

Hari-hari menjelang usai
Mereka tidak menginginkanku pergi. Respon yang begitu tidak terduga. Aku pun seperti mereka, merasa memiliki keluarga baru, menyayangi mereka.

Hari itu

Langkah ku pasti menuju ke kelas. Tidak seperti biasanya. Mereka tidak menunggu.
Hati kecilku sedih, bukan begini yang ku mau.
Untuk pertama dan yang terkahir kalinya mereka tidak respect padaku. Dan lebih parah lagi, mereka menentang semua yang ku katakan.
Kesabaranku habis. Spontan aku beranjak pergi, aku hanya tidak ingin marah dan memilih pergi. Mereka mengejarku, membujuk untuk kembali. Surprise ulang tahun dan perpisahan ternyata yang telah mereka rencanakan. Aku tidak menyangka. Aku senang namun sedih. Sambil bertutur terimakasih aku pun meneteskan air mata. Air mata bahagia. Ternyata muridku sudah dewasa dan mereka menyayangiku.