Ujian
Azan subuh membangunkan ilmi dari tidurnya. Ilmi membangunkan
adiknya agar melaksanakan sholat subuh. Tak ada sisa makanan yang bisa diolah
untuk dijadikan sarapan pagi itu. Hanya dua cangkir teh manis yang dapat
dihidangkan untuk menghangatkan perut meskipun tak mampu menghapus lapar. Ilmi
mencoba mendatangi kedai buk Ijah disebelah rumahnya.
Sang surya belum menampakkan diri seutuhnya. Bukan
waktu yang tepat sebenarnya untuk mendatangi kedai sembako yang masih tutup.
Namun hal itu harus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan sarapan pagi itu. Bukan
untuknya melainkan untuk sang adik bungsu. Tidak ada uang yang ia bawa untuk
membeli, hanya mengharapkan sang pemilik kedai mau memberinya sebungkus mi
instant untuk dihutangi sementara sore hari.
Kedai buk Ijah masih tutup, begitu juga dengan pintu
rumahnya, namun Ilmi tetap mencoba memanggil penghuni rumah. Ilmi mulai
mengetuk pintu rumah dan mengucapkan salam. Terdengar sahutan dari buk Ijah
dari dalam rumah.
“Kenapa nak?” Tanya buk Ijah sambil membukakan pintu.
“Saya ingin membeli sebungkus indomie buk, tapi
uangnya saya bayar nanti sore” jawab ilmi sambil sedikit menundukkan wajah
karena malu harus berhutang.
“Oh yasudah tidak apa-apa, ini indomienya, kamu bawa
saja dulu” jawab buk ijah sambil menyodorkan sebungkus mie instant kepada ilmi.
“Terima kasih banyak buk, saya pamit dulu ya buk” ucap
Ilmi tergesah pulang kerumah.
Sesampai dirumah ilmi langsung menyeduhnya dengan air
panas. Setelah menyatu dengan bumbu-bumbu lainnya, ilmi pun memakan mie tersebut
sebanyak dua sendok, dan selebihnya ia berikan kepada sang adik.
“Kamu baik-baik ya sendiri dirumah, jangan pergi
kemana-mana, dirumah saja” jelas Ilmi pada adiknya karena dia harus berangkat
ke sekolah.
“Iya kak, tapi kenapa ibu belum pulang juga kak”?
Tanya polos sang adik yang ternyata merindukan Ibunya.
“Ibu masih menjaga bapak fis, kamu doakan bapak cepat
sembuh ya, supaya nanti siang Ibu dan Bapak bisa pulang.” Jawab ilmi.
Ilmi pun berangkat ke sekolah dan tiba saat gerbang telah
dikunci. Ini pertama kali ia terlambat, dan pertama kalinya pula harus
menjalani hukuman berjemur bersama murid-murid yang lain sampai jam istirahat
pertama.
Tidak ada satupun pelajaran sekolah yang bisa ia
mengerti hari itu. Semua perhatiannya terfokus pada sang Bapak yang masih
terbaring di klinik.
Apakah kondisi bapaknya makin membaik, bagaimana
dengan biaya pengobatan selanjutnya, dan apakah ia mampu menggantikan orang
tuanya bekerja setelah pulang sekolah? Pertanyaan-pertanyaan itu terus
bergelayut difikirannya hingga bel pulang berbunyi.
Tidak menunggu lama, Ilmi langsung bergegas keluar
dari sekolah. Namun tidak untuk pulang kerumah, melainkan ke tempat Bapak dan
Ibunya selama ini biasa bekerja. Tempat tersebut lebih dekat dari sekolahnya
daripada rumah. Tempat pengolahan kepiting yang diambil dagingnya untuk
diekspor keluar negri.
Ilmi tiba didepan tempat tersebut, dan mendatangi
petugas untuk melaporkan diri menggantikan Bapak dan Ibunya sementara Bapaknya
masih sakit. Petugas pun menerimanya, karena untuk bekerja ditempat itu
tidaklah membutuhkan syarat yang sulit untuk dipenuhi.
Setelah mengganti seragamnya dengan seragam kerja,
ilmi pun mengambil peralatan yang harus digunakan untuk mengambil daging
kepiting dari cangkangnya. Beberapa pisau tajam dan sebuah ember berisi
kepiting yang masih panas karena baru siap direbus pun tersedia didepannya.
Ilmi baru menyadari ternyata upaya kedua orang tuanya
untuk mencari rupiah selama ini tidaklah mudah. Beradu dengan pisau tajam,
panasnya kepiting dan duri-duri tajam bukanlah hal yang mudah. Beberapa kali
sudah jarinya telah tertusuk dan hampir saja tangan gadis belia itu tersayat
pisau. Selain itu, daging yang dikeluarkan dari cangkangnya tidak boleh sampai
hancur. Daging-daging tersebut hanya dihargai sepuluh ribu rupiah perkilonya
bagi para pengupas. Dengan pengalaman yang masih minim, ilmi hanya mampu
mengumpulkan beberapa ons saja.
Air mata mulai mengaliri pelupuk matanya saat untuk
kesekian kalinya jarinya tertusuk duri-duri kepiting. Bukan menangis karena
sakit, namun sedih karena menyadari ujian yang harus ia jalani kian hari
semakin sulit.
Mulai saat itu, setiap harinya Ilmi beradu dengan
aktivitas barunya karena Bapaknya tidak juga menunjukkan tanda-tanda akan
membaik. Hutang yang harus dilunasi dan demi beberapa suap nasi menuntutnya
untuk terus menjalaninya. Tidak ada lagi pelajaran sekolah yang bisa dicerna
oleh otaknya. Banyak PR yang tidak sempat ia kerjakan, dan tidak jarang pula ia
membolos sekolah karena lebih memilih bekerja. Tidak ada hari-hari yang indah
baginya. Ujian dan terus menjalani ujian hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar