Senin, 04 Februari 2013

Penyesalan Terakhir


 Aku masih memperhatikan jam tanganku. Masih satu jam lagi dari waktu janjianku dengan Ilmi. Pekerjaanku begitu menumpuk, hampir  tidak ada waktu bagiku untuk bersantai, apalagi menemaninya entah itu untuk urusan apa, hingga akhirnya aku memutuskan membatalkan janji itu.
 “Mi, perginya dibatalin aja ya, aku mendadak ada urusan” jelasku pada ilmi saat aku menelponnya.
“Selalu batalin janji, kalo memang gak bisa, gak usah janjiin segala, yaudalah” ilmi pun langsung menutup telponku.
Aku sudah bisa menebak, dia pasti akan marah. Itu yang aku gak suka dari dia, sedikitpun gak bisa menahan emosinya, selalu memaksakan apa yang ia mau.
Belum lama hubungan ini ku jalani dengannya, baru berkisar delapan bulan.  Ada sedikit rasa jenuh dihatiku yang aku tidak tahu apa penyebabnya. Ilmi adalah wanita yang baik, setia, terlebih dia juga bisa menerimaku apa adanya.
Namun, belakangan ini kejenuhan itu menghampiriku. Terkadang dia begitu egois, keinginannya harus selalu dituruti. Aku dengan segala rutinitasku menuntut pengertian darinya yang begitu sulit ku dapatkan.
Seperti malam ini, terasa malas bertemu dengannya walau sekedar untuk mengapeli nya di malam minggu. Komunikasi kami akan terputus begitu saja jika aku tidak membujuknya. Padahal yang ku inginkan sifat kedewasaan darinya. 
 Aku pun mencoba menelponnya, namun nihil, dia tidak mau menerima telponku. Ilmi benar-benar manja, mungkin karena terlahir sebagai anak bungsu  yang menjadikan sifatnya selalu ingin menang sendiri.
Terkadang terbesit difikiranku untuk mengakhiri segalanya, tapi aku merasa kasihan dengannya, aku tidak tega menyakiti hatinya. Rasa suntuk benar-benar menghampiriku. Aku benar-benar butuh seseorang untuk berbagi.
           Aku memutuskan pergi kerumah sahabatku vina, dia sahabatku sejak SMP, terkadang aku juga sering curhat ke vina masalah hubunganku dengan Ilmi. Berbeda dengan ilmi, vina begitu dewasa, dia selalu bisa mengerti perasaanku. Tak jarang aku merasa kagum terhadapnya, hati kecilku berharap ilmi bisa memiliki sifat sepertinya. Bahkan sesekali ada keinginanku untuk melepas ilmi dan memiliki vina.
                Aku tiba didepan rumah vina, dia kebetulan sedang duduk diberanda rumahnya sendirian.
“Fis, tumben kamu kesini malam minggu, berantem lagi sama ilmi”? sembari mempersilahkanku masuk
“Biasalah vin, masalah kecil dibesar-besarkan sama dia”.
“cerita donk ke aku”
“uda lha vin, bosan bahas dia terus, intinya dia tetap dengan sikapnya yang hanya mau menang sendiri itu”
“kamu yang sabar ya fis, menghadapi perempuan itu memang butuh kesabaran ekstra”
“iya vin, thanks ya, kita jalan-jalan yuk, aku bete banget nih”
“Boleh, aku ganti baju dulu ya”
Kami pun pergi jalan-jalan mengitari jalanan kota dengan speda motorku, terasa begitu nyaman didekat wanita ini fikirku dalam hati, namun aku juga teringat akan ilmi, aku teringat masa-masa indah saat kami baru pacaran dulu, tidak ada pertengkaran, semuanya berjalan indah.
                Sembari berbincang-bincang, dari arah berlawanan aku melihat Ilmi yang juga sedang bersepeda motor membonceng adik sepupunya, dan kami pun berpapasan.
Aku benar-benar terkejut, aku bisa meilhat bagaimana ekspresi ilmi saat berpapasan denganku tadi, penuh luka kecewa tersirat diwajahnya. Ia pasti benar-benar marah bahkan membenciku.
“Masya Allah Fis, itu ilmi kan”?
“iya Vin” jawabku singkat tanpa bisa berkata-kata lagi.
“tunggu apa lagi, cepat kejar dia, dia bisa salah faham dengan kita” jelas vina.
Aku langsung memutar speda motorku dan mengejarnya, terlihat ilmi juga memacu motornya dengan begitu kencang, namun aku berhasil memotongnya. Dia pun menghentikan motornya.
“Mi, maafin aku, ini gak seperti yang kamu fikirkan” jelasku padanya.
“Tutup mulutmu, aku gak butuh segala omong kosongmu” bentaknya, terlihat ia begitu marah dan membenciku.
“ternyata ini alasan dari semua janji-janji yang kamu batalin ke aku selama ini?, aku benci sama kamu fis”. Ilmi menyalakan lagi sepeda motornya, iya gas dengan sekencang-kencangnya.
Aku mencoba mengejarnya, namun na’asnya,  dari arah kanan ada mobil yang juga  melaju dengan knecangnya, dan tabrakan itu tidak dapat dihindari. Aku menyaksikan sendiri ilmi bersimbahan darah tergeletak tak berdaya.
Hatiku hancur, warga ramai mengerumuni lokasi kejadian, dan akhirnya aku melihat tubuhnya diangkut dengan ambulance.
“Fis, ayo kita susul ilmi kerumah sakit” ajak vina dari belakang.
Aku seakan mematung, rasanya begitu shock, tidak tahu harus berbuat apa, hingga akhirnya kami pun tiba dirumah sakit tempat ilmi dirawat.
Aku melihat keluarganya berkumpul didepan ruang UGD, dan dari kakaknya ku ketahui ilmi kritis karena kehabisan banyak darah. Aku sontak membenci diiriku sendiri, ini semua terjadi karena salahku. Seharusnya aku tidak lari dari masalah dan seharusnya aku kerumah ilmi dan membujuknya, pasti hatinya senang.
Jika memang dia tidak dewasa, mengapa aku juga tidak bisa mencotohkan sikap kedewasaan dengannya, seharusnya aku mengalah, seharusnya aku yang ajari dia untuk tidak selalu memaksakan kehendak ke orang lain. Dan seharusnya........ya...semua sudah terlambat, hanya bisa ku sesali.
Andai malam ini aku bisa sedikit mengalah untuknya, pasti ini tidak akan terjadi. Segala penyesalan itu menari-nari dibenakku. Aku tidak mungkin bisa memaafkan diriku sendiri jika hal yang lebih buruk lagi terjadi dengannya. Aku memukul-mukul kepalaku merasa diriku begitu bodohnya.
Vina mencoba menenangkanku, “udahlah fis, udah takdirnya harus begini, jangan menyalahkan dirimu”.
Tapi tidak semudah itu bagiku menerima kenyataan yang ada, aku lebih memilih dia memarahiku sesuka hatinya daripada melihatnya terbaring tak berdaya seperti sekarang. Dibalik kekesalanku selama ini terhadap sikap ilmi, tersadar aku memiliki cinta yang juga begitu besar untuknya, itu juga yang baru kusadari menjadi alasan mengapa selama ini aku tidak mampu meninggalkannya.
Selang beberapa saat kemudian dokter memberi tahu bahwa ilmi telah selamat dari masa-masa kritisnya, dia dapat tertolong karena cepat mendapatkan transfusi darah. Aku benar-benar bahagia. Aku tidak tahu betapa bencinya aku akan diriku sendiri jika ilmi tidak terselamatkan.
Sudah lima hari ilmi terbaring dirumah sakit dan belum juga sadarkan diri. Setiap hari pula aku datang menjenguknya, jika diizinkan, akupun rela menemaninya dalam lelap istirahatnya.
Semakin hari semakin aku sadar aku benar-benar menyayanginya.  Aku menyadari betapapun pucatnya ia dalam sakitnya, namun ia tetap terlihat cantik dan mempesona. Aku menginginkan ia secepatnya siuman agar aku bisa meminta maaf atas segala kesalahanku padanya.
Hari ketujuh saat aku berada disis tempat tidurnya, dia mulai menggerakan tangan dan membuka matanya. Seluruh keluarga begitu senang, terlebih aku. Aku melihatnya tersenyum lagi, tapi rasanya  aku penuh dosa hingga memutskan untuk pergi, aku takut ilmi malah jadi down lagi melihatku. Namun saat aku melangkah pergi, aku tak menyangka dia memanggilku.
“Fis, mau kemana, kok pergi”?
“Udah satu minggu kamu nemenin aku disini, nangis penuh penyesalan disampingku, masak saat aku siuman kamu malah pergi, jahat” tuturnya dengan suara yang terdengar begitu lemah.
Aku berbalik dan memeluknya, aku sangat merindukannya.
“Tapi kamu kok tau aku disini selama ini nemenin kamu”? tanyaku heran.
“Yang lumpuh kan tubuhku, tapi batinku masih sadar” jawabnya asal. Aku pencet hidungnya, dan dia menjerit manja.
“Aku minta maaf mi, aku salah sebagai pacar gak bisa memahami karaktermu, aku terlalu menuntutmu sesempurna yang ku harapkan.
“Aku rindu dimarahi olehmu, rindu melihatmu merajuk, rindu dengan sifat keras kepalamu yang gak pernah mau ngalah kalo ngomong”. Jelasku sambil kembali memeluknya. Ilmi tertawa, dia mencubitku.
“Kok malah ngomongin kekuranganku terus sih, ini pernyataan bersalah atau malah menghakimi”? tanyanya yang membuatku juga tertawa.
“Aku juga banyak salah Fis, egoku begitu tinggi, keras kepala, pasti kamu sering kesal gara-gara aku. Masalah kecelakaan ini bukan salah kamu fis, aku aja yang memang ceroboh, untung Allah masih baik izinin aku buat ketemu kamu lagi dan minta maaf, kalo enggak, gak kebayang aku bakal gentayangan cemburu setengah mati liat kamu jadi milik orang, hehehe”. Kami kembali tertawa.
Begitulah ilmiku, dibalik segala kekurangannya, dia punya hati yang mulia yang takkan pernah kubiarkan tersakiti lagi oleh kebodohanku.









Tidak ada komentar:

Posting Komentar