“Akhirnya
selesai juga ya Mi ujian kita, lega rasanya” Hafis menepuk pundakku dari
belakang saat aku menuruni anak tangga. “Iya fis, lega rasanya, pengen
cepat-cepat pulkam” sahutku. “Emang kamu pulang kapan Mi?” tanya Hafis.
“Rencananya nanti sore langsung pulang, aku duluan ya, soalnya temenku udah
nunggu dikost” aku pun berlalu meninggalkan hafis dengan perasaan sedih
mengingat untuk beberapa saat tidak bertemu lagi dengannya.
Libur pun tlah
dimulai, hati ini gembira untuk sejenak terlepas dari beban perkuliahan. Namu
saat kaki ini hendak melangkah meninggalkan kota itu, hati kecilku sedikit
bersedih karena untuk beberapa saat pula tidak bisa melihat sosoknya. Mungkin
dia tidak pernah tau bahwa aku selalu merindu jika sehari saja tidak melihat wajah
dan senyumannya. Tapi mungkin baginya aku hanyalah sahabat biasa meskipun
batinku kerap bertanya akan maksud dari perhatian yang dia berikan padaku
selama setahun ini.
Sejak
hubunganku berakhir setahun yang lalu dengan pacarku, hafis menjadi begitu akrab
denganku, meskipun aku menilai itu tidak lebih dari fatner kampus, dan kami pun
hanya menjalin komunikasi sebatas permasalahan kuliah saja. Namun entah kenapa,
aku menjadi begiitu suka melihatnya dari kejauhan. Dia pribadi yang hangat
dimataku, supel bergaul dengan siapa saja. Itu juga yang mengakibatkanku
berfikir bahwa perhatian yang dia berikan padaku hanya sebatas sahabat biasa.
“Mi,
HP mu bunyi tuh dikamar, sepertinya ada yang menelpon” ibu memanggilku karena
mendengar HP yang sedang ku carge dikamar berbunyi, aku yang sedang asyik
menonton acara tv langsung kekamar melihat siapa yang menelpon. “Halo, Assalamu’alaikum, ada apa fis?” aku
langsung menjawab telpon tersebut dengan hati bahagia, tidak ku sangka malam
itu hafis menelpon, seakan dia bisa membaca isi hatiku yang sangat
merindukannya, baru 3 hari tidak melihatnya, namun sudah membuat dadaku sesak
ingin secepatnya bertemu. “Hmmm, gak pa2 koq Mi, pengen nelpon kamu aja, aku
gak ganggu kan?” jawab hafis dari seberang sana. Kami pun asyik ngobrol sampai
akhirnya telpon itu terputus karena HP ku lowbet lagi. Tak terlukiskan
senangnya hatiku malam itu, ingin sekali rasanya libur itu cepat berlalu agar
aqu bisa bertemu lagi dengannya.
Begitu
seterusnya, hampir 4 kali Hafis menelpon ku selama liburan 2 minggu itu,
disamping sms yang cukup intens antara kami. Terkadang aku merasa bodoh
membiarkan hatiku hanyut kepada perasaan yang tidak seharusnya diberikan kepada
sahabat, tapi apa yang bisa ku lakukan saat rasa sayang itu benar-benar
tercipta untuknya.
Perkuliahan
pun dimulai, begitu semangatnya aku hendak secepatnya tiba dikampus. Aku
memasuki ruang kelas, bergabung dengan teman-temanku yang lain. Mataku
berkeliling mencarinya, namun ternyata hari itu dia terlambat. Aku begitu
memperhatikan setiap langkahnya memasuki kelas, dan berharap dia tau, ada
seorang wanita diruangan itu yang begitu bahagia dapat melihatnya hari itu.
Selesai perkuliahan Hafis menghampiriku, seperti biasa apabila aku pulkam, dia
pasti menagih oleh-oleh dariku. Akupun membawakan beberapa cemilan dan yang
pastinya segudang rindu untuknya. “Mi entar malam aku maen kekostmu ya, kangen
juga aku sama kamu”, “hmmm, kayak aku gak tau aja kalo kamu Cuma mau mintak
oleh-oleh”.
Malam
itu hafis datang kekostku selepas sholat Isya, kami duduk-duduk diteras sambil
ngobrol dan memakan cemilan. Dia banyak bercerita pengalamannya selama liburan,
begitu juga denganku. Hafis memang tipe orang yang banyak bicara, ada saja yang
selalu bisa ia ceritakan bahkan terkadang membuatku begitu geli. Sampai
akhirnya dia mengutarakan maksud kedatangannya malam itu, “Mi, malam besok ada
konser, kita nonton yuk, band nya bagus2 lho” Hafis mencoba meyakinkanku untuk
mau menerima ajakannya”. “Boleh, tapi tumben kamu ngajak aku?” aku mencoba mencari tahu alasan dia
mengajakku, karena ini baru pertama kali dia mengajakku pergi, meskipun itu
tidak bisa membuktikan apa-apa, hal yang biasa juga dilakukan seorang sahabat
mengajak pergi nonton sebuah koser. “Hitung-hitung refresh otak sebelum mulai
belajar, trus ngobatin kangen sama kamu” katanya sambil menjewer telingaku. Dia
berhasil membuat bibirku manyun karena jewerannya, meskipun kata-kata
terakhirnya itu membuat hatiku senang. Kami pun sepakat pergi esok malam untuk
menonton konser tersebut.
Keesokan
harinya stelah sholat Isya Hafis menjeput ku, aku sengaja berdandan sesimple
mungkin karena aku tipe orang yang menyukai kesederhanaan. Hafis
memperhatikanku dengan seksama, membuatku aku sedikit merasa gerogi. “Cantik
juga kamu ya Mi?” dia mencoba merayuku yang hanya mengakibatkan kadar gerogi
semakin meningkat. “Baru nyadar, kayaknya seluruh dunia udah tau kalau aku
memang cantik, mata kamu aja yang berkelainan” Jawab ku sepede mungkin mencoba
menenangkan diri. Kami pun segera meluncur ketempat tujuan, untuk beberapa saat
diperjalanan kami habiskan dengan canda gurau, membuatku lupa akan nervous yang
kurasakan.
Sepanjang
konser malm itu tanganku tidak pernah lepas dari genggaman tangannya, aku tau,
itu caranya memberikan perlindungan padaku karena padatnya penonton konser,
dismping itu tidak jarang pula terjadi aksi dorong-dorongan. Sebenarnya
aku cukup takut malam itu, melihat
disatu sisi ada aksi lempar-lemparan, namun entah kenapa aku yakin aku akan
tetap aman selama masih ada dia disisihku. Tanpa terasa konser itu pun usai,
dan waktu pun sudah hampir jam sebelas malam, aku harus secepatnya pulang karena sudah hampir
melewati batas izin keluar yang diberikan ibu kostku. Beda halnya pada saat
pergi tadi, hanya keheningan yang mewarnai perjalanan pulang malam itu. Aku
tidak tau apa yang ada dalam benaknya, apakah sama dengan yang aku rasakan saat
itu yaitu bahagia.
Akhirnya
kami sampai juga dikostku, aku pun harus segera masuk takut nanti dimarahi ibu
kost, “Makasi ya fis buat malam ini”, “Iya sama-sama, aku langsung pulang aja
ya, g enak ni udah kemalaman”. Aku masih berdiri melihatnya pergi dan akhirnya
lenyap dari pandanganku, aku masih mencoba membayangkan indahnya hal-hal yang
baru saja ku lewati beberapa waktu lalu.
Untuk
pertama kalinya malam itu aku susah tidur, sepertinya setelah kejadian tadi aku
benar-benar merasakan aku jatuh cinta padanya, namun lagi-lagi dilema itu
meracuni fikiranku, apakah dia merasakan yang sama? Apakah yang ku anggap indah
juga indah baginya?. Ingin sekali rasanya aku memasuki fikirannya untuk mengetahui apa yang dia
fikirkan. Intinya kegalauan tidak pernah rela pergi jauh dariku.
Keesokan
harinya saat menuju kelas untuk pertama kalinya aku tidak ingin melihat nya,
jantungku tidak karuan menyadari diri yang sudah berada didaerah sekitarnya
meskipun mata ini belum melihatnya. Tidak berapa lama setelah aku tiba dikelas,
hafis masuk kekelas. Ku lihat dia berjalan hendak menghampiriku, dan entah
mengapa kaki ku refleks beranjak dari tempat itu dan mencoba berjalan
menghindar darinya. Aku melihat reaksi wajahnya yang begitu heran, hafis
mencoba memanggilku, namun aku pura-pura tidak mendengar dengan asik ngobrol
dengan temanku yang lain. Aku juga tidak mengerti mengapa aku bertingkah
seperti itu, mungkin aku masih merasa grogi akan kejadian malam itu, baginya
itu biasa saja namun tidak untukku.
Jam
perkuliahan pun berakhir, aku bergegas langsung pulang kekostku yang jaraknya
tidak jauh dari kampus. Hari itu ku lalui seakan berada dalam penjara yang
mengekang setiap gerakku. Aku mengutuki diri atas sikapku yang tidak
profesional itu. Sesampai dikost tiba-tiba HP ku berderig ternyata panggilan
dari Hafis, aku tidak menjawabnya, akhirnya dia mengirim sms untukku. “Mi km
knp hari ni, sprtinya mnghndar gt dr aku?”, aku merebahkan diri dikasur sembari
memikirkan jawaban apa yang pas untuk pertanyaan tersebut. “Aku gk knp2 koq
fis, biasa ja” bls qu singkat. “Tadi aqu panggil kamu koq diem aja” blsnya
lagi. “Emg km ada manggil ya, gak denger fis, sory, km tenang aja, aku gak
kenpa2 koq” aqu mencoba meyakinkannya bahwa tidak ada satu permasalahanpun
terjadi, karena aku sendiri pun tidak tahu kenapa bisa bertingkah seperti itu. “owh
yaudah, aqu takut aja kamu marah sama aku, aku jadi ngerasa gak enak”. Aku
tidak membalas lagi sms tersebut, aku tidak ingin membohonginya lagi terlalu
jauh.
Senja
pun tiba, membaca Al-Qur’an setelah sholat maghrib merupakan rutinitas yang
selalu ku jaga setiap hari, itu sala satu caraku agar tetap merasakan kedamaian
dihati. Meskipun kurang begitu berlaku untuk hari itu, entah mengapa penat
merajalela dibenakku, dadaku terasa sesak, hatiku gelisah gak karuan. Aku
selalu bermohon pada-Nya agar menghilangkan segala rasaku untuknya jika memang
akhirnya akan tercipta luka baru, namun doaku berbanding terbalik dengan apa
yang ku rasa, rasa sayangku semakin bertambah untuknya. Aku kesal dengan diri
sendiri yang tidak komitmen pada persahabatan.
“Mi
ada temanmu tuh diluar nyariin” kata yana teman sekamarku. “Siapa yan?” tanyaku
heran. “Kayaknya si Hafis lha Mi”, aku terkejut mendengarnya, kenapa tiba-tiba
dia datang kekostku, apalagi tanpa memberitahu terlebih dahulu, aku langsung
saja menghampirinya. “Kok datang gak kasi tau dulu fis?” tanyaku padanya. “Ntar
klo kasi tau, takutnya gak dibolehin datang, soalnya hari ini kamu agak aneh”.
Aku tertawa mendengar penjelasannya, memang sedikit benar, aku pun merasakan
diriku agak aneh belakangan ini. Kami asik ngobrol, ternyata dia memang merasa
aneh dengan sikapku tadi, dan mencoba mencari tau apa yang terjadi. Namun tidak
banyak yang bisa ku katakan selain “tidak apa2”.
“Kita
jalan-jalan yuk Mi?” tiba-tiba Hafis mengajakku. “Mau kemana fis?” tanyaku
lagi, tidak biasanya dia seperti itu. “Kemana aja, keliling-keliling, cari
udara segar”. “Owh yaudah, tunggu bentar ya, aku ganti baju dulu” jawabku
kemudian menuju kekamar mencari-cari pakain yang kira-kira cocok untuk
kekenakan. Seperti biasa, simple tapi elegan merupakan ciri khasku.
Kami
pun berkeliling-keliling gak tau tujuan, berbeda seperti biasanya, suasana
begitu dingin, tidak ada komunikasi diantara kami. Saat melewati suatu taman,
dia menghentikan kendaraan disitu. Aku mencoba membaca situasi, kenapa mesti
ketaman, kalo untuk sekedar ngobrol, sepertinya bisa dilakukan dikostku saja.
Kami pun duduk, sama seperti tadi, suasana masih dingin. Lidahku pun kelu tidak
tau harus membicarakan apa. “Kemaren kamu cerita mau pindah kost, jadi?” Hafis
membuka pembicaraan, meskipun aku tau itu hanya basa basi karena tidak tau mau
membahas problem apa, memang seh aku pernah cerita mau pindah kost, tapi
rasanya tempat itu terlalu spesial untuk membahas hal sepele seperti itu.
“Hmmm,,jadi gak ya??” ku jawab
sekedarnya
“Jadi gak? Tanya nya lagi.
“aku masih bingung fis” jawabku.
“Jadian Yuk” tiba-tiba dia
melontarkan pertanyaan yang membuatku shock. Situasi kembali dingin, dia
menatapku dalam. “Apaan seh fis?” aku mencoba menenangkan diri meskipun
jantungku tidak normal berdetak. Hafis menggengam tangkanku memalingkan wajahku
yang sedari tadi menghindar dari pandangannya untuk menatapnya. Aku merasakan
keseriusan dimatanya, berbeda dengan Hafis yang selama ini.
“Mi, ngerasa gak seh selama ini
kamu aku perlakukan lebih dari teman biasa?” aku membaca kejujuran dimatanya
saat kata-kata itu dia ucapkan. Namun belum sempat aku memberikan respon dia
kembali melanjutkan kata-katanya, sepertinya begitu banyak yang dia ingin
ungkapkan yang selama ini dia sembunyikan dan sudah tidak sanggup lagi untuk
dipendam. “Gimana bisa aku tidur dengan tenang malam ini kalo harus ngeliat
respon kamu yang kayak tadi dikampus” ujarnya lagi padaku, aku tidak menyangka
hal itu membuatnya segelisah itu, “Ya Rabb, mungkinkah selama ini kami
merasakan hal yang sama” teriakku dalam hati.
“Aku gak tau kenapa bisa gini,
semenjak mengenalmu, aku suka dengan kepribadianmu, perlahan-lahan rasa kagumku
berubah menjadi sayang.. bahkan begitu sayang, jadi rasanya begitu sakit jika
harus diperlakukan seperti tadi”. Aku terhenyak mendengar pengakuannya, aku
melihat sisi lain dari dirinya malam ini. Seketika bibirku terkunci rapat, tidak tau harus berkata apa. Namu
tangan itu masih terus menggenggam erat tanganku seakan tidak ingin melepasnya
lagi.
Aku tersenyum padanya, ingin
sekali rasanya mengatakan bahwa aku menyayanginya mungkin lebih dari rasa
sayangnya padaku, namun itu tetap tidak bisa ku lakukan padanya.
“Mungkin kalo kamu enggak spesial
dihatiku, aku gak akan bersikap seperti tadi dikampus. Rasanya seneng banget
menhabiskan waktu malam itu denganmu sampai-sampai aku gak bisa mengontrol diri
waktu tadi ngeliat kamu fis” Belum selesai aku bicara, hafis merangkulku.
“Udah gak usah dilanjut lagi, aku
udah ngerti sekarang, aku sayang kamu Hayati Ilmi, bolehkan aku memilikimu
seutuhnya?” Aku merebahkan kepalaku dibahunya, “Aku juga sayang kamu Hafis
Siddiq”. Hafis memelukku dan medaratkan satu kecupan dikeningku. Tak terkira
bahagianya hatiku malam ini, begitu juga yang ku tangkap dari wajahnya.
Ternyata ini yang dimaksud-Nya selama ini, aku saja yang selalu tidak sabar,
bahwa semua itu kan indah pada waktunya.