10. Dunia
Baru
Ilmi terbangun dari tidurnya setelah tertidur cukup
lama, kepalanya masih begitu pusing setelah melewati perjalanan seharian
ditambah dinginnya udara malam hari. Malam itu tidak sedikitpun mata Ilmi bisa
terpejam ketika sketsa kejadian-kejadian pagi itu kembali menari-nari
dibenaknya.
Ilmi melihat jam di dinding kamar itu menunjukkan
pukul setengah dua siang, ia menyadari dirinya tertidur cukup lama, namun ia
tidak melihat Putri ada disekelilingnya, mungkin dia masih kuliah fikirnya
dalam hati.
Perutnya terasa lapar, maklumlah sedari tadi malam
belum ada makanan yang mengisi perutnya. Ilmi tidak berani menggunakan uang yang
ia miliki untuk membeli makanan takut jika terjadi apa-apa ia tidak memiliki
cukup uang untuk menanggulanginya. Tadi pagi juga saat Putri mengajaknya untuk
makan Ilmi terpaksa membohonginya dan mengatakan bahwa dia sudah makan.
Ilmi perlahan bangun dari kasur dan beranjak kekamar
mandi guna membersihkan diri dari rasa peluh akan segala lelahnya aktivitas
semalam. Setelah selesai mandi Ilmi berinisiatif untuk keluar mencari warung
nasi untuk membeli makanan karena perutnya terasa begitu lapar. Tidak jauh dari
kost-kosan Putri terdapat banyak warung nasi yang menjual makanan, Ilmi
melihat-lihat warung yang sekiranya tidak menjual makanan dengan harga yang
mahal.
Ilmi kini duduk di salah satu tempat yang ia rasa cukukp
sederhana dan terbilang lumayan bersih. Ilmi memesan makanan dengan lauk
sekedarnya, asalkan sejengkal perut itu bisa terisi makanan saja sudah cukup
baginya.
Sambil menyantap makanannya ia memperhatikan si Ibu
yang berjualan kelihatan kewalahan dalam melayani pelanggan, warung tempatnya
makan tersebut meskipun dari luar terlihat biasa-biasa saja namun tampaknya
sangat laris, mungkin karena rasanya yang cukup enak menurut Ilmi. Ilmi masih
terus memperhatikan banyaknya pelanggan yang harus mengantri lama untuk sekedar
mendapatkan sebungkus nasi.
Setelah menghabiskan makanannya Ilmi kembali merasa
tenaganya hampir pulih. Namun ia kembali memikirkan bagaimana dia bisa
berkesinambungan hidup di tempat itu jika tidak memiliki pekerjaan yang jadi
sumber pendapatan. Tidak mungkin dia merepotkan Putri lagi dengan menanggung
biaya hidupnya sementara dapat tumpangan hidup saja sudah sangat berarti
baginya.
Ilmi berfikir untuk mencoba mengajukan niatnya bekerja
di warung nasi tersebut melihat betapa repotnya sang Ibu penjual dalam melayani
pembeli. Setelah melihat para pembeli sudah mulai berangsur pergi, Ilmi pun
membayar nasi yang telah ia makan.
Ilmi mencoba mengutarakan niatnya kepada Ibu penjual
nasi tersebut yang akhirnya diketahui Ilmi namanya adalah Bu Lina.
“Bagaimana ya nak, Ibu memang mengaku kewalahan kalo
pembeli berdatangan dan sangat ramai, tapi kamu lihat sendiri usaha warung Ibu
masih kecil-kecilan, Ibu juga tidak berjualan dengan mematok keuntungan yang
besar, Ibu hanya mengambil keuntungan kecil dengan berharap banyak orang yang
mampir.”
Ilmi mulai menunjukkan raut sedih dan kecewa mendengar
penjelasan Bu Lina tersebut.
“Owh..begitu ya Bu, tapi saya sangat butuh pekerjaan
Bu, tidak apa-apa jika gajinya kecil, saya harus bekerja untuk menopang biaya
hidup saya sehari-hari Bu, minimal untuk mencukupi makan saja tidak apa-apa
bu.” Ilmi tetap berusaha membujuk Bu lina.
“Yasudah kalau begitu, Ibu gaji kamu hanya sebatas
upah mendapatkan makan tiga kali sehari bagaimana?, ya kalau memang rezeki Ibu
berlebih Ibu akan memberimu uang jajan”.
Senyum mulai terkembang di wajah gadis itu.
“Terima kasih bu, Ilmi janji akan bekerja sebaik
mungkin, Ibu tidak usah sungkan menegur Ilmi kalo kerjaan Ilmi tidak baik
menurut Ibu”
Bu Lina merasa tersentuh dengan kegigihan gadis itu,
Bu Lina merasa Ilmi benar-benar sedang membutuhkan pekerjaan sehingga
membuatnya tidak tega untuk menolak meskipun warung nasinya sendiri hanya
mengandalkan keuntungan yang pas-pasan.
Mulai hari itu juga Ilmi meminta untuk langsung
bekerja, apa yang bisa dikerjakan pasti dikerjakan olehnya. Membungkus nasi,
menyajikan pesanan, bahkan menyuci piring. Pertama-tama terasa sulit baginya
membungkus nasi karena belum terbiasa, namun akhirnya dia bisa melakukannya
sebaik Bu Lina.
Bu Lina meminta Ilmi untuk bekerja dari pagi hingga
menjelang magrib, dan Ilmi menyanggupinya, rasa lelah tidak lagi ia hiraukan,
pernah bekerja sebagai karyawan pengupas kepiting sudah membuatnya tahu akan
arti lelah yang sebenarnya. Tidak ada lelah jika segala sesuatu kita kerjakan
dengan seikhlas hati.
Menjelang magrib Ilmi kembali pulang kekosan Putri,
Ilmi mengetuk Pintu dan Putri membukakannya dari dalam. Terlihat Putri
menyambutnya dengan wajah cemas.
“Kamu dari mana saja Mi?, aku coba hubungi tapi malah
HP nya kamu tinggal.” Introgasi Putri padanya karena memang Ilmi tidak memberi
tahu bahwa dia pergi keluar ditambah liga dia lupa membawa ponselnya dan
tertinggal di atas lemari.
“Maaf Put, tadi aku pergi keluar mau beli makanan eh
malah ternyata urusannya jadi sepanjang ini” Ilmi semakin membuat Putri
khawatir dengan penjelasannya, dia benar-benar takut terjadi apa-apa dengan
Ilmi karena dia tahu tempat itu masih sangat asing bagi Ilmi.
“Siapa yang jahat sama kamu?, kamu tersesat?, atau
mungkin tertabrak waktu lagi nyebrang jalan?”. Bertubi-tubi pertanyaan akan
dugaan Putri dilontarkannya pada Ilmi.
“Husssss,,,,jelek amat sih mikirnya”. Ilmi
senyum-senyum melihat respon sahabatnya tersebut, Ia juga merasa bersalah
membuat Putri sepanik itu. Ilmi mulai menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya.
“Masya Allah” Putri terkulai lemas
“Kamu benar-benar buat aku takut non, lagipula ngapain
sih kamu sampai nyari kerjaan Cuma untuk makan, kamu bareng makan sama aku aja
kan bisa Mi, toh juga makanan ketringnya untuk berdua masih cukup Mi”.
“Aku kan gak enak nyusahin kamu terus Put, lagipula
gak papa kok, hitung-hitung aku bisa ngisi waktu siang hari kalo kamu tinggal
kuliah Put”.
“Kamu tu ya, selalu aja mikir nyusahin orang, gak ada
yang merasa disusahkan kok, aku malah senang jadi ada temen disini”.
“Yasudah makasih mbak yuk, jangan marah-marah terus
donk, sebentar aja kok, sembari aku mencari-cari pekerjaan yang lebih mencukupi
lagi”.
“Iya-iya dech..aku kalah” sahut Putri sambil
tersenyum.
“Oh iya, bantuin aku kerjain tugas kuliah Bahasa
Inggris ku ya Mi, kalo soal-soal begini pasti makanan kamu, aku malah gak
pernah ngeh sama yang namanya Bahasa Inggris”.
“Ada-ada saja, kamu yang kuliah, pasti kamu yang lebih
tau” sahut Ilmi merasa tidak percaya diri jika harus menyelesaikan soal-soal
tingkat perguruan tinggi, sedangkan dia menyadari dirinya yang hanya tamatan
SMA.
“Kamu kayak gak tau aja Mi, aku paling susah nyambung
kalo udah bahas materi Bahasa orang London Ini”
Ilmi tertawa mendengarnya, ia memang tahu Putri Pakar
dalam masalah hitung-hitungan dan Matematika adalah Pelajaran favoritnya, wajar
saja kejuruan yang diambilnya pun Pendidikan Matematika, Ilmi yakin Putri Pasti
bisa menggenggam impiannya sedari dulu yang ingin sekali menjadi seorang dosen
Matematika. Putri benar-benar mendambakan menjadi Mathematicians sejati.
Sementara dirinya sampai saat ini masih mengubur dalam-dalam impiannya melanjut
kuliah untuk mempelajari Sastra Inggris.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar