Pengorbanan
Setelah tamat sekolah, Ilmi mulai bisa fokus bekerja
dan tidak lagi harus membagi waktu dengan sekolah. Satu-persatu teman-temannya
meninggalkan kampung halaman guna melanjutkan kulyah ataupun bekerja didaerah
lain. Sementara itu, Ilmi masih memilih tetap bekerja dikampung saja karena
tidak mungkin baginya meninggalkan sang Ibu berdua dengan adik bungsunya yang
masih begitu kecil.
Kepergian Bapak masih terlihat meninggalkan kesedihan
yang mendalam di hati Ibunya. Ilmi berupaya keras mengembalikan semangat di hati wanita yang paling
dicintainya itu untuk tetap berdiri tegar meski tanpa kehadiran Bapaknya.
Seperti biasanya, menjelang terbenamnya sang surya,
Ilmi dan Ibunya pun hampir tiba dirumah yang selalu ditunggu oleh si bungsu
Hafis. Melihat kakak dan Ibunya, Hafis berlari mengejar meminta digendong
seperti yang sering dia lakukan saat Bapak masih ada.
“Hafis mau dibeliin tas seperti punya Rian Bu” pinta
hafis pada ibunya saat digendong.
“Siapa itu Rian nak?” Tanya Ibu pada si bungsu.
“Teman sekelas hafis yang rumahnya cantik disamping
balai desa itu bu” jelas hafis.
Ibunya sudah bisa membayangkan pasti tas yang dimiliki
anak tersebut sangat bagus, karena Rian adalah Putra dari seorang anggota
dewan. Ibunya tahu, bahwa ia tidak mungkin mampu menuruti kemauan sang buah
hati karena sudah bisa menyekolahkannya saja sudah sangat disyukuri oleh wanita
paruh baya itu.
“Bukannya tas hafis masih bagus sayang, untuk apa
dibeli lagi, itu namanya memboroskan uang, dan Allah membenci orang-orang yang
memboros, Hafis mau dibenci sama Allah?” jelas ibunya dengan lemah lembut
kepada hafis.
“Tidak bu, Hafis gak mau buat bapak yang lagi disurga
jadi sedih kalo Hafis dibenci Allah” jawab bocah enam tahun itu yang membuat
mata ibunya berkaca-kaca.
“Pintar, hafis harus jadi anak yang soleh ya, supaya
bapak tetap di surga” sahut sang Ibu sambil memeluk Putra bungsunya tersebut.
Ilmi pun hanya bisa tersenyum menyaksikan percakapan itu. Dia merasa beruntung
memiliki adik yang sangat baik seperti Hafis.
Mereka pun masuk kedalam rumah, setelah selesai mandi
dan berkumandangnya azan magrib, mereka melaksanakan sholat magrib. Seusai sholat,
seperti biasanya Ilmi membantu Ibunya menyediakan makan malam. Disela-sela
memasak makanan, Ibunya tiba-tiba mengatakan rindu pada adiknya Aira yang kini
berada dipekan baru.
Aira pergi ke pekan baru bersama adik dari Ibunya
sejak memasuki SMP, dan kini Aira tentunya sudah tumbuh dewasa dan duduk di
bangku SMA. Ilmi mengerti akan rasa kerinduan Ibunya pada adiknya tersebut,
apalagi dulu Ibu benar-benar sulit mengikhlaskan Aira pergi jika tidak
memikirkan ekonomi keluarga yang tidak mampu menopang biaya pendidikan seluruh
anak-anaknya kelak.
“Sudah empat tahun tidak bertemu dengan Aira, Ibu
rindu Mi, sekarang dia pasti semakin cantik dan sudah dewasa” Tutur sang Ibu
penuh nada sedih kerinduan.
“Ilmi juga rindu dia Bu, dulu saja dia sudah cantik
dengan matanya yang mempesona yang selalu membuat Ilmi iri, psti sekarang
semakin cantik lagi” jawab Ilmi.
“Tadi pagi Bu Ijah datang waktu Ilmi mengantar Hafis
kesekolah” Jelas Ibunya padanya.
Buk ijah selama ini menjadi tempat penghubung
komunikasi antara Keluarga Ilmi dengan adiknya dipekan baru. Tidak memiliki
alat komunikasi mengakibatkan adiknya maupun keluarga Ilmi menumpang dengan buk
ijah untuk dapat berkomunikasi satu sama lain.
“Aira sehat kan bu disana?” Tanya Ilmi mencari tahu
tentang pembicaraan Ibunya dengan adiknya tadi pagi.
“Iya dia sehat, dia mengatakan ingin pulang dan melanjutkan sekolah di sini
saja, tapi Ibu belum bisa memberi jawaban apa-apa, Ibu hanya memintanya untuk
bersabar dan tetap bertahan tinggal disana”.
Ibunya belum berani mengabulkan permintaan Putri
keduanya tersebut karena takut malah tidak mampu membiayai sekolahnya kelak,
Ibunya juga tidak ingin Aira bekerja sambil sekolah seperti apa yang dulu
dilakukan Ilmi. Cukup baginya melihat Ilmi berjuang untuk untuk keluarga.
“Kenapa Ibu tidak mengiyakan saja bu, Ilmi kan
sudah tamat sekolah, uang gaji Ilmi juga
cukup untuk digunakan menyekolahkannya”
Namun bagi Ibunya tidak semudah itu, selain Hafis yang
kini juga sudah sekolah, hutang yang masih harus terus dicicil dengan adik
almarhum Bapaknya juga menjadi tanggung jawab yang cukup berat. Ibunya tidak
ingin hubungan kekeluargaan dengan adik iparnya yang sudah kurang harmonis
menjadi lebih buruk lagi. Mungkin bagi pamannya hutang mereka tidaklah begitu berarti
untuk dijadikan permasalahan, tapi Ibunya mengerti bahwa Pamannya memiliki
istri yang belum tentu bisa begitu saja untuk mengikhlaskan.
“Gaji kita berdua saja sudah pas-pasan untuk biaya
sehari-hari, mencicil hutang dan menyekolahkan Hafis, kita dapat uang darimana
lagi untuk bisa menyekolahkan Aira disini” Jelas ibunya yang mulai berurai air
mata.
Ilmi jadi merasa bersalah, tidak seharusnya dia
mencoba memaksakan apa yang tidak mampu dipenuhi oleh Ibunya. Ibunya pasti
lebih tau mana yang terbaik untuk anak-anaknya.
“Bagaimana jika Ilmi yang kesana Bu, sedangkan Aira pulang,
disana Ilmi bisa bekerja di perkebunan tempat paman bekerja yang gajinya pasti
lebih besar daripada menjadi karyawan disini, jadi uangnya bisa Ibu gunakan
untuk menyekolahkan Aira juga”.
Ilmi mencoba menjelaskan kembali niat baiknya untuk
bisa memenuhi keinginan adiknya untuk pulang. Ilmi mengerti akan rindunya
seorang anak yang bertahun-tahun tidak bertemu dengan keluarganya. Ditambah
lagi dia tidak bisa berada di sisi sang Bapak saat prosesi pemakamannya.
Sedangkan Ilmi sudah cukup mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya
selama ini. Hal itu yang memutuskannya untuk pergi bertukar tempat dengan
adiknya.
“Kamu serius nak?” Tanya ibunya terheran mendengar
penuturan putrinya tersebut.
“Iya bu, nanti kan kalo Aira sudah tamat Ilmi bisa
pulang lagi, biarlah dia pulang, dia pasti juga ingin seperti kami yang selama
ini tinggal bersama ibu’’
Ibunya sontak memeluknya, tetesan air mata itu pun
jatuh membasahi bahu Ilmi.
“Ibu sebenarnya tidak ingin kalian pergi, Ibu ingin
kita berkumpul, Ibu sudah cukup kehilangan Bapak, Ibu tidak ingin lagi jauh
dari anak-anak Ibu”.
Suasana semakin haru, Ilmi mencoba mengusap air mata
yang terus mengalir di pipi Ibunya.
“Iya bu Ilmi mengerti, berpisah sesaat untuk suatu
saat berkumpul kembali kan tidak mengapa bu”.
Ibunya pun dengan berat hati akhirnya menerima tawaran
dari putri sulungnya tersebut. Selain karena memang merindukan Aira, Ibunya
juga percaya pada Ilmi untuk merantau karena selama ini dia cukup gigih dalam
menghadapi cobaan.
Akhirnya Aira diantar oleh adik Ibunya yang juga
sebagai pamannya. Dia benar-benar tumbuh menjadi gadis yang begitu cantik.
Seminggu Ilmi merasakan hidup berkumpul kembali dengan
keluarganya, hingga akhirnya dia lah yang harus meninggalkan mereka. Tak
mengapa baginya jika harus berkorban, karena kebahagiaan keluarganya adalah
bahagia untuknya
Pahitnya di
Rantau orang
Ilmi mulai menjalani hidup diperantauan. Meskipun
tinggal bersama sanak saudara, tetap saja tempat itu asing baginya. Tak jarang
ia menangis sebelum tidur karena tak kuasa menahan rindu dengan Ibu dan
adik-adiknya, namun ia tetap mencoba untuk kuat dan yakin bahwa ia harus
bertahan.
Pamannya memiliki posisi yang cukup penting
diperkebunan tempat kini Ilmi bekerja, sehingga tidak sulit baginya untuk
mendapatkan pekerjaan yang lebih layak daripada hanya menjadi pengupas
kepiting. Disamping itu, kecerdasan dan bekal ijazah SMA yang ia bawa
menjadikannya layak diperhitungkan.
Pamannya menempatkannya dibagian administrasi karena
Ilmi juga bisa mengoperasikan komputer. Ilmi mulai menyukai pekerjaan barunya,
apalagi pekerjaan itu tidak menimbulkan efek samping bagi kesehatannya seperti
alergi seafood yang pernah ia alami. Ia juga mulai bisa beradaptasi dan
memendam rasa rindu kepada keluarga dan kampung halamannya.
Setiap harinya Ilmi bekerja dari pagi hingga sore hari
dan ia mengupayakan kualitas kerjanya tidak menurun agar tidak mengecewakan
pamannya. Ilmi juga sangat mendambakan secepatnya memperoleh gaji pertama agar
uangnya segera bisa dikirimkan untuk Ibu dan adik-adiknya pertanda bahwa dia
benar-benar hidup layak di rantau orang.
Dalam sela-sela istirahat makan siang, Ilmi mencoba
mendatangi pamannya yang juga sedang istirahat diruagannya. Melihat kedatangan
Ilmi dari kejauhan, pamannya menyambutnya ramah.
“Kenapa mi, ada keluhan dengan pekerjaanmu?” sambut
pamannya sambil mempersilahkannya masuk ke ruangan tersebut.
“Hmmm..tidak paman, Ilmi nyaman dengan pekerjaan ini”.
Ilmi mendatangi pamannya dengan maksud menyampaikan
rasa terima kasihnya atas kebaikan beliau memberikannya pekerjaan yang lebih
baik daripada pekerjaan yang sebelumnya ia jalani. Ilmi juga merasa berterima
kasih atas kesudihan paman dan bibinya memberinya tumpangan untuk bisa tinggal
dirumah mereka.
“Kamu ini ada-ada saja Mi, namanya juga kamu keponakan
paman, sudah sewajibnya untuk kita saling tolong menolong”. Tutur pamannya yang
begitu mendamaikan hatinya. Keluarga pamannya yang satu ini begini begitu jauh berbeda
dengan keluarga paman adik dari almarhum Bapaknya. Bibinya begitu baik dan
tidak pernah sekalipun berkata-kata kasar. Meski terkadang Ilmi juga merasa
kurang nyaman dengan perlakuan dari sepupu-sepupunya. Namun Ilmi tidak
mengambil pusing akan hal itu.
Tiga hari kemudian Ilmi menerima gajinya untuk pertama
kali. Gaji tersebut sebagian dikirimkannya kepada Ibunya dikampung guna
membiayai sekolah adik-adiknya. Ilmi juga menyisakan uang gajinya untuk
dibelikan sebuah ponsel agar memudahkannya berkomunikasi dengan Ibu dan
adik-adiknya. Hingga akhirnya sebuah ponsel bekas yang cukup murah pun dibeli
olehnya. Ilmi tidak mendambakan memiliki ponsel degan kecanggihan fantastis
dari merek-merek ternama, asalkan sudah bisa menghubungkan antara dirinya
dengan Ibunya saja sudah cukup baginya.
Bulan demi bulan pun di laluinya. Karena kepiawaiannya
dalam menyelesaikan semua pekerjaan dengan baik, Ilmi selalu mendapat perlakuan
istimewa dari para atasan, ditambah lagi mereka tahu Ilmi adalah keponakan dari
seseorang yang posisinya disegani di tempat itu. Hal itu juga yang belakangan
ini menimbulkan kecemburuan di hati karyawan-karyawan lain. Mereka menganggap
para atasan tidak memperlakukan adil antara mereka dengan Ilmi. Padahal mereka
sendiri pun tidak pernah bekerja lebih baik dari Ilmi.
Desas-desus yang sering didengarnya baik secara
langsung maupun tidak lngsung akan kecemburuan para karyawan lain tidak pernah
ditanggapi Ilmi. Ilmi tetap mencoba menjalin komunikasi yang baik dengan mereka
agar tidak terjadi saling iri dan dengki yang dapat merusak segalanya.
Disisi lain, ketidak betahan yang dirasakan oleh Ilmi
kini bukannya berasal dari omongan dari teman-teman kerjanya. Melainkan ketidak
nyamanannya yang ia rasakan kini dirumah pamannya. Sikap adik sepupu laki-lakinya
yang seusia dengan adiknya Aira yang kini mulai membuatnya tidak nyaman. Selain
suka berkata-kata kasar jika tidak diketahui oleh orang tuanya. Anak laki-laki
sulung pamannya tersebut kerap
melemparkan tatapan yang membuat Ilmi risih.
Tidak jarang juga Ilmi kehilangan uang di lemarinya.
Dan hanya adik sepupunya tersebut lah yang Ilmi curigai.
Hingga suatu pagi Insiden yang tidak terduga pun
terjadi yang mengakibatkan Ilmi terpaksa pergi dari rumah tersebut.
Seperti biasanya Paman dan Bibinya terlebih dahulu
pergi bekerja. Sedangkan Ilmi dan dua orang adik sepupunya masih tinggal dan
bersiap-siap melakukan kegiatan masing-masing.
Ilmi dipercaya oleh pamannya mengantarkan anaknya yang
masih SD kesekolah. Saat telah selesai bersiap-siap, Ilmi dan adik sepupunya
yang bernama Rini tersebut keluar rumah dan menunggu angkutan yang harus mereka
naiki. Setelah mengantarkan Rini kesekolah, Ilmi teringat kembali akan berkas
pekerjaan yang tertinggal diatas lemarinya. Ilmi pun segera kembali menuju
rumah pamannya guna mengambil berkas tersebut.
Sesampainya didepan rumah, Ilmi sedikit terheran
dengan pintu rumah yang masih terbuka. Didepan pintu Ilmi masih melihat sepatu
dari Putra sulung pamannya tersebut. Ilmi heran
kenapa dia belum pergi padahal jam sudah menunjukkan waktu yang sudah
melewati jam masuk sekolahnya.
Perlahan Ilmi pun masuk kedalam rumah, dan dilihatnya
pintu kamarnya terbuka. Pelan-pelan dia menuju kamarnya dan dengan shock
melihat Ivan putra sulung pamannya sedang membongkar lemarinya. Namun Ilmi
sudah memastikan Ivan tidak menemukan uang sepeser pun karena Ilmi sudah jera kehilangan uang dan hari itu dia membawa
semua uang yang ia miliki.
“Ngapain Ivan bongkar-bongkar lemari kakak?”
Bentak Ilmi yang membuat Ivan begitu terkejut, ia
tidak menyangka Ilmi akan kembali dan memergoki dirinya membongkari lemarinya.
Mengetahui akan hal itu, Ivan segera berbalik badan dan mencoba lari melewati
Ilmi yang sedang berdiri diambang pintu.
“Hei..mau kemana kamu?”
Teriak Ilmi kepada Ivan dan mencoba mencegatnya dengan
menarik lengan bajunya. Serempak dengan kejadian itu, Bibinya yang juga Ibu
Ivan tiba-tiba masuk kerumah dan melihat Putranya sedang bertengkar dengan
Ilmi. Melihat lengan baju Ivan terkoyak, Bibinya menunjukkan reaksi marah
kepada Ilmi.
“Ada apa ini?, kamu apakan anak saya sampai bajunya
koyak begitu?”
Bentak bibinya dengan suara marah. Situasi itupun
dimanfaatkan oleh Ivan untuk memutar balikkan fakta dengan menuduh Ilmi yang
mencoba menuduhnya mencuri uang selama ini.
Kondisi Ilmi pun terpojokkan. Dia mencoba menjelaskan
apa yang terjadi sebenarnya kepada Bibinya tersebut, namun
“Plaaakkkkkk…”
Jemari sang Bibi terlebih dahulu mendarat dipipi
mulusnya yang mengakibatkan pipinya memerah.
Untuk pertama kalinya Ilmi diperlakukan sekasar itu
oleh oorang lain yang tak lain adalah istri dari pamannya sendiri.
“Tidak tahu diuntung kamu ya Mi, sudah ditolong malah
bertingkah seperti ini, keluar kamu sekarang juga dari rumah saya”
Sang bibi melemparkan makiannya kepada Ilmi dengan
murkahnya. Ilmi tahu Bibinya tidak akan mungkin percaya padanya karena Ivan
adalah anak kesayangan yang begitu dimanja oleh bibinya.
Air mata tumpah dipipi gadis tersebut. Hatinya begitu
teriris dengan apa yang baru saja ia alami. Secepatnya ia mengemasi
barang-barangnya untuk pergi dari rumah tersebut tanpa tahu kemana ia harus
pergi mengadu. Ia mencoba berpamitan dan meminta maaf kepada bibinya, namun
sang Bibi tidak lagi mau menggubris uluran tangannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar