Aku masih memperhatikan jam tanganku. Masih satu
jam lagi dari waktu janjianku dengan Ilmi. Pekerjaanku begitu menumpuk, hampir tidak ada waktu bagiku untuk bersantai,
apalagi menemaninya entah itu untuk urusan apa, hingga akhirnya aku memutuskan
membatalkan janji itu.
“Mi,
perginya dibatalin aja ya, aku mendadak ada urusan” jelasku pada ilmi saat aku menelponnya.
“Selalu batalin janji, kalo memang gak bisa, gak
usah janjiin segala, yaudalah” ilmi pun langsung menutup telponku.
Aku sudah bisa menebak, dia pasti akan marah. Itu
yang aku gak suka dari dia, sedikitpun gak bisa menahan emosinya, selalu memaksakan
apa yang ia mau.
Belum lama hubungan ini ku jalani dengannya, baru
berkisar delapan bulan. Ada sedikit rasa
jenuh dihatiku yang aku tidak tahu apa penyebabnya. Ilmi adalah wanita yang
baik, setia, terlebih dia juga bisa menerimaku apa adanya.
Namun, belakangan ini kejenuhan itu menghampiriku.
Terkadang dia begitu egois, keinginannya harus selalu dituruti. Aku dengan
segala rutinitasku menuntut pengertian darinya yang begitu sulit ku dapatkan.
Seperti malam ini, terasa malas bertemu dengannya
walau sekedar untuk mengapeli nya di malam minggu. Komunikasi kami akan
terputus begitu saja jika aku tidak membujuknya. Padahal yang ku inginkan sifat
kedewasaan darinya.
Aku
pun mencoba menelponnya, namun nihil, dia tidak mau menerima telponku. Ilmi
benar-benar manja, mungkin karena terlahir sebagai anak bungsu yang menjadikan sifatnya selalu ingin menang
sendiri.
Terkadang terbesit difikiranku untuk mengakhiri
segalanya, tapi aku merasa kasihan dengannya, aku tidak tega menyakiti hatinya.
Rasa suntuk benar-benar menghampiriku. Aku benar-benar butuh seseorang untuk
berbagi.
Aku memutuskan
pergi kerumah sahabatku vina, dia sahabatku sejak SMP, terkadang aku juga
sering curhat ke vina masalah hubunganku dengan Ilmi. Berbeda dengan ilmi, vina
begitu dewasa, dia selalu bisa mengerti perasaanku. Tak jarang aku merasa kagum
terhadapnya, hati kecilku berharap ilmi bisa memiliki sifat sepertinya. Bahkan
sesekali ada keinginanku untuk melepas ilmi dan memiliki vina.
Aku tiba didepan
rumah vina, dia kebetulan sedang duduk diberanda rumahnya sendirian.
“Fis, tumben kamu kesini malam minggu, berantem lagi sama ilmi”?
sembari mempersilahkanku masuk
“Biasalah vin, masalah kecil dibesar-besarkan sama dia”.
“cerita donk ke aku”
“uda lha vin, bosan bahas dia terus, intinya dia tetap dengan sikapnya
yang hanya mau menang sendiri itu”
“kamu yang sabar ya fis, menghadapi perempuan itu memang butuh
kesabaran ekstra”
“iya vin, thanks ya, kita jalan-jalan yuk, aku bete banget nih”
“Boleh, aku ganti baju dulu ya”
Kami pun pergi jalan-jalan mengitari jalanan kota
dengan speda motorku, terasa begitu nyaman didekat wanita ini fikirku dalam
hati, namun aku juga teringat akan ilmi, aku teringat masa-masa indah saat kami
baru pacaran dulu, tidak ada pertengkaran, semuanya berjalan indah.
Sembari
berbincang-bincang, dari arah berlawanan aku melihat Ilmi yang juga sedang bersepeda
motor membonceng adik sepupunya, dan kami pun berpapasan.
Aku benar-benar terkejut, aku bisa meilhat
bagaimana ekspresi ilmi saat berpapasan denganku tadi, penuh luka kecewa
tersirat diwajahnya. Ia pasti benar-benar marah bahkan membenciku.
“Masya Allah Fis, itu ilmi kan”?
“iya Vin” jawabku singkat tanpa bisa berkata-kata
lagi.
“tunggu apa lagi, cepat kejar dia, dia bisa salah
faham dengan kita” jelas vina.
Aku langsung memutar speda motorku dan mengejarnya,
terlihat ilmi juga memacu motornya dengan begitu kencang, namun aku berhasil
memotongnya. Dia pun menghentikan motornya.
“Mi, maafin aku, ini gak seperti yang kamu
fikirkan” jelasku padanya.
“Tutup mulutmu, aku gak butuh segala omong
kosongmu” bentaknya, terlihat ia begitu marah dan membenciku.
“ternyata ini alasan dari semua janji-janji yang
kamu batalin ke aku selama ini?, aku benci sama kamu fis”. Ilmi menyalakan lagi
sepeda motornya, iya gas dengan sekencang-kencangnya.
Aku mencoba mengejarnya, namun na’asnya, dari arah kanan ada mobil yang juga melaju dengan knecangnya, dan tabrakan itu
tidak dapat dihindari. Aku menyaksikan sendiri ilmi bersimbahan darah
tergeletak tak berdaya.
Hatiku hancur, warga ramai mengerumuni lokasi kejadian,
dan akhirnya aku melihat tubuhnya diangkut dengan ambulance.
“Fis, ayo kita susul ilmi kerumah sakit” ajak vina
dari belakang.
Aku seakan mematung, rasanya begitu shock, tidak
tahu harus berbuat apa, hingga akhirnya kami pun tiba dirumah sakit tempat ilmi
dirawat.
Aku melihat keluarganya berkumpul didepan ruang
UGD, dan dari kakaknya ku ketahui ilmi kritis karena kehabisan banyak darah. Aku
sontak membenci diiriku sendiri, ini semua terjadi karena salahku. Seharusnya
aku tidak lari dari masalah dan seharusnya aku kerumah ilmi dan membujuknya,
pasti hatinya senang.
Jika memang dia tidak dewasa, mengapa aku juga
tidak bisa mencotohkan sikap kedewasaan dengannya, seharusnya aku mengalah,
seharusnya aku yang ajari dia untuk tidak selalu memaksakan kehendak ke orang
lain. Dan seharusnya........ya...semua sudah terlambat, hanya bisa ku sesali.
Andai malam ini aku bisa sedikit mengalah untuknya,
pasti ini tidak akan terjadi. Segala penyesalan itu menari-nari dibenakku. Aku
tidak mungkin bisa memaafkan diriku sendiri jika hal yang lebih buruk lagi
terjadi dengannya. Aku memukul-mukul kepalaku merasa diriku begitu bodohnya.
Vina mencoba menenangkanku, “udahlah fis, udah
takdirnya harus begini, jangan menyalahkan dirimu”.
Tapi tidak semudah itu bagiku menerima kenyataan
yang ada, aku lebih memilih dia memarahiku sesuka hatinya daripada melihatnya
terbaring tak berdaya seperti sekarang. Dibalik kekesalanku selama ini terhadap
sikap ilmi, tersadar aku memiliki cinta yang juga begitu besar untuknya, itu
juga yang baru kusadari menjadi alasan mengapa selama ini aku tidak mampu
meninggalkannya.
Selang beberapa saat kemudian dokter memberi tahu
bahwa ilmi telah selamat dari masa-masa kritisnya, dia dapat tertolong karena
cepat mendapatkan transfusi darah. Aku benar-benar bahagia. Aku tidak tahu
betapa bencinya aku akan diriku sendiri jika ilmi tidak terselamatkan.
Sudah lima hari ilmi terbaring dirumah sakit dan belum juga sadarkan
diri. Setiap hari pula aku datang menjenguknya, jika diizinkan, akupun rela
menemaninya dalam lelap istirahatnya.
Semakin hari semakin aku sadar aku benar-benar
menyayanginya. Aku menyadari betapapun
pucatnya ia dalam sakitnya, namun ia tetap terlihat cantik dan mempesona. Aku
menginginkan ia secepatnya siuman agar aku bisa meminta maaf atas segala
kesalahanku padanya.
Hari ketujuh saat aku berada disis tempat tidurnya,
dia mulai menggerakan tangan dan membuka matanya. Seluruh keluarga begitu
senang, terlebih aku. Aku melihatnya tersenyum lagi, tapi rasanya aku penuh dosa hingga memutskan untuk pergi,
aku takut ilmi malah jadi down lagi melihatku. Namun saat aku melangkah pergi,
aku tak menyangka dia memanggilku.
“Fis, mau kemana, kok pergi”?
“Udah satu minggu kamu nemenin aku disini, nangis
penuh penyesalan disampingku, masak saat aku siuman kamu malah pergi, jahat”
tuturnya dengan suara yang terdengar begitu lemah.
Aku berbalik dan memeluknya, aku sangat
merindukannya.
“Tapi kamu kok tau aku disini selama ini nemenin
kamu”? tanyaku heran.
“Yang lumpuh kan tubuhku, tapi batinku masih sadar”
jawabnya asal. Aku pencet hidungnya, dan dia menjerit manja.
“Aku minta maaf mi, aku salah sebagai pacar gak
bisa memahami karaktermu, aku terlalu menuntutmu sesempurna yang ku harapkan.
“Aku rindu dimarahi olehmu, rindu melihatmu
merajuk, rindu dengan sifat keras kepalamu yang gak pernah mau ngalah kalo
ngomong”. Jelasku sambil kembali memeluknya. Ilmi tertawa, dia mencubitku.
“Kok malah ngomongin kekuranganku terus sih, ini
pernyataan bersalah atau malah menghakimi”? tanyanya yang membuatku juga
tertawa.
“Aku juga banyak salah Fis, egoku begitu tinggi,
keras kepala, pasti kamu sering kesal gara-gara aku. Masalah kecelakaan ini
bukan salah kamu fis, aku aja yang memang ceroboh, untung Allah masih baik
izinin aku buat ketemu kamu lagi dan minta maaf, kalo enggak, gak kebayang aku
bakal gentayangan cemburu setengah mati liat kamu jadi milik orang, hehehe”. Kami
kembali tertawa.
Begitulah ilmiku, dibalik segala kekurangannya, dia
punya hati yang mulia yang takkan pernah kubiarkan tersakiti lagi oleh
kebodohanku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar