Skenario kisah ini terlalu memuat peran yang menyedihkan untukku.
Aku lelah dengan peran yang selalu ditindas si Antagonis.
Bahkan dalam sinetron pun seorang budak diperkenankan untuk hidup bahagia, tetapi kenapa dunia nyata sepertinya terlalu kejam..??
Aku saja sampai lupa kapan terakhir tersenyum bahagia, kenyataan yang miris.
Lihat dirimu, lalu tatap aku, tidakkah kau sadar bahwa tanpa kau sakiti pun aku sudah begitu lemah??
Belum puas jugakah kecewakan si wanita yang tak berharga ini?
Aku tidak berharap kau bahagiakan, tidak mengecewakanku lagi saja sudah cukup.
Seharusnya itu hal yang mudah jika kau sayangi aku.
Ku upayakan segala hal yang buatmu senang, aku tidak minta balasan apapun, sedikit saja hargai aku.
Tapi sayangnya, dihargaipun sepertinya aku tidak berhak olehmu.
Kau kejam!!
Dia jahat Ibu
:'(
Bu, ajari aku memaafkannya
Rabu, 21 November 2012
Selasa, 20 November 2012
Aku Gagal
Aku dipermalukan oleh amarah.
Emosional menertawakanku dengan bangganya.
aku dikalahkan ego..
Kekecewaan meronta ingin menampar nafsu yg terus mencemooh diri
Pribadiku tak lagi bersahaja dimatanya
aku pendidik yang biarkan sang buah hati terluka
aku pendidik yang biarkan buah hati berlalu dihasut resah
Wajah polosnya penuh luka kecewa
Tersirat air mata ingin aliri pipi halusnya
Secuil harapan inginkan panggilanku tuk tahan langkahnya
Aku yang hanya mematung penuh keangkuhan
merasa diri penuh kebenaran
Emosional menertawakanku dengan bangganya.
aku dikalahkan ego..
Kekecewaan meronta ingin menampar nafsu yg terus mencemooh diri
Pribadiku tak lagi bersahaja dimatanya
aku pendidik yang biarkan sang buah hati terluka
aku pendidik yang biarkan buah hati berlalu dihasut resah
Wajah polosnya penuh luka kecewa
Tersirat air mata ingin aliri pipi halusnya
Secuil harapan inginkan panggilanku tuk tahan langkahnya
Aku yang hanya mematung penuh keangkuhan
merasa diri penuh kebenaran
Aku kalah dalam peperangan ini
Aku gagal tuk bisa diteladani
Maafkan kakak yang jauh dari kesempurnaan ini
Aku gagal tuk bisa diteladani
Maafkan kakak yang jauh dari kesempurnaan ini
Minggu, 04 November 2012
SoulMate
Akhirnya aku diterima disekolah itu, salah satu sekolah menengah atas yang
menjadi favorit di kampung halaman ku. Sejalan waktu aku mulai memiliki banyak
teman termasuk berteman akrab dengan Ridwan dan Nia. Namun siapa yang bisa
menyalahkan jika diantara persahabatan yang terjalin akhirnya tumbuh rasa
cinta. Begitulah yang ku ketahui dari dua orang sahabatku itu.
Namun mungkin bagi mereka persahabatan sangatlah berharga
sehingga mereka lebih memilih mengekang rasa cinta yang ada demi menjaga
hubungan persahabatan.
Nia mulai membuka hati untuk yang lain, meskipun
menurutku dihatinya masih tersimpan rasa sayang yang begitu besar pada Ridwan.
Nia mengatakan padaku dia tidak ingin mengecewakan Aldi yang selama ini
berupaya keras mendekatinya dan telah memberi perhatian lebih padanya dan
akhirnya mereka resmi berpacaran.
Mengetahui hal itu, Ridwan tetap berupaya untuk ikhlas,
meski dalam lubuk hatinya begitu kecewa. Dia mengatakan padaku akan berusaha mengikhlaskan
jika memang itu bisa membuat Nia bahagia.
Hari minggu itu kami pun pergi bertamasya ke salah satu
tempat wisata didaerahku. Kami berboncengan dengan speda motor bersama pasangan
masing-masing, namun di hari itu Ridwan tidak mau ikut, aku bisa membaca ada kecemburuan
di matanya jika melihat Nia bersama yang lain.
“Maaf Din, kalian aja
yang pigi, aku gak bisa ikut karena ada urusan keluarga” jelas Ridwan padaku.
“Yaudah kalo memang gak
bisa ikut jangan dipaksakan, aku tau kok wan alasan sebenarnya” aku menepuk
pundak Ridwan dan berlalu darinya.
Namun belum sempat aku
beranjak jauh, Ridwan berseru “Tolong jaga Nia baik-baik ya Din”, aku pun
terhenti “Iya tenang aja, Nia aman bersama kami, Aldi pasti bisa jaga dia Wan”.
Terkadang aku tidak habis fikir dengan pilihan yang
mereka buat, bagiku tidak masalah jika memang mereka mau menjalin hubungan
lebih dari sahabat, tapi pasti ada alasan yang lebih kuat bagi mereka berdua
sehingga memilih keputusan tersebut.
Perjalanan pun kami mulai, sekitar empat speda motor
berjalan beriringan dengan kecepatan yang standart menuju tempat wisata akan
kami datangi. Aku melihat senyum disemua wajah sahabatku, begitupula Nia.
Meskipun bagiku hari itu kurang sempurna tanpa kehadiran Ridwan, karena kami
baru ini pergi tanpa dia.
Kendaraann kami melaju beriringan dijalanan,
aku dan Nico dibarisan terdepan, disusul oleh teman yang lain dibelakang
kami,sedangkan Nia dan Aldi di posisi paling belakang.
Beberapa saat kemudian kami tiba ditempat tujuan kecuali
Nia dan Aldi, kami tidak melihat mereka. Kami pun menunggu sejenak. Menurut
teman yang lain mereka memang tertinggal dibelakang. Kami pun mengerti, mungkin
karena terlalu asyik ngobrol dalam nuansa manis orang baru jadian. Namun hampir
setengah jam kami menunggu, mereka tidak juga tiba di lokasi.
Beberapa saat kemudian Aldi menghubungi kami, dengan
suara gugup dia mengatakan bahwa mereka kecelakaan karena tabrakan. Sejenak
situasi begitu panik, kami pun bergegas menyusul kembali mereka. Aku begitu
takut akan keadaan mereka. Sesampai ditempat kejadian, kami mendapati aldi
dengan tubuh penuh luka, speda motor yang mereka kendarai rusak parah, namun
yang lebih parah lagi, Nia tidak sadarkan diri karena terjatuh dan kepalanya
terbentur batu. “ Tadi sebelum pingsan dia sempat muntah darah” jelas Aldi.
Warga pun mulai datang berbondong menolong kami, Nia
segera kami bawa kerumah sakit terdekat. Nia belum juga sadar, namun sudah
ditangani oleh dokter. Untuk sementara dokter memfonis Nia geger otak karena
benturan keras dikepalanya. Kami semua begitu terkejut, tidak menyangka hari
itu akan terjadi musibah pada kami.
Aku begitu panik, tidak tahu harus berbuat apa, bagaimana
reaksi kedua orang tuanya jka tau anaknya terbaring kritis dirumah sakit.
Begitu juga dengan Ridwan, dia pasti tidak akan terima satu pun hal buruk
terjadi pada Nia.
Tiga jam sudah nia masuk dalam ruang UGD, namun tidak
juga menampakkan kondisinya akan membaik. Ibunya menangis disisinya. Begitu
juga dengan Ridwan, dia marah pada kami semua karena tidak bisa menjaga Nia.
Terutama pada Aldi, hampir saja terjadi perkelahian antara mereka, namun kamu
cepat melerai mereka. “Ini sudah takdir yang memang pasti terjadi, jadi tidak
ada yang bisa disalahkan” aku berupaya menengahi mereka. “Bukan Cuma kamu wan, kami
semua sayang Nia” kata teman-teman yang lain menambahi.
Tepat pukul delapan malam, Nia menghembuskan nafas
terakhirnya. Nia pergi meninggalkan kami semua. Isak tangis memenuhi ruangan
itu. Kami tidak menyangka hari itu akan kehilangan salah satu sahabat terbaik
kami. Begitu juga kedua orang tua Nia yang harus kehilangan putri tercintanya.
Seminggu berlalu setelah kejadian itu, selalu ada yang
kurang bagi kami, tidak ada lagi senyum manis dari Nia. Tidak ada lagi canda
tawa bersamanya. Begitu juga dengan Ridwan. Tidak pernah lagi ada semangat
diwajahnya.
Menjelang ujian kenaikan kelas, kami semua disibukkan
dengan tugas-tugas, begtiu juga dengan persiapan menjelang ujian.
Satu persatu ujian kami lewati. Tiga hari menjelang
pembagian Rapor para guru disibukkan oleh tugas mereka masing-masing seperti
mengurus nilai murid-muridnya. Kami pun tidak lagi melakukan kegiatan
pembelajaran. Pagi itu setiba dikelas, aku berkumpul dengan teman-teman lain,
namun aku belum melihat Ridwan, tidak biasanya dia belum kelihatan jam segitu.
“Tumben si Ridwan belum keliatan” tanya salah seorang teman. “Macet mungkin
dijalan” jawabku.
Terdengar pengumuman dari sekolah, “Diberitahukan kepada
seluruh siswa-siswi agar lelebih berhati-hati dalam berkendaraan, baru saja
Siswa kelas X-3 yang bernama Ridwan jatuh dari sepeda motornya saat hendak
menuju sekolah, sekarang sedang ditangani di Rumah sakit”.
Kami semua shock mendengar pengumuman tersebut, tubuhku
refleks melemah tak berdaya. Sepulang sekolah kami semua murid X-3 mengunjungi
rumah sakit tempat Ridwan dirawat. Namun menurut perawat rumah sakit tersebut,
Ridwan dibawa kerumah sakit lain karena
mereka mengaku tidak sanggup menanganinya.
Air mata menetes dipipiku dan para sahabat, rasa sedih
akan kehilangan Nia belum hilang dari benak kami, kini kami mendengar berita
buruk tentang Ridwan. Kami semua mengirim sms ke Ridwan ungkapan doa semoga dia
dapat bertahan dan bisa kembali bergabung dengan kami.
Aku pulang kerumah dengan langkah gontai, badanku terasa
akan demam, mungkin karena terlalu shock sehingga semangatku jadi melemah. Aku
merebahkan diri dikasur dan teringat
kemarin saat Ridwan mengatarku pulang kerumah, kemudian dia curhat akan rasa
rindunya kepada Nia. Aku tidak habis
fikir kenapa hal ini bisa terjadi pada dua sahabat terbaikku. Dalam hati
aku terus berdoa akan keselamatan Ridwan, semoga dia bisa kuat melewati
masa-masa kritisnya.
Ridwan tiba didepan rumahku. Aku menatapnya aneh. Dia
terlihat pucat dan tak berdaya. Dia datang menghampiriku yang saat itu sedang
duduk diteras rumah.
“Din aku mau pamit” ucapnya.
“Mau pergi kemana wan?” tanyaku heran.
“Aku ingin menemani Nia
Din” jawabnya kemudian berbalik arah dan pergi begitu saja.
“Wan jangan
pergiiiiiiii....” aku menjerit berusaha mencegahnya hingga akhirnya aku terjaga
dari tidurku.
“Astaghfirullah,
ternyata mimpi”, aku terengah-engah, keringat membasahi sekujur tubuhku. Aku
tersadar bahwa aku tertidur saat pulang sekolah tadi.
Aku mengambil Handphone
ku dan mmelihat banyak missed call dan sms dari temanku.
Akupun membaca sms tersebut satu persatu :
Akupun membaca sms tersebut satu persatu :
“Innalillahi wainna
ilaihi raji’un, semoga Ridwan tenang disana”
“Sekali lagi kita
kehilangan sahabat terbaik kita, semoga amal ibadah Ridwan diterima-Nya”
Air mata itu mengalir
dipipiku, ternyata Ridwan benar-benar pamit denganku lewat mimpi tadi.
Aku yakin ini adalah
takdir yang sudah digariskan kepada dua orang sahabat terbaikku itu, Sang ilahi
lebih memilih mereka untuk berjodoh di surga.
Selamat jalan sahabat,
namamu akan selalu ada dihati kami..
Pelatihan kemarin...
Memasuki semester 7 di masa perkuliahanku hanya memunculkan satu hal didalam benak, Apakah aku bisa melewati program latihan mengajar itu kelak?
Itu dan itu terus.
Aku menyadari diri yang hanya bermodal penguasaan konsep.
Bagaimana kelak menguasai kelas?
mengamankan suasana kelas?
Apa aku mampu?
Namun aku juga berfikir, yang penting niatku benar-benar tulus ingin berbagi ilmu pada mereka, menjadi bagian dari mereka yang kelak jika mereka butuh, Insya Allah aku akan hadir membantu..
Ya..itu saja..
Hingga akhirnya penempatan itu meletakkan ku disuatu sekolah yang terbilang cukup menantang kemampuan akademik.
Aku pasrah. Allah pasti berencana baik dibalik semua ini.
Hari Pertama
Memasuki gerbang sekolah itu dengan rasa gugup, "Tempat ini begitu asing bagiku", fikirku dalam hati. Namun rasanya begitu nyaman, berada dilingkungan yang bernuansa islami, dimana karakter ramah-tamah dan saling menghormati benar-benar ditegakkan. Aku pun dihadapkan dengan sejumlah jadwal yang untuk 3 bulan kedepannya harus dijalani. Satu hal lagi yang membuatku senang, guru pembimbingku begitu baik. Ternyata benar, Allah berencana baik.
Hari Kedua
Pertama kalinya memasuki kelas seorang diri, aku disuruh mengamankan murid-murid itu karena gurunya belum datang. Really nervous. Sambutan acuh dari mereka, sedikit terkesan disepelekan, maklumlah jika mereka mengetahui statusku disekolah.
Setelah satu minggu
Aku mulai menikmati kegiatan ini, awalnya aku berfikir jadi guru itu sulit, ternyata tidak seutuhnya benar. Mereka cukup welcome dengan cara mengajarku. Aku tidak berharap banyak, asal mereka bilang mengerti saja itu sudah lebih dari cukup.
Mencoba memahami karakter mereka, membaur dengan mereka, itulah yang ku lakukan.
2 Bulan berlalu
Kehadiranku mulai di nanti, bukan hal yang sering terjadi untuk mata pelajaran Matematika. Terkadang interaksi yang terjadi bukan selayaknya guru dan murid, melainkan kakak dan adiknya. Tapi aku merasa mereka nyaman akan hal itu.
Hari-hari menjelang usai
Mereka tidak menginginkanku pergi. Respon yang begitu tidak terduga. Aku pun seperti mereka, merasa memiliki keluarga baru, menyayangi mereka.
Hari itu
Langkah ku pasti menuju ke kelas. Tidak seperti biasanya. Mereka tidak menunggu.
Hati kecilku sedih, bukan begini yang ku mau.
Untuk pertama dan yang terkahir kalinya mereka tidak respect padaku. Dan lebih parah lagi, mereka menentang semua yang ku katakan.
Kesabaranku habis. Spontan aku beranjak pergi, aku hanya tidak ingin marah dan memilih pergi. Mereka mengejarku, membujuk untuk kembali. Surprise ulang tahun dan perpisahan ternyata yang telah mereka rencanakan. Aku tidak menyangka. Aku senang namun sedih. Sambil bertutur terimakasih aku pun meneteskan air mata. Air mata bahagia. Ternyata muridku sudah dewasa dan mereka menyayangiku.
Itu dan itu terus.
Aku menyadari diri yang hanya bermodal penguasaan konsep.
Bagaimana kelak menguasai kelas?
mengamankan suasana kelas?
Apa aku mampu?
Namun aku juga berfikir, yang penting niatku benar-benar tulus ingin berbagi ilmu pada mereka, menjadi bagian dari mereka yang kelak jika mereka butuh, Insya Allah aku akan hadir membantu..
Ya..itu saja..
Hingga akhirnya penempatan itu meletakkan ku disuatu sekolah yang terbilang cukup menantang kemampuan akademik.
Aku pasrah. Allah pasti berencana baik dibalik semua ini.
Hari Pertama
Memasuki gerbang sekolah itu dengan rasa gugup, "Tempat ini begitu asing bagiku", fikirku dalam hati. Namun rasanya begitu nyaman, berada dilingkungan yang bernuansa islami, dimana karakter ramah-tamah dan saling menghormati benar-benar ditegakkan. Aku pun dihadapkan dengan sejumlah jadwal yang untuk 3 bulan kedepannya harus dijalani. Satu hal lagi yang membuatku senang, guru pembimbingku begitu baik. Ternyata benar, Allah berencana baik.
Hari Kedua
Pertama kalinya memasuki kelas seorang diri, aku disuruh mengamankan murid-murid itu karena gurunya belum datang. Really nervous. Sambutan acuh dari mereka, sedikit terkesan disepelekan, maklumlah jika mereka mengetahui statusku disekolah.
Setelah satu minggu
Aku mulai menikmati kegiatan ini, awalnya aku berfikir jadi guru itu sulit, ternyata tidak seutuhnya benar. Mereka cukup welcome dengan cara mengajarku. Aku tidak berharap banyak, asal mereka bilang mengerti saja itu sudah lebih dari cukup.
Mencoba memahami karakter mereka, membaur dengan mereka, itulah yang ku lakukan.
2 Bulan berlalu
Kehadiranku mulai di nanti, bukan hal yang sering terjadi untuk mata pelajaran Matematika. Terkadang interaksi yang terjadi bukan selayaknya guru dan murid, melainkan kakak dan adiknya. Tapi aku merasa mereka nyaman akan hal itu.
Hari-hari menjelang usai
Mereka tidak menginginkanku pergi. Respon yang begitu tidak terduga. Aku pun seperti mereka, merasa memiliki keluarga baru, menyayangi mereka.
Hari itu
Langkah ku pasti menuju ke kelas. Tidak seperti biasanya. Mereka tidak menunggu.
Hati kecilku sedih, bukan begini yang ku mau.
Untuk pertama dan yang terkahir kalinya mereka tidak respect padaku. Dan lebih parah lagi, mereka menentang semua yang ku katakan.
Kesabaranku habis. Spontan aku beranjak pergi, aku hanya tidak ingin marah dan memilih pergi. Mereka mengejarku, membujuk untuk kembali. Surprise ulang tahun dan perpisahan ternyata yang telah mereka rencanakan. Aku tidak menyangka. Aku senang namun sedih. Sambil bertutur terimakasih aku pun meneteskan air mata. Air mata bahagia. Ternyata muridku sudah dewasa dan mereka menyayangiku.
Langganan:
Postingan (Atom)