Jumat, 08 Maret 2013

Bab 3 "Pelangi setelah hujan"


Rapuh

Ilmi tiba didepan klinik yang diduga tetangganya menjadi tempat dimana ayahnya dirawat. Ternyata benar, beberapa langkah memasuki klinik Ilmi mendapati adiknya Hafis sedang duduk didepan ruang ICU.
“Ibu dan Bapak mana Fis”? tanya Ilmi pada adiknya.
“Didalam kak” Jawab hafis.
Ilmi melangkah memasuki ruangan tersebut dan melihat Bapaknya terbaring tidak sadarkan diri dengan selang oksigen yang terhubung dengan mulutnya dan jarum infus yang terpasang di lengannya.
“Bapak kenapa bu, kenapa bisa begini?” tanya ilmi pada ibunya dalam isak tangisnya memeluk bapaknya. Ibunya yang duduk disisi Bapaknya mencoba menenangkan Ilmi yang terlihat begitu shock melihat keaadaan tersebut.
“Tiba-tiba tadi saat bekerja bapakmu mengatakan dadanya sesak, dan beberapa saat kemudian bapak pingsan hingga sekarang belum juga sadarkan diri.” Jelas Ibunya sambil meneteskan air mata.
“Dokter bilang apa bu?” tanya ilmi terbata-bata.
“Dokter bilang struk bapak kambuh lagi dan mulai komplikasi ke paru-paru, mungkin itu yang membuat dada Bapak terasa sesak sebelum tadi pingsan”. Ilmi memeluk Ibunya setelah mendengar penjelasan tersebut.
“Bagaimana dengan biaya pengobatan bapak bu?” tanya ilmi kemudian, mengetahui situasi ekonomi keluarga yang begitu lemah.
“Entahlah nak, Ibu tidak tahu lagi harus berbuat apa, untuk sementara Ibu terpaksa harus berhutang lagi dengan pamanmu.” Jawab Ibu yang begitu membuat Ilmi dibalut rasa sedih yang mendalam.
Hutang yang lama saja belum juga dapat terlunasi, sekarang ditambah lagi penyakit bapak kambuh, Ilmi mengerti betapa rasa malu itu harus disingkirkan oleh Ibu untuk dapat meminjam lagi uang dengan pamannya.
Bapak Ilmi hanya memiliki seorang adik laki-laki yang terbilang ekonominya diatas rata-rata. Saat dulu bapaknya sakit, keluarga Ilmi sudah begitu banyak meminjam uang dari Pamannya untuk biaya pengobatan. Semenjak itu hubungan keluarga tidak lagi terjalin harmonis. Dengan situasi keuangan yang morat-marit, keluarga Ilmi hanya bisa memohon bantuan dengan sang paman yang membuat mereka merasa disusahkan. Mereka menganggap keluarga Ilmi hanya benalu yang terus-menerus menggantungkan hidup dengan mereka.
“Ini bu ada sedikit uang yang mungkin bisa digunakan untuk pengobatan bapak” sambil menyerahkan amplop berisikan beberapa ratus ribu uang yang diperolehnya tadi disekolah.
“Uang apa ini Mi, darimana kamu mendapatkannya”? tanya Ibunya heran. Ilmi kemudian menjelaskan darimana uang itu ia peroleh. Ibunya begitu bangga memeiliki putri seperti dia. Ilmi benar-benar anak yang baik dan sangat mengerti akan kondisi orang tuanya.
Ilmi kemudian pulang kerumah dengan adiknya. Sementara Ibunya tetap tinggal di klinik untuk menjaga ayahnya. Banyak hal yang memenuhi benaknya. Bagaimana dengan biaya pengobatan Bapaknya selanjutnya. Jika Bapaknya sakit dan Ibunya juga tidak bekerja, penghasilan keluarganya akan benar-benar terhenti. Jika tidak ada pemasukan, bagaimana mereka sekeluarga akan hidup. Fikiran-fikiran tersebut terus menari-nari dibenaknya.
Ilmi dan adiknya tiba dirumah, hari mulai senja. Setelah selesai sholat magrib, Ilmi menyediakan makan malam seadanya untuk dimakan bersama adik sulungnya tersebut. Jangankan untuk bisa memakan makanan yang ia inginkan, bisa mengisi perut yang kosong dan kelaparan saja sudah sangat ia syukuri. Hingga sesaat kemudian ada yang mengetuk pintu rumah mereka, Ilmi segera membukakan pintu mengira Ibunya menyusul dan Bapaknya telah sembuh. Ternyata dugaannya salah. Yang datang adalah Buk Erni yang tidak lain adalah istri pamannya.
“Mana Ibumu?” tanya Buk Erni dengan wajah yang terlihat tidak ramah.
“Ibu di klinik buk menjaga bapak, bapak sakit lagi dan sampai sekarang belum siuman” jelas Ilmi mengiba.
“Saya tidak tanya keadaan bapakmu, saya cuma tidak suka dengan ibumu yang terus-terusan meminjam uang dengan keluarga kami.”
“Maaf buk, kami selalu merepotkan keluarga Ibuk dan Paman, tapi kami tidak tau harus minta tolong dengan siapa lagi, hanya Paman dan Ibuklah keluarga yang kami punya” jawab Ilmi sambil menangis dan memeluk adiknya.
“Saya tidak mau tau, pokoknya jangan pernah menyusahkan kami lagi, kamu kira pamanmu itu konglomerat yang uangnya tidak akan ada habisnya kalau dipinjam!! Bentak buk Erni yang terlihat semakin emosi.
“Nanti Ilmi yang akan menggantikan bapak dan ibu bekerja setelah pulang sekolah, Ilmi akan usahakan setiap harinya mencicil hutang-hutang kami. Jelas ilmi penuh belas kasihan.
“Terserah bagaimana caranya, yang penting lunasi hutang kalian”. Buk erni kemudian pergi setelah menyelesaikan kalimat terakhirnya.
Ilmi hanya bisa terdiam dalam tangisnya sambil memeluk adiknya. Seakan mengerti yang dirasakan kakaknya, Hafis pun ikut menangis. Ilmi merasa Allah memberikan cobaan  yang begitu besar diluar kemampuannya, namun ia juga tidak tahu harus berbuat apa, lari dari masalah juga bukanlah penyelesaiannya. Tiada lagi pernah ia berani untuk memimpikan cita-citanya, bisa membantu meringankan beban orang tuanya saja sudah sangat ia syukuri

4 komentar: