Sabtu, 13 April 2013

BAB 6 "Pelangi setelah hujan"



Graduated Day

Hampir sebulan sudah kepergian sang Bapak, dan sebulan juga menjelang Ujian Nasional yang akan dijalani Ilmi. Ujian penentu untuk dapat melepas seragam jenjang terakhir itu.
Semenjak bapaknya tiada, Ilmi yang menggantikan posisinya bekerja setelah pulang sekolah. Bukan hanya karena hutang, namun biaya menjelang tamat sekolah yang cukup besar menuntutnya untuk terus berupaya mengumpulkan rupiah demi rupiah.
Sayangnya, usaha sang gadis berparas lembut itu masih tetap harus bercampur dengan bumbu-bumbu hambatan. Kulit putihnya tidak tahan dengan kontak langsung terhadap bahan-bahan seafood termasuk kepiting. Perlahan tangannya mulai merah dan gatal-gatal. Apoteker yang menjaga apotik tempat ilmi membeli obat untuk alerginya menyarankannya untuk tidak lagi menyentuh zat-zat yang menyebabkan kulitnya alergi. Namun baginya, jangankan sekedar gatal-gatal, perihnya sayatan pisau sudah menjadi makanan sehari-hari.
Saat berjalan bersama ibunya sepulang bekerja dan hampir tiba dirumah, Ilmi melihat seorang gadis sebayanya berdiri diujung jalan dekat rumahnya. Feelingnya tidak salah, dia memang gadis yang ia kenal dan Ilmi pun segera menghampirinya.
“Kenapa tadi tidak sekolah Mi?” Tanya lembut seorang sahabat.
“Aku harus bolos beberapa hari Put supaya bisa membayar uang ujian kita nannti” Jawab ilmi sambil mempersilahkan sahabatnya tersebut masuk kerumah.
“Aku tidak bisa lama-lama, hari hampir senja, aku ingin mengantarkan ini” sahut Putri sambil memberikan buku catatannya dan beberapa PR yang harus dikumpulkan besok.
“Thanks ya Put, aku tidak tahu bagaimana caranya membalas kebaikanmu” jawab Ilmi dengan senyum haru penuh rasa terima kasih.
Selama Ilmi bekerja, Ilmi sering bolos sekolah. Semua dikarenakan jika dia bekerja sepulang sekolah, hasil yang didapat sangat minim. Sehingga banyak pelajaran-pelajaran yang tidak ia mengerti bahkan tugas-tugas sekolahpun banyak yang tidak ia kerjakan. Namun Putri lha yang selama ini berperan dalam menyemangatinya untuk tetap menomorsatukan pendidikan. Tidak jarang Putri membuatkan tugas untuknya karena mengetahui Ilmi tidak lagi memiliki waktu untuk melakukan tugas-tugas itu.
Tak jarang Ilmi iri dengan keberuntungan yang diperoleh sahabatnya tersebut. Selalu hidup berkecukupan, mendapatkan apa yang dia inginkan, dan masih memiliki kedua orang tua yang utuh. Sementara dia kini hanya seorang anak anak yatim yang tidak jelas masa depannya. Ia begitu ingin seperti Putri yang kini mulai memilih universitas mana kelak yang akan dijadikannya tempat untuk meraih gelar sarjana. Sementara dirinya mulai mempersiapkan diri untuk benar-benar membuang impiannya melanjutkan ke Sastra Inggris.
Semua angan-angan itu benar-benar harus ia hapus dari benaknya sejak seminggu yang lalu Ilmi dipanggil kekantor oleh wali kelasnya.
“Ilmi mau melanjutkan kuliah?” Tanya Pak Mirza yang menjadi wali kelasnya dikelas tiga saat ini.
“Iya pak saya mau” jawab Ilmi penuh harap semoga ada jalan untuk menggapai impiannya.
“Begini Mi, Pihak sekolah sudah mendapatkan undangan jalur PMP dari salah satu universitas negeri di Medan, dan dari data nilai yang bapak punya, kamu layak mengikuti jalur ini”. Jelas pak Mirza penuh semangat.
“Iya pak, terima kasih bapak sudah memberi saya kesempatan” jawab ilmi penuh rasa bahagia.
“Kalau kamu memang mau mengikutinya, secepatnya kamu urus pendaftarannya di biro, dan bayar uang pendaftarannya” Pak Mirza menambahi.
“Berapa yang harus saya bayar Pak?” Tanya ilmi penuh harap semoga ia mampu memperolehnya.
“Dua ratus lima puluh ribu” sahut pak Mirza.
“Apakah jika saya sudah lulus biaya kuliah saya gratis Pak?”
“Tidak, tapi kamu berpeluang besar mendapat beasiswa jika kamu berprestasi selama kuliah” jelas Pak Mirza yang membuat segala sinar diwajah gadis berkulit putih tersebut sirna begitu saja.
Dengan penuh rasa kecil hati Ilmi menolak tawaran tersebut. Dia hanya merasa baru saja mencoba ingin memungkiri nasibnya kini yang tidak mungkin untuk meraih cita-citanya. Namun jelas sudah fikirnya dalam hati bahwa impian itu hanya benar-benar mimpi.
Ilmi tidak mungkin mampu membiayai kuliahnya, disamping ekonomi keluarga yang begitu lumpuh, kerja kerasnya selama sang Bapak meninggal juga teruntuk sang adik bungsu yang kini harus masuk sekolah. Baginya kini, mengenyam pendidikan hinga SMA saja sudah sangat harus ia syukuri, dan kewajiban kini bagi Ilmi untuk bisa membuat sang adik mencicipi Ilmi seperti dirinya.
Ujian Nasional pun telah dilewati oleh Imi dan teman-temannya. Hingga dua minggu berikutnya nama mereka secara resmi diumumkan lulus dari SMA tersebut. Hari perpisahan pun dilalui dengan penuh suka cita. Sejuta senyum  dan air mata bahagia tumpah di hari itu. Hari dimana mereka mengenang kembali indahnya masa-masa persahabatan yang terukir dengan beribu emosi jiwa muda.
Begitu juga dengan Ilmi, air mata yang mengalir di pipinya seirama dengan tangisan hatinya. Ia bahagia dengan kabar bahwa para teman-temannya akan mendaftarkan diri mereka untuk melanjutkan ke bidang yang mereka inginkan. Bahkan sebagian dari mereka ada yang sudah resmi lulus melalui jalur PMP yang juga dulu ditawarkan padanya. Namun hatinya tidak bisa memungkiri kesedihan setelah sadar mulai hari itu ia hanyalah seorang karyawan yang mengais rezeki berharap kelak dapat hidup sejahtera.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar