Selasa, 05 Juni 2012

My Friend is My love


                “Akhirnya selesai juga ya Mi ujian kita, lega rasanya” Hafis menepuk pundakku dari belakang saat aku menuruni anak tangga. “Iya fis, lega rasanya, pengen cepat-cepat pulkam” sahutku. “Emang kamu pulang kapan Mi?” tanya Hafis. “Rencananya nanti sore langsung pulang, aku duluan ya, soalnya temenku udah nunggu dikost” aku pun berlalu meninggalkan hafis dengan perasaan sedih mengingat untuk beberapa saat tidak bertemu lagi dengannya.
Libur pun tlah dimulai, hati ini gembira untuk sejenak terlepas dari beban perkuliahan. Namu saat kaki ini hendak melangkah meninggalkan kota itu, hati kecilku sedikit bersedih karena untuk beberapa saat pula tidak bisa melihat sosoknya. Mungkin dia tidak pernah tau bahwa aku selalu merindu jika sehari saja tidak melihat wajah dan senyumannya. Tapi mungkin baginya aku hanyalah sahabat biasa meskipun batinku kerap bertanya akan maksud dari perhatian yang dia berikan padaku selama setahun ini.
Sejak hubunganku berakhir setahun yang lalu dengan pacarku, hafis menjadi begitu akrab denganku, meskipun aku menilai itu tidak lebih dari fatner kampus, dan kami pun hanya menjalin komunikasi sebatas permasalahan kuliah saja. Namun entah kenapa, aku menjadi begiitu suka melihatnya dari kejauhan. Dia pribadi yang hangat dimataku, supel bergaul dengan siapa saja. Itu juga yang mengakibatkanku berfikir bahwa perhatian yang dia berikan padaku hanya sebatas sahabat biasa.
                “Mi, HP mu bunyi tuh dikamar, sepertinya ada yang menelpon” ibu memanggilku karena mendengar HP yang sedang ku carge dikamar berbunyi, aku yang sedang asyik menonton acara tv langsung kekamar melihat siapa yang menelpon.  “Halo, Assalamu’alaikum, ada apa fis?” aku langsung menjawab telpon tersebut dengan hati bahagia, tidak ku sangka malam itu hafis menelpon, seakan dia bisa membaca isi hatiku yang sangat merindukannya, baru 3 hari tidak melihatnya, namun sudah membuat dadaku sesak ingin secepatnya bertemu. “Hmmm, gak pa2 koq Mi, pengen nelpon kamu aja, aku gak ganggu kan?” jawab hafis dari seberang sana. Kami pun asyik ngobrol sampai akhirnya telpon itu terputus karena HP ku lowbet lagi. Tak terlukiskan senangnya hatiku malam itu, ingin sekali rasanya libur itu cepat berlalu agar aqu bisa bertemu lagi dengannya.
                Begitu seterusnya, hampir 4 kali Hafis menelpon ku selama liburan 2 minggu itu, disamping sms yang cukup intens antara kami. Terkadang aku merasa bodoh membiarkan hatiku hanyut kepada perasaan yang tidak seharusnya diberikan kepada sahabat, tapi apa yang bisa ku lakukan saat rasa sayang itu benar-benar tercipta untuknya.
                Perkuliahan pun dimulai, begitu semangatnya aku hendak secepatnya tiba dikampus. Aku memasuki ruang kelas, bergabung dengan teman-temanku yang lain. Mataku berkeliling mencarinya, namun ternyata hari itu dia terlambat. Aku begitu memperhatikan setiap langkahnya memasuki kelas, dan berharap dia tau, ada seorang wanita diruangan itu yang begitu bahagia dapat melihatnya hari itu. Selesai perkuliahan Hafis menghampiriku, seperti biasa apabila aku pulkam, dia pasti menagih oleh-oleh dariku. Akupun membawakan beberapa cemilan dan yang pastinya segudang rindu untuknya. “Mi entar malam aku maen kekostmu ya, kangen juga aku sama kamu”, “hmmm, kayak aku gak tau aja kalo kamu Cuma mau mintak oleh-oleh”.
                Malam itu hafis datang kekostku selepas sholat Isya, kami duduk-duduk diteras sambil ngobrol dan memakan cemilan. Dia banyak bercerita pengalamannya selama liburan, begitu juga denganku. Hafis memang tipe orang yang banyak bicara, ada saja yang selalu bisa ia ceritakan bahkan terkadang membuatku begitu geli. Sampai akhirnya dia mengutarakan maksud kedatangannya malam itu, “Mi, malam besok ada konser, kita nonton yuk, band nya bagus2 lho” Hafis mencoba meyakinkanku untuk mau menerima ajakannya”. “Boleh, tapi tumben kamu ngajak  aku?” aku mencoba mencari tahu alasan dia mengajakku, karena ini baru pertama kali dia mengajakku pergi, meskipun itu tidak bisa membuktikan apa-apa, hal yang biasa juga dilakukan seorang sahabat mengajak pergi nonton sebuah koser. “Hitung-hitung refresh otak sebelum mulai belajar, trus ngobatin kangen sama kamu” katanya sambil menjewer telingaku. Dia berhasil membuat bibirku manyun karena jewerannya, meskipun kata-kata terakhirnya itu membuat hatiku senang. Kami pun sepakat pergi esok malam untuk menonton konser tersebut.
                Keesokan harinya stelah sholat Isya Hafis menjeput ku, aku sengaja berdandan sesimple mungkin karena aku tipe orang yang menyukai kesederhanaan. Hafis memperhatikanku dengan seksama, membuatku aku sedikit merasa gerogi. “Cantik juga kamu ya Mi?” dia mencoba merayuku yang hanya mengakibatkan kadar gerogi semakin meningkat. “Baru nyadar, kayaknya seluruh dunia udah tau kalau aku memang cantik, mata kamu aja yang berkelainan” Jawab ku sepede mungkin mencoba menenangkan diri. Kami pun segera meluncur ketempat tujuan, untuk beberapa saat diperjalanan kami habiskan dengan canda gurau, membuatku lupa akan nervous yang kurasakan.
                Sepanjang konser malm itu tanganku tidak pernah lepas dari genggaman tangannya, aku tau, itu caranya memberikan perlindungan padaku karena padatnya penonton konser, dismping itu tidak jarang pula terjadi aksi dorong-dorongan. Sebenarnya aku  cukup takut malam itu, melihat disatu sisi ada aksi lempar-lemparan, namun entah kenapa aku yakin aku akan tetap aman selama masih ada dia disisihku. Tanpa terasa konser itu pun usai, dan waktu pun sudah hampir jam sebelas malam, aku  harus secepatnya pulang karena sudah hampir melewati batas izin keluar yang diberikan ibu kostku. Beda halnya pada saat pergi tadi, hanya keheningan yang mewarnai perjalanan pulang malam itu. Aku tidak tau apa yang ada dalam benaknya, apakah sama dengan yang aku rasakan saat itu yaitu bahagia.
                Akhirnya kami sampai juga dikostku, aku pun harus segera masuk takut nanti dimarahi ibu kost, “Makasi ya fis buat malam ini”, “Iya sama-sama, aku langsung pulang aja ya, g enak ni udah kemalaman”. Aku masih berdiri melihatnya pergi dan akhirnya lenyap dari pandanganku, aku masih mencoba membayangkan indahnya hal-hal yang baru saja ku lewati beberapa waktu lalu.
                Untuk pertama kalinya malam itu aku susah tidur, sepertinya setelah kejadian tadi aku benar-benar merasakan aku jatuh cinta padanya, namun lagi-lagi dilema itu meracuni fikiranku, apakah dia merasakan yang sama? Apakah yang ku anggap indah juga indah baginya?. Ingin sekali rasanya aku memasuki  fikirannya untuk mengetahui apa yang dia fikirkan. Intinya kegalauan tidak pernah rela pergi jauh dariku.
                Keesokan harinya saat menuju kelas untuk pertama kalinya aku tidak ingin melihat nya, jantungku tidak karuan menyadari diri yang sudah berada didaerah sekitarnya meskipun mata ini belum melihatnya. Tidak berapa lama setelah aku tiba dikelas, hafis masuk kekelas. Ku lihat dia berjalan hendak menghampiriku, dan entah mengapa kaki ku refleks beranjak dari tempat itu dan mencoba berjalan menghindar darinya. Aku melihat reaksi wajahnya yang begitu heran, hafis mencoba memanggilku, namun aku pura-pura tidak mendengar dengan asik ngobrol dengan temanku yang lain. Aku juga tidak mengerti mengapa aku bertingkah seperti itu, mungkin aku masih merasa grogi akan kejadian malam itu, baginya itu biasa saja namun tidak untukku.
                Jam perkuliahan pun berakhir, aku bergegas langsung pulang kekostku yang jaraknya tidak jauh dari kampus. Hari itu ku lalui seakan berada dalam penjara yang mengekang setiap gerakku. Aku mengutuki diri atas sikapku yang tidak profesional itu. Sesampai dikost tiba-tiba HP ku berderig ternyata panggilan dari Hafis, aku tidak menjawabnya, akhirnya dia mengirim sms untukku. “Mi km knp hari ni, sprtinya mnghndar gt dr aku?”, aku merebahkan diri dikasur sembari memikirkan jawaban apa yang pas untuk pertanyaan tersebut. “Aku gk knp2 koq fis, biasa ja” bls qu singkat. “Tadi aqu panggil kamu koq diem aja” blsnya lagi. “Emg km ada manggil ya, gak denger fis, sory, km tenang aja, aku gak kenpa2 koq” aqu mencoba meyakinkannya bahwa tidak ada satu permasalahanpun terjadi, karena aku sendiri pun tidak tahu kenapa bisa bertingkah seperti itu. “owh yaudah, aqu takut aja kamu marah sama aku, aku jadi ngerasa gak enak”. Aku tidak membalas lagi sms tersebut, aku tidak ingin membohonginya lagi terlalu jauh.
                Senja pun tiba, membaca Al-Qur’an setelah sholat maghrib merupakan rutinitas yang selalu ku jaga setiap hari, itu sala satu caraku agar tetap merasakan kedamaian dihati. Meskipun kurang begitu berlaku untuk hari itu, entah mengapa penat merajalela dibenakku, dadaku terasa sesak, hatiku gelisah gak karuan. Aku selalu bermohon pada-Nya agar menghilangkan segala rasaku untuknya jika memang akhirnya akan tercipta luka baru, namun doaku berbanding terbalik dengan apa yang ku rasa, rasa sayangku semakin bertambah untuknya. Aku kesal dengan diri sendiri yang tidak komitmen pada persahabatan.
                “Mi ada temanmu tuh diluar nyariin” kata yana teman sekamarku. “Siapa yan?” tanyaku heran. “Kayaknya si Hafis lha Mi”, aku terkejut mendengarnya, kenapa tiba-tiba dia datang kekostku, apalagi tanpa memberitahu terlebih dahulu, aku langsung saja menghampirinya. “Kok datang gak kasi tau dulu fis?” tanyaku padanya. “Ntar klo kasi tau, takutnya gak dibolehin datang, soalnya hari ini kamu agak aneh”. Aku tertawa mendengar penjelasannya, memang sedikit benar, aku pun merasakan diriku agak aneh belakangan ini. Kami asik ngobrol, ternyata dia memang merasa aneh dengan sikapku tadi, dan mencoba mencari tau apa yang terjadi. Namun tidak banyak yang bisa ku katakan selain “tidak apa2”.
                “Kita jalan-jalan yuk Mi?” tiba-tiba Hafis mengajakku. “Mau kemana fis?” tanyaku lagi, tidak biasanya dia seperti itu. “Kemana aja, keliling-keliling, cari udara segar”. “Owh yaudah, tunggu bentar ya, aku ganti baju dulu” jawabku kemudian menuju kekamar mencari-cari pakain yang kira-kira cocok untuk kekenakan. Seperti biasa, simple tapi elegan merupakan ciri khasku.
                Kami pun berkeliling-keliling gak tau tujuan, berbeda seperti biasanya, suasana begitu dingin, tidak ada komunikasi diantara kami. Saat melewati suatu taman, dia menghentikan kendaraan disitu. Aku mencoba membaca situasi, kenapa mesti ketaman, kalo untuk sekedar ngobrol, sepertinya bisa dilakukan dikostku saja. Kami pun duduk, sama seperti tadi, suasana masih dingin. Lidahku pun kelu tidak tau harus membicarakan apa. “Kemaren kamu cerita mau pindah kost, jadi?” Hafis membuka pembicaraan, meskipun aku tau itu hanya basa basi karena tidak tau mau membahas problem apa, memang seh aku pernah cerita mau pindah kost, tapi rasanya tempat itu terlalu spesial untuk membahas hal sepele seperti itu.
“Hmmm,,jadi gak ya??” ku jawab sekedarnya
“Jadi gak? Tanya nya lagi.
“aku masih bingung fis” jawabku.
“Jadian Yuk” tiba-tiba dia melontarkan pertanyaan yang membuatku shock. Situasi kembali dingin, dia menatapku dalam. “Apaan seh fis?” aku mencoba menenangkan diri meskipun jantungku tidak normal berdetak. Hafis menggengam tangkanku memalingkan wajahku yang sedari tadi menghindar dari pandangannya untuk menatapnya. Aku merasakan keseriusan dimatanya, berbeda dengan Hafis yang selama ini.
“Mi, ngerasa gak seh selama ini kamu aku perlakukan lebih dari teman biasa?” aku membaca kejujuran dimatanya saat kata-kata itu dia ucapkan. Namun belum sempat aku memberikan respon dia kembali melanjutkan kata-katanya, sepertinya begitu banyak yang dia ingin ungkapkan yang selama ini dia sembunyikan dan sudah tidak sanggup lagi untuk dipendam. “Gimana bisa aku tidur dengan tenang malam ini kalo harus ngeliat respon kamu yang kayak tadi dikampus” ujarnya lagi padaku, aku tidak menyangka hal itu membuatnya segelisah itu, “Ya Rabb, mungkinkah selama ini kami merasakan hal yang sama” teriakku dalam hati.
“Aku gak tau kenapa bisa gini, semenjak mengenalmu, aku suka dengan kepribadianmu, perlahan-lahan rasa kagumku berubah menjadi sayang.. bahkan begitu sayang, jadi rasanya begitu sakit jika harus diperlakukan seperti tadi”. Aku terhenyak mendengar pengakuannya, aku melihat sisi lain dari dirinya malam ini. Seketika bibirku terkunci  rapat, tidak tau harus berkata apa. Namu tangan itu masih terus menggenggam erat tanganku seakan tidak ingin melepasnya lagi.
Aku tersenyum padanya, ingin sekali rasanya mengatakan bahwa aku menyayanginya mungkin lebih dari rasa sayangnya padaku, namun itu tetap tidak bisa ku lakukan padanya.
“Mungkin kalo kamu enggak spesial dihatiku, aku gak akan bersikap seperti tadi dikampus. Rasanya seneng banget menhabiskan waktu malam itu denganmu sampai-sampai aku gak bisa mengontrol diri waktu tadi ngeliat kamu fis” Belum selesai aku bicara, hafis merangkulku.
“Udah gak usah dilanjut lagi, aku udah ngerti sekarang, aku sayang kamu Hayati Ilmi, bolehkan aku memilikimu seutuhnya?” Aku merebahkan kepalaku dibahunya, “Aku juga sayang kamu Hafis Siddiq”. Hafis memelukku dan medaratkan satu kecupan dikeningku. Tak terkira bahagianya hatiku malam ini, begitu juga yang ku tangkap dari wajahnya. Ternyata ini yang dimaksud-Nya selama ini, aku saja yang selalu tidak sabar, bahwa semua itu kan indah pada waktunya.

               

               

Senin, 04 Juni 2012

Broken Heart

Rasanya begitu penat menjalani kulyah seminggu ini, begitu banyak tugas yang harus dikerjakan. Ingin skali rasanya hari minggu ini menghabiskan waktuku bersama Raka pacarku, Hanya dia yang selalu bisa memotivasiku untuk terus bersemangat. Terkadang hanya denggan melihat senyumnya saja sudah bisa menghapus segala lelahku. Menjalani hubungan yang hampiir 4 tahun dengannya membuatnya begitu mengerti tentang aku. Terkadang aku berfikir mungkin dialah pangeran yang yang diciptkan-Nya untukku. Begitu banyak hal-hal indah yg telah kami lalui bersama dan semua memori itu terekam dan tidak mungkin terhapus dari ingatanku. Seperti biasa setelah mengirim sms untuk mengajaknya pergi jalan, beberapa menit kemudian dia tiba untuk menjeputku, hari itu begitu indah, tidak perlu hal-hal mewah atau tempat yang indah, bisa selalu bersamanya saja merupakan kebahagiaan yang luar biasa bagiku. Tidak beda halnya dengan orang-orang pada umunya, hubungan kami juga tidak terlepas dari keposesifan, terkadang batasan-batasan yang dia buat untukku mengakibatkan aku juga terpaksa harus bersikap posesif padanya. Cemburu merupakan pertanda dia menyangi kita juga terkadang dijadikannya senjata untuk mengekangku, namun sejauh itu masih bisa ku jalani, aku lakukan dengan ikhlas asalkan hubungan itu tetap berjalan dengan baik. Seperti biasanya setelah lelah berkeliling, kami singgah disebuah kafe, memesan makanan dan kembali bercanda gurau, dia termasuk pria humoris yang selalu bisa buat aku tertawa. Hingga akhirnya HP ku menerima sebuah sms dari seorang teman lelaki yang tidak lain teman sekelasku dikampus. “Siapa Dil?” tanyanya padaku, aku menangkap respon penyelidikan darinya dan ku jawab pertanyaan itu dengan jujur, “Temen sekelasku” kemudian ku jelaskan padanya siapa dia dan aku perlihatkan padanya isi sms itu. Aku melihat tidak ada raut amarah diwajahnya, hingga akhirnya kami pun pulang. Setelah dia mengantarku, dia pun pamit hendak pulang, namun sebelum membiarkannya pulang, aku memastikan dia tidak menyimpan unek-unek dalam hatinya atas kejadian tadi, karena aku begitu mengenal wataknya yang sangat pencemburu. “Kamu gak marah kan sama aku karena sms tadi” tanyaku padanya. “Gak koq Dil, tenang aja, aku pulang dulu ya”. Dia pun pulang dan ternyata hari itu adalah hari terakhir kami jalan bersama. Ku fikir senyum terakhir yang ia berikan menandakan semuanya baik-baik saja, namun aku salah, bibir tersenyum itu menyembunyikan hati yang terbakar cemburu, aku tidak menyangka setelah dari rumahku dia mencari tau segala informasi tentang siapa tadi yang mengirim sms padaku, ternyata penjelasan yang kuberikan padanya tidak cukup meyakinkan dirinya bahwa aku jujur padanya. Dan aku tidak tahu darimana ia mendapatkan informasi tentang temanku itu sampai-sampai informasi itu menyebutkan temanku itu memiliki kedekatan spesial denganku. Keesokan harinya aku terkejut melihat Raka yang tanpa memberitahu terlebih dahulu tiba-tiba telah berada diteras rumahku. Aku merasa ada yang tidak beres hari itu, selain sms ku yang tidak dibalas sejak pagi hingga kedatangannya yang begitu mendadak. Namu aku tetap menyambutnya dengan ramah, “Kamu datang kok gak bilang2, untung aku langsung pulang”, belum sempat aku menyelesaikan ucapanku Raka langsung menyela “Kenapa, ada rencana jalan2 dengan teman spesialmu itu ya Dil?” ucap Raka begitu ketusnya padaku. Aku begitu tidak menyangka dengan respon yang dia berikan, selama hampir 4 tahun aku menjalin hubungan dengannya, tidak sekalipun dia pernah mengucapkan kata-kata yang kasar padaku. “Kamu koq ngomong gitu, teman spesial apa?, kamu marah tentang sms semalam?” aku tetap berusaha meredam suasana, aku tidak ingin membalas api dengan api, meskipun hatiku begitu sakit mendengar tuduhan yang tidak pernah ku lakukan. “Udahlah Dil, gak usah sok baik lagi didepanku, kamu gak bisa dipercaya, kecewa aku sama kamu, gak nyangka aku kamu nyalah gunain kepercayaan yang aku kasi buat kamu” Raka mulai memperjelas amarahnya, tanpa perduli aku yang tidak pernah kuat mendengar orang lain berkata-kata kasaar didepanku. “Aku gak ngerti maksud kamu Ka, jangan fitnah aku sembarangan, kenapa seh gak bisa sedikit aja kamu tuh percaya kalo aku gak pernah berkhianat, bahkan untuk berteman dengan laki-laki lain aja ku sering menjaga jarak dengan mereka” aku coba untuk tetap menguatkan hati untuk menjelaskan padanya bahwa aku tidak salah. “Terserah kamu mau bilang apa, aku udah gak percaya lagi sama kamu, aku gak mau lagi ngejalanin hubungan dengan perempuan penipu” Raka pun beranjak dari tempat duduknya hendak pulang tanpa memperdulikan air mata itu hampir mengalir dipipiku. Aku mencoba mencegahnya dengan menarik lengannya kemudian menjellaskan padanya bahwa aku tidak bersalah “Please dengerin aku dulu, aku udah jujur sama kamu, kasi tau aku siapa yang udah fitnah aku kayak gini”. “Kamu gak perlu tau siapa orangnya, yang pastinya aku gak bisa percaya sama kamu lagi, kita Putus” Raka kemudian berlalu meninggalkanku yang berdiri mematung tak percaya dengan kata-kata yang baru kudengar. Begitu mudahnya ia mengucapkan kata-kata putus tanpa pernah memikirkan hancurnya perasaanku. Aku diputuskan atas kesalahan yang tidak pernah ku perbuat. Bagaimana bisa cintaku dibalas penindasan seperti ini. Aku yang selalu menjaga agar hubungan ini tetap berjalan baik ternyata akhirnya hanya bisa membiarkan air mata itu menetes begitu banyak. Andai dia tau yang sebenarnya bahwa aku selalu memujanya bahkan tidak pernah seorang pun singgah dihati ini sejak aku mengenalnya. Keegoisannya tumbuh tanpa ampun saat ia merasa terkhianati, tapi layakkah itu kuterima atas kesalahan yang tidak perna ku perbuat??