Kisah ini dipersembahkan untuk seorang sahabat dimana perjalanan hidupnya benar-benar memotivasiku untuk tetap bersyukur dengan apa yang telah ku miliki saat ini.
Kisah yang menyadarkan kita untuk tetap sabar dalam menghadapi segala cobaan dan tetap berjuang untuk melewati cobaan hidup. Ikhlas menerima segala yang telah digariskan oleh-Nya dan meyakini ada hikmah dibalik semua yang terjadi.
Sebuah novel berjudul "Pelangi Setelah Hujan"
BAB 1 Pasang Surut keluargaku
Ilmi menatap langit yang mulai tertutup awan kelabu
pertanda akan segera turun hujan. Ia menyingsingkan rok abu-abu seragam
sekolahnya agar bisa mempercepat langkahnya. Satu-persatu teman-temannya
berlalu mendahuluinya, bukan jalan kaki sepertinya melainkan menaiki kendaraan
meskipun sekedar naik ojek atau becak. Tiga setengah kilo meter harus ia tempuh
setiap hari pulang dan pergi demi menempuh harapan menamatkan sekolah dan
menggapai cita-cita.
Beberapa puluh meter menuju rumah akhirnya hujan pun
turun begitu derasnya. Ilmi basah kuyup. Sepatunya kotor terkena lumpur.
Sesampainya dirumah ia segera mengambil beberapa ember untuk menampung tetesan
hujan yang membasahi rumah karena atap yang bocor. Kemudian mengeringkan
tubuhnya dengan handuk lalu bergegas mengeringkan pakaian dan mencuci sepatu
yang besok harus kembali ia gunakan karena itu adalah satu-satunya seragam
sekolah yang ia miliki.
Setiap harinya seperti itu, bukan hanya basah kuyup karena
diguyur hujan, tak jarang juga bajunya basah kuyup karena keringat yang
mengucur akibat panasnya sengatan sinar matahari.
“Bapak dan ibu belum pulang Fis?” tanya ilmi pada adik
sulungnya yang masih berumur lima tahun.
“Belum kak” sambil terus memainkan robot-robot
kesayangannya dengan anak tetangga. Robot yang lima tahun lalu masih sanggup
dibelikan oleh sang bapak untuk adiknya meskipun dengan harga yang mahal.
Namun sekarang semua berbeda, tak jarang kami hanya makan
dengan nasi putih dan garam saja. Ibu dan
bapak bekerja keras setiap hari demi melunasi hutang-hutang peminjaman uang
yang dulu digunakan untuk biaya mengobati bapak dirumah sakit.
Ilmi terlahir sebagai anak tertua dari keluarga
berkecukupan yang berpemukiman dikota besar. Bapaknya bekerja sebagai asisten
menejer disebuah perusahaan otomotif, dan sang Ibu hanya sebagai ibu rumah
tangga yang setiap harinya mengurus Ilmi dan kedua orang adiknya. Ilmi dan
adiknya bersekolah disekolah favorit dan menikmati segala fasilitas yang menunjang
kebutuhan mereka.
Empat
tahun lalu semua berubah. Bapaknya menderita struk yang terpaksa harus dirawat
dirumah sakit selama beberapa bulan. Perusahan menghentikan gaji dan akhirnya
memecat bapaknya. Semua tabungan terkuras, mobil, speda motor dan beberapa
barang berharga milik keluarganya pun terjual untuk biaya pengobatan. Saat
bapaknya pulih, mereka hanya memiliki
rumah yang mereka tempati, hanya itu lah harta yang tersisa. Ibu dan bapaknya
memutuskan menjual rumah tersebut dan pindah ke daerah pinggiran dekat keluarga
sang bapak. Uang penjualan rumah digunakan untuk membeli rumah kecil yang
begitu sempit untuk kami tempati berlima, sisanya digunakan untuk mencicil
hutang dengan saudara bapak.
Kami
tinggal dengan perabotan seadanya. Tidak ada barang yang tersisa dari kota,
semua habis terjual. Suasana baru ini begitu kontras dengan kehidupan Ilmi yang
dulu.
Kepindahan
mereka bertepatan dengan lulusnya ilmi SMP dan adiknya lulus dari SD. Namun
sulitnya ekonomi yang kini di alami keluarganya mengakibatkan adiknya
bersekolah dipekan baru diasuh oleh pamannya. Bapaknya takut tidak sanggup
membiayai sekolah anak-anaknya sehingga mengikhlaskan anak keduanya diasuh oleh
adik sang istri dipekan baru.
Hari
hampir senja. Ilmi dan adiknya duduk diberanda rumah menunggu Bapak dan Ibunya
pulang. Terlihat dikejauhan dua orang paruh baya berjalan beriringan menginjak
beceknya jalanan sisa dari hujan siang itu. Tak ada lagi suara klakson mobil
yang dulu sering Ilmi dengar pertanda bapaknya pulang bekerja.
“Assalamulaikum”
salam dari kedua orang tuanya serempak saat memasuki rumah.
“Waalaikumsalam”
jawab ilmi dan sang adik menyambut gembira. Adiknya pun langsung minta
digendong oleh ayahnya, maklum lah, hafis anak sulung yang begitu manja.
“Kapan
bapak belikan hafis robot-robotan yang baru”? tanya hafis polos, dia masih
terlalu kecil yang masih belum mengerti dengan keadaan.
“Sabar
ya sayang, pokoknya nanti hafis Bapak belikan robot-robotan yang baru” jawab
bapaknya menenangkan putra sulungnya.
Ilmi
dan Ibunya terhenyak mendengar penuturan tersebut, mereka tidak tahu entah
kapan janji itu dapat terpenuhi.
“Kamu
tadi kehujanan mi?” tanya ibunya melihat seragam sekolah yang ia jemur didapur.
“Iya bu” jawabnya sambil membereskan perlengkapan kerja ibunya.
Keesokan
harinya seragam itu masih lembab, namun terpaksa harus ia gunakan karena tidak
ada seragam lain. Tidak ada alasan untuk tidak sekolah baginya selagi kakinya
masih mampu ia gunakan untuk berjalan. Seusai sarapan dengan ubi goreng dan air
hangat ilmi bergegas berangkat kesekolah meskipun jalanan masih begitu sepi dan
mataharipun belum keluar dari peraduannya.
“Ibu
hanya bisa memberi jajan segini nak” sambil memberikan uang jajan seribu rupiah
kepadanya.
“Trima
kasih bu, ini sudah lebih dari cukup, yang penting bukan jajan, tapi menimba
ilmu disekolah” sambil mencium tangan ibunya dan berpamitan dengan bapaknya.
Tak jarang uang jajan itu tidak dipergunakan olehnya. Ia lebih memilih
menabungnya berharap suatu saat dapat dipergunakan pada saat yang tepat.
ceritanya bagus ne beb
BalasHapusmemang uang gk sglanya yg pntg kesehatan & kebersamaan di suatu keluarga yg plg utama..
& selagi orang tua kita msh mampu nyekolahkan, kita musti bersekolah walaupun lokasi na jauh..
seperti pepatah mengatakan
"Tuntutlah Ilmu Ke Negeri China/orang"
memang kita musti sakit2 dahulu
tapi suatu saat kita pasti bisa capai apa yg kita mau.
dan Hidup musti ada tujuan
cayooo buat ilmi
awq doain smga ilmi bisa hadapi masalah yg di hadapi saat ini.
Thanks ya beb...
BalasHapustunggu lanjutan kisahnya
ok
^_^