Rapuh
Ilmi
tiba didepan klinik yang diduga tetangganya menjadi tempat dimana ayahnya
dirawat. Ternyata benar, beberapa langkah memasuki klinik Ilmi mendapati
adiknya Hafis sedang duduk didepan ruang ICU.
“Ibu
dan Bapak mana Fis”? tanya Ilmi pada adiknya.
“Didalam
kak” Jawab hafis.
Ilmi
melangkah memasuki ruangan tersebut dan melihat Bapaknya terbaring tidak
sadarkan diri dengan selang oksigen yang terhubung dengan mulutnya dan jarum
infus yang terpasang di lengannya.
“Bapak
kenapa bu, kenapa bisa begini?” tanya ilmi pada ibunya dalam isak tangisnya
memeluk bapaknya. Ibunya yang duduk disisi Bapaknya mencoba menenangkan Ilmi
yang terlihat begitu shock melihat keaadaan tersebut.
“Tiba-tiba
tadi saat bekerja bapakmu mengatakan dadanya sesak, dan beberapa saat kemudian
bapak pingsan hingga sekarang belum juga sadarkan diri.” Jelas Ibunya sambil
meneteskan air mata.
“Dokter
bilang apa bu?” tanya ilmi terbata-bata.
“Dokter
bilang struk bapak kambuh lagi dan mulai komplikasi ke paru-paru, mungkin itu
yang membuat dada Bapak terasa sesak sebelum tadi pingsan”. Ilmi memeluk Ibunya
setelah mendengar penjelasan tersebut.
“Bagaimana
dengan biaya pengobatan bapak bu?” tanya ilmi kemudian, mengetahui situasi
ekonomi keluarga yang begitu lemah.
“Entahlah
nak, Ibu tidak tahu lagi harus berbuat apa, untuk sementara Ibu terpaksa harus
berhutang lagi dengan pamanmu.” Jawab Ibu yang begitu membuat Ilmi dibalut rasa
sedih yang mendalam.
Hutang
yang lama saja belum juga dapat terlunasi, sekarang ditambah lagi penyakit
bapak kambuh, Ilmi mengerti betapa rasa malu itu harus disingkirkan oleh Ibu
untuk dapat meminjam lagi uang dengan pamannya.
Bapak
Ilmi hanya memiliki seorang adik laki-laki yang terbilang ekonominya diatas
rata-rata. Saat dulu bapaknya sakit, keluarga Ilmi sudah begitu banyak meminjam
uang dari Pamannya untuk biaya pengobatan. Semenjak itu hubungan keluarga tidak
lagi terjalin harmonis. Dengan situasi keuangan yang morat-marit, keluarga Ilmi
hanya bisa memohon bantuan dengan sang paman yang membuat mereka merasa
disusahkan. Mereka menganggap keluarga Ilmi hanya benalu yang terus-menerus
menggantungkan hidup dengan mereka.
“Ini
bu ada sedikit uang yang mungkin bisa digunakan untuk pengobatan bapak” sambil
menyerahkan amplop berisikan beberapa ratus ribu uang yang diperolehnya tadi disekolah.
“Uang
apa ini Mi, darimana kamu mendapatkannya”? tanya Ibunya heran. Ilmi kemudian
menjelaskan darimana uang itu ia peroleh. Ibunya begitu bangga memeiliki putri
seperti dia. Ilmi benar-benar anak yang baik dan sangat mengerti akan kondisi
orang tuanya.
Ilmi
kemudian pulang kerumah dengan adiknya. Sementara Ibunya tetap tinggal di
klinik untuk menjaga ayahnya. Banyak hal yang memenuhi benaknya. Bagaimana
dengan biaya pengobatan Bapaknya selanjutnya. Jika Bapaknya sakit dan Ibunya
juga tidak bekerja, penghasilan keluarganya akan benar-benar terhenti. Jika
tidak ada pemasukan, bagaimana mereka sekeluarga akan hidup. Fikiran-fikiran
tersebut terus menari-nari dibenaknya.
Ilmi
dan adiknya tiba dirumah, hari mulai senja. Setelah selesai sholat magrib, Ilmi
menyediakan makan malam seadanya untuk dimakan bersama adik sulungnya tersebut.
Jangankan untuk bisa memakan makanan yang ia inginkan, bisa mengisi perut yang
kosong dan kelaparan saja sudah sangat ia syukuri. Hingga sesaat kemudian ada
yang mengetuk pintu rumah mereka, Ilmi segera membukakan pintu mengira Ibunya
menyusul dan Bapaknya telah sembuh. Ternyata dugaannya salah. Yang datang
adalah Buk Erni yang tidak lain adalah istri pamannya.
“Mana
Ibumu?” tanya Buk Erni dengan wajah yang terlihat tidak ramah.
“Ibu
di klinik buk menjaga bapak, bapak sakit lagi dan sampai sekarang belum siuman”
jelas Ilmi mengiba.
“Saya
tidak tanya keadaan bapakmu, saya cuma tidak suka dengan ibumu yang
terus-terusan meminjam uang dengan keluarga kami.”
“Maaf
buk, kami selalu merepotkan keluarga Ibuk dan Paman, tapi kami tidak tau harus
minta tolong dengan siapa lagi, hanya Paman dan Ibuklah keluarga yang kami
punya” jawab Ilmi sambil menangis dan memeluk adiknya.
“Saya
tidak mau tau, pokoknya jangan pernah menyusahkan kami lagi, kamu kira pamanmu
itu konglomerat yang uangnya tidak akan ada habisnya kalau dipinjam!! Bentak
buk Erni yang terlihat semakin emosi.
“Nanti
Ilmi yang akan menggantikan bapak dan ibu bekerja setelah pulang sekolah, Ilmi
akan usahakan setiap harinya mencicil hutang-hutang kami”. Jelas ilmi penuh
belas kasihan.
“Terserah
bagaimana caranya, yang penting lunasi hutang kalian”. Buk erni kemudian pergi setelah
menyelesaikan kalimat terakhirnya.
Ilmi hanya bisa terdiam
dalam tangisnya sambil memeluk adiknya. Seakan mengerti yang dirasakan
kakaknya, Hafis pun ikut menangis. Ilmi merasa Allah memberikan cobaan yang begitu besar diluar kemampuannya, namun
ia juga tidak tahu harus berbuat apa, lari dari masalah juga bukanlah
penyelesaiannya. Tiada lagi pernah ia berani untuk memimpikan cita-citanya,
bisa membantu meringankan beban orang tuanya saja sudah sangat ia syukuri
ok juga
BalasHapus^_^
BalasHapusthanks..
mantap bebbb
BalasHapusI like it
:)
BalasHapusmakaci y best