Kamis, 28 Maret 2013

Bab 4 "Pelangi setelah hujan"




Ujian

Azan subuh membangunkan ilmi dari tidurnya. Ilmi membangunkan adiknya agar melaksanakan sholat subuh. Tak ada sisa makanan yang bisa diolah untuk dijadikan sarapan pagi itu. Hanya dua cangkir teh manis yang dapat dihidangkan untuk menghangatkan perut meskipun tak mampu menghapus lapar. Ilmi mencoba mendatangi kedai buk Ijah disebelah rumahnya.
Sang surya belum menampakkan diri seutuhnya. Bukan waktu yang tepat sebenarnya untuk mendatangi kedai sembako yang masih tutup. Namun hal itu harus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan sarapan pagi itu. Bukan untuknya melainkan untuk sang adik bungsu. Tidak ada uang yang ia bawa untuk membeli, hanya mengharapkan sang pemilik kedai mau memberinya sebungkus mi instant untuk dihutangi sementara sore hari.
Kedai buk Ijah masih tutup, begitu juga dengan pintu rumahnya, namun Ilmi tetap mencoba memanggil penghuni rumah. Ilmi mulai mengetuk pintu rumah dan mengucapkan salam. Terdengar sahutan dari buk Ijah dari dalam rumah.
“Kenapa nak?” Tanya buk Ijah sambil membukakan pintu.
“Saya ingin membeli sebungkus indomie buk, tapi uangnya saya bayar nanti sore” jawab ilmi sambil sedikit menundukkan wajah karena malu harus berhutang.
“Oh yasudah tidak apa-apa, ini indomienya, kamu bawa saja dulu” jawab buk ijah sambil menyodorkan sebungkus mie instant kepada ilmi.
“Terima kasih banyak buk, saya pamit dulu ya buk” ucap Ilmi tergesah pulang kerumah.
Sesampai dirumah ilmi langsung menyeduhnya dengan air panas. Setelah menyatu dengan bumbu-bumbu lainnya, ilmi pun memakan mie tersebut sebanyak dua sendok, dan selebihnya ia berikan kepada sang adik.
“Kamu baik-baik ya sendiri dirumah, jangan pergi kemana-mana, dirumah saja” jelas Ilmi pada adiknya karena dia harus berangkat ke sekolah.
“Iya kak, tapi kenapa ibu belum pulang juga kak”? Tanya polos sang adik yang ternyata merindukan Ibunya.
“Ibu masih menjaga bapak fis, kamu doakan bapak cepat sembuh ya, supaya nanti siang Ibu dan Bapak bisa pulang.” Jawab ilmi.
Ilmi pun berangkat ke sekolah dan tiba saat gerbang telah dikunci. Ini pertama kali ia terlambat, dan pertama kalinya pula harus menjalani hukuman berjemur bersama murid-murid yang lain sampai jam istirahat pertama.
Tidak ada satupun pelajaran sekolah yang bisa ia mengerti hari itu. Semua perhatiannya terfokus pada sang Bapak yang masih terbaring di klinik.
Apakah kondisi bapaknya makin membaik, bagaimana dengan biaya pengobatan selanjutnya, dan apakah ia mampu menggantikan orang tuanya bekerja setelah pulang sekolah? Pertanyaan-pertanyaan itu terus bergelayut difikirannya hingga bel pulang berbunyi.
Tidak menunggu lama, Ilmi langsung bergegas keluar dari sekolah. Namun tidak untuk pulang kerumah, melainkan ke tempat Bapak dan Ibunya selama ini biasa bekerja. Tempat tersebut lebih dekat dari sekolahnya daripada rumah. Tempat pengolahan kepiting yang diambil dagingnya untuk diekspor keluar negri.
Ilmi tiba didepan tempat tersebut, dan mendatangi petugas untuk melaporkan diri menggantikan Bapak dan Ibunya sementara Bapaknya masih sakit. Petugas pun menerimanya, karena untuk bekerja ditempat itu tidaklah membutuhkan syarat yang sulit untuk dipenuhi.
Setelah mengganti seragamnya dengan seragam kerja, ilmi pun mengambil peralatan yang harus digunakan untuk mengambil daging kepiting dari cangkangnya. Beberapa pisau tajam dan sebuah ember berisi kepiting yang masih panas karena baru siap direbus pun tersedia didepannya.
Ilmi baru menyadari ternyata upaya kedua orang tuanya untuk mencari rupiah selama ini tidaklah mudah. Beradu dengan pisau tajam, panasnya kepiting dan duri-duri tajam bukanlah hal yang mudah. Beberapa kali sudah jarinya telah tertusuk dan hampir saja tangan gadis belia itu tersayat pisau. Selain itu, daging yang dikeluarkan dari cangkangnya tidak boleh sampai hancur. Daging-daging tersebut hanya dihargai sepuluh ribu rupiah perkilonya bagi para pengupas. Dengan pengalaman yang masih minim, ilmi hanya mampu mengumpulkan beberapa ons saja.
Air mata mulai mengaliri pelupuk matanya saat untuk kesekian kalinya jarinya tertusuk duri-duri kepiting. Bukan menangis karena sakit, namun sedih karena menyadari ujian yang harus ia jalani kian hari semakin sulit.
Mulai saat itu, setiap harinya Ilmi beradu dengan aktivitas barunya karena Bapaknya tidak juga menunjukkan tanda-tanda akan membaik. Hutang yang harus dilunasi dan demi beberapa suap nasi menuntutnya untuk terus menjalaninya. Tidak ada lagi pelajaran sekolah yang bisa dicerna oleh otaknya. Banyak PR yang tidak sempat ia kerjakan, dan tidak jarang pula ia membolos sekolah karena lebih memilih bekerja. Tidak ada hari-hari yang indah baginya. Ujian dan terus menjalani ujian hidup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar