Kamis, 28 Maret 2013

Bab 5 "Pelangi setelah hujan"



Pergi


Jemari yang dulunya mulus itu kini penuh goresan. Tanda bukti betapa sulitnya pekerjaan itu dilakoni. Tapi kini hasil yang diperoleh tidak semiris saat pertama kali Ilmi bekerja. Setidaknya dia tidak harus menghutangi mie instant di pagi hari di kedai buk ijah.
Namun sayangnya sang Bapak kondisinya semakin menurun, pihak klinik menyarankan agar Bapak dipindahkan ke rumah sakit yang fasilitasnya lebih memadai. Tapi karena keterbatasan biaya, bahkan bisa dibilang sangat minim mengakibatkan pegobatan hanya bisa dilakukan di klinik kecil itu.
Empat hari sudah Bapak terbaring. Ilmi rindu dengan senyuman Bapaknya serta nasehat-nasehat yang selalu beliau berikan bahwa Allah tidak pernah menguji umatnya diluar batas kemampuannya. Tubuh paruh baya itu terlihat pasrah dengan segala aksesoris medis yang menempel di tubuhnya.
Siang itu langit terlihat mendung, ilmi memutuskan untuk tidak bekerja, entah mengapa hatinya begitu ingin melihat keadaan sang Bapak. Ditambah lagi hasil kerja semalam yang ia peroleh terbilang cukup besar, sehingga cukup untuk dpakai membiayai keperluan dua hari.
“Kamu mau ketempat kerja Mi?” Tanya Putri menghampirinya saat keluar dari kelas.
“Tidak Put, aku mau ke klinik menjenguk Bapak”
“Bagaimana kondisinya Mi?, sudah makin membaik kan?”
“Hmm..tidak Put, malah kondisinya semakin menurun, pihak klinik udah menyarankan untuk dirawat lanjut ke rumah sakit, tapi kami tidak punya biaya Put” Jelas Ilmi dengan nada sedih sambil menundukkan kepala.
“Ada yang bisa aku bantu Mi?, biar aku coba biacara sama Ayahku, mana tau beliau bisa membantu menangani biaya pengobatan Bapakmu”
“Tidak usah Put, terima kasih, aku tidak mau merepotkanmu lagi, lagi pula hutang keluargaku udah terlalu banyak, aku takut kami tidak mampu melunasinya nanti, aku mohon bantu do’a ya supaya Bapak lekas sembuh”.
“Iya itu tentu, aku pasti doakan itu” sahut Putri memberi semangat kepada Ilmi.
Putri selalu merasa kagum terhadap sahabatnya itu, begitu banyak cobaan yang dia hadapi dalam hidup ini namun tetap saja terlihat tegar, selalu terlihat kuat meski ia tahu hatinya penuh air mata. Putri hanya berfikir jika dia yang berada di posisi Ilmi, apa dia bisa menjalani segalanya setegar itu.
Ilmi tiba didepan klinik, ia langsung menuju kamar tempat Bapaknya dirawat. Namun tidak terlihat Ibu dan Bapaknya diruangan tersebut. Ilmi sempat berfikir mungkin Bapaknya telah sembuh. Namun ia mencoba menanyakan kebenarannya kepada perawat yang sedang memeriksa pasien disebelah tempat biasanya Bapaknya dirawat.
“Oia Sus, saya mau Tanya, Bapak saya yang kemarin dirawat di sebelah sini kemana ya?
“Owh..kamu anaknya? Kenapa tidak tahu?
“Ia Sus, saya tadi sekolah, makanya tidak tahu”
Keterbatasan keuangan mengakibatkan keluarga Ilmi tidak memiliki alat komunikasi seperti handphone dan lainnya, sehingga Ibunya tidak bisa segera memberi tahu apa pun yang terjadi kecuali setelah bertemu langsung.
“Tadi sekitar jam sepuluh pagi pasien tersebut segera harus dibawa ke rumah sakit umum untuk mendapat penanganan yang lebih intensive karena kondisinya semakin memburuk”
“Owh..Te..te..terima kasih suusss” jawab ilmi yang kemudian hambruk ke lantai.
Ternyata dugaannya salah, bukannya sudah pulih malah semakin memburuk.
Ilmi pulang kerumahnya, Dirumah terlihat pamannya sedang menggendong adiknya Hafis. Ilmi tak kuasa menahan tangisnya.
“Bapak ilmi kenapa paman?” sambil memeluk pamannya.
“Sabar ya nak, jangan menangis, semoga Allah memberikan yang terbaik untuk Bapak Ilmi, kita berdo’a saja”.
Namun seberapapun usaha pamannya untuk menenangkannya ilmi tetap meraung.
“Kenapa paman atau Ibu tidak memberitahu Ilmi tadi, Ilmi kan mau temenin bapak” protesnya kepada sang paman.
“Maaf sayang, Ibumu berpesan pada paman untuk tinggal disini menjaga kamu dan adikmu, Ibumu tidak ingin mengganggu belajarmu”.
Ilmi terduduk lemas di lantai, tidak mampu lagi dia berucap sepatah kata pun. Ia hanya berharap tidak ada hal buruk lagi  yang akan ia dengarkan setelah ini.
Sudah beberapa jam Ilmi duduk terpaku di teras rumahnya menantikan kepulangan kedua orang tuanya. Setidaknya dapat mengetahui bagaimana keadaan Bapaknya sekarang sudah cukup dapat menenangkan hatinya.
Hari pun senja, setelah melaksanakan sholat magrib, pamannya membelikan mereka makan malam. Terlihat adiknya Hafis begitu lahap memakan makanan yang terbilang mewah dikala itu, padahal dulunya sering dihidangkan oleh Ibunya.
Menjelang Azan Isya Berkumandang, terdengar sirine ambulance dari kejauhan, dan suara itu semakin terdengar mendekat. Ilmi merasakan sesuatu hal yang buruk akan terjadi hingga akhirnya ambulance tersebut benar-benar berhenti didepan rumahnya.
Ilmi tak mampu berdiri untuk melihat. Hanya pamannya yang beranjak keluar untuk mencari tahu apa gerangan yang terjadi. Hingga akhirnya terdengar suara riuh orang diluar rumah. Beberapa orang tetangga terdengar beramai-ramai berbondong menghampiri rumahnya. Namun Ilmi tetap terduduk kaku didekat dapur tempat tadi mereka makan.
Mulai terdengar suara ibunya yang berlari kedapur mencari dirinya sambil tersedu-sedu dalam tangisnya. Tanpa alasan yang belum bisa ia pastikan, air mata pun turut membasahi pipi gadis 17 tahun itu. Hingga sang Ibu menghampirinya dan memeluknya.
“Bapak sudah pergi Mi”
Tangis pun pecah. Terlihat beberapa orang tetangga dan pamannya menggendong tubuh tak berdaya itu masuk kerumah. Tak mampu menahan diri, Ilmi langsung mendekap jenazah sang Bapak. Sosok hangat seorang Bapak yang selama ini begitu ia banggakan sebagai pemimpin keluarga kini terdiam bisu dengan tubuh dingin dan mulai kaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar