Graduated Day
Hampir sebulan sudah kepergian sang Bapak, dan sebulan
juga menjelang Ujian Nasional yang akan dijalani Ilmi. Ujian penentu untuk
dapat melepas seragam jenjang terakhir itu.
Semenjak bapaknya tiada, Ilmi yang menggantikan
posisinya bekerja setelah pulang sekolah. Bukan hanya karena hutang, namun
biaya menjelang tamat sekolah yang cukup besar menuntutnya untuk terus berupaya
mengumpulkan rupiah demi rupiah.
Sayangnya, usaha sang gadis berparas lembut itu masih
tetap harus bercampur dengan bumbu-bumbu hambatan. Kulit putihnya tidak tahan
dengan kontak langsung terhadap bahan-bahan seafood termasuk kepiting. Perlahan
tangannya mulai merah dan gatal-gatal. Apoteker yang menjaga apotik tempat ilmi
membeli obat untuk alerginya menyarankannya untuk tidak lagi menyentuh zat-zat
yang menyebabkan kulitnya alergi. Namun baginya, jangankan sekedar gatal-gatal,
perihnya sayatan pisau sudah menjadi makanan sehari-hari.
Saat berjalan bersama ibunya sepulang bekerja dan hampir
tiba dirumah, Ilmi melihat seorang gadis sebayanya berdiri diujung jalan dekat
rumahnya. Feelingnya tidak salah, dia memang gadis yang ia kenal dan Ilmi pun
segera menghampirinya.
“Kenapa tadi tidak sekolah Mi?” Tanya lembut seorang
sahabat.
“Aku harus bolos beberapa hari Put supaya bisa
membayar uang ujian kita nannti” Jawab ilmi sambil mempersilahkan sahabatnya
tersebut masuk kerumah.
“Aku tidak bisa lama-lama, hari hampir senja, aku
ingin mengantarkan ini” sahut Putri sambil memberikan buku catatannya dan
beberapa PR yang harus dikumpulkan besok.
“Thanks ya Put, aku tidak tahu bagaimana caranya
membalas kebaikanmu” jawab Ilmi dengan senyum haru penuh rasa terima kasih.
Selama Ilmi bekerja, Ilmi sering bolos sekolah. Semua
dikarenakan jika dia bekerja sepulang sekolah, hasil yang didapat sangat minim.
Sehingga banyak pelajaran-pelajaran yang tidak ia mengerti bahkan tugas-tugas
sekolahpun banyak yang tidak ia kerjakan. Namun Putri lha yang selama ini
berperan dalam menyemangatinya untuk tetap menomorsatukan pendidikan. Tidak
jarang Putri membuatkan tugas untuknya karena mengetahui Ilmi tidak lagi
memiliki waktu untuk melakukan tugas-tugas itu.
Tak jarang Ilmi iri dengan keberuntungan yang
diperoleh sahabatnya tersebut. Selalu hidup berkecukupan, mendapatkan apa yang
dia inginkan, dan masih memiliki kedua orang tua yang utuh. Sementara dia kini
hanya seorang anak anak yatim yang tidak jelas masa depannya. Ia begitu ingin
seperti Putri yang kini mulai memilih universitas mana kelak yang akan
dijadikannya tempat untuk meraih gelar sarjana. Sementara dirinya mulai
mempersiapkan diri untuk benar-benar membuang impiannya melanjutkan ke Sastra
Inggris.
Semua angan-angan itu benar-benar harus ia hapus dari
benaknya sejak seminggu yang lalu Ilmi dipanggil kekantor oleh wali kelasnya.
“Ilmi mau melanjutkan kuliah?” Tanya Pak Mirza yang
menjadi wali kelasnya dikelas tiga saat ini.
“Iya pak saya mau” jawab Ilmi penuh harap semoga ada
jalan untuk menggapai impiannya.
“Begini Mi, Pihak sekolah sudah mendapatkan undangan
jalur PMP dari salah satu universitas negeri di Medan, dan dari data nilai yang
bapak punya, kamu layak mengikuti jalur ini”. Jelas pak Mirza penuh semangat.
“Iya pak, terima kasih bapak sudah memberi saya
kesempatan” jawab ilmi penuh rasa bahagia.
“Kalau kamu memang mau mengikutinya, secepatnya kamu
urus pendaftarannya di biro, dan bayar uang pendaftarannya” Pak Mirza
menambahi.
“Berapa yang harus saya bayar Pak?” Tanya ilmi penuh
harap semoga ia mampu memperolehnya.
“Dua ratus lima puluh ribu” sahut pak Mirza.
“Apakah jika saya sudah lulus biaya kuliah saya gratis
Pak?”
“Tidak, tapi kamu berpeluang besar mendapat beasiswa
jika kamu berprestasi selama kuliah” jelas Pak Mirza yang membuat segala sinar
diwajah gadis berkulit putih tersebut sirna begitu saja.
Dengan penuh rasa kecil hati Ilmi menolak tawaran tersebut.
Dia hanya merasa baru saja mencoba ingin memungkiri nasibnya kini yang tidak
mungkin untuk meraih cita-citanya. Namun jelas sudah fikirnya dalam hati bahwa
impian itu hanya benar-benar mimpi.
Ilmi tidak mungkin mampu membiayai kuliahnya,
disamping ekonomi keluarga yang begitu lumpuh, kerja kerasnya selama sang Bapak
meninggal juga teruntuk sang adik bungsu yang kini harus masuk sekolah. Baginya
kini, mengenyam pendidikan hinga SMA saja sudah sangat harus ia syukuri, dan
kewajiban kini bagi Ilmi untuk bisa membuat sang adik mencicipi Ilmi seperti
dirinya.
Ujian Nasional pun telah dilewati oleh Imi dan
teman-temannya. Hingga dua minggu berikutnya nama mereka secara resmi diumumkan
lulus dari SMA tersebut. Hari perpisahan pun dilalui dengan penuh suka cita.
Sejuta senyum dan air mata bahagia
tumpah di hari itu. Hari dimana mereka mengenang kembali indahnya masa-masa
persahabatan yang terukir dengan beribu emosi jiwa muda.
Begitu juga dengan Ilmi, air mata yang mengalir di
pipinya seirama dengan tangisan hatinya. Ia bahagia dengan kabar bahwa para
teman-temannya akan mendaftarkan diri mereka untuk melanjutkan ke bidang yang
mereka inginkan. Bahkan sebagian dari mereka ada yang sudah resmi lulus melalui
jalur PMP yang juga dulu ditawarkan padanya. Namun hatinya tidak bisa
memungkiri kesedihan setelah sadar mulai hari itu ia hanyalah seorang karyawan
yang mengais rezeki berharap kelak dapat hidup sejahtera.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar