Kamis, 27 Juni 2013

12. Sahabat is Everything (Pelangi Setelah Hujan)



12. Sahabat is everything

Menjadi seorang kasir bukanlah hal yang sulit, namun membutuhkan ketelitian dan tanggung jawab yang sangat besar karena mengurus uang yang jumlahnya cukup besar. Kesilapan sedikit saja akan menjadi tanggung jawab karyawan. Ilmi benar-benar memaksa dirinya untuk tidak melakukan keteledoran sedikitpun karena jika pendapatan tidak sesuai atau uang yang didapat lebih sedikit daripada barang yang terjual, maka Ilmi lah yang harus menanggung jawapinya dengan dipotongnya gajinya sebesar kerugian.
Gaji yang diterima cukup besar namun diterima bulanan. Ilmi benar-benar berharap bisa betah dan tidak ada lagi hal buruk yang terjadi seperti yang telah lalu.
Sepulang bekerja hari itu Ilmi mencoba menelpon Ibunya karena sudah lama ia tidak mendengar suara sang Ibu yang sangat dirindukannya. Selama ini ia hanya memberitahukan kabarnya lewat sms. Ilmi juga belum berani menceritakan apa yang telah terjadi padanya. Ia masih tidak tega menambah beban fikiran Ibunya.
Beberapa kali Ilmi mencoba menelpon namun belum juga mendapat sahutan dari Ibunya hingga keempat kalinya terdengar suara sendu dari sebrang sana.
“Assalamualaikum nak, bagaimana kabar Ilmi?” Ibunya selalu menyakan kabarnya jika pertama kali menjawab telpon, hal itu menandakan Ibunya selalu memikirkan keadaannya.
“Waalaikumsalam..Alhamdulillah Ilmi baik-baik aja Bu, gimana dengan Ibu dan adik-adik disana?” Ilmi juga tak lupa menanyakan kabar adik-adiknya karena dia juga sangat merindukan mereka.
Ilmi berbincang-berbincang banyak dengan Ibunya dan menanyakan seputar sekolah adik-adiknya.
“Maaf ya Bu, Ilmi bulan ini tidak bisa mengirimi Ibu uang, tapi Ilmi janji awal bulan nanti Insya Allah Ilmi akan kirimkan untuk Ibu”.
“Sudahlah tidak apa-apa, jangan jadikan itu beban untuk Ilmi, yang penting Ilmi disana baik-baik saja sudah cukup untuk Ibu”.
“Bagaimana kabar paman dan bibimu nak?”
Duuuuggg,,,pertanyaan itu sontak mengagetkannya, lama Ilmi terdiam tidak menjawab apapun, dia bingung harus mengatakan apa. Dia ingin sekali jujur pada Ibunya namun belum tepat baginya menceritakan semuanya.
“Iya Bu, Paman dan Bibi baik-baik saja”
“Owh syukurlah”
Tak terasa air mata menetes di pipinya sesaat setelah mengakhiri panggilan tersebut. Ia benar-benar merasa berdosa membohongi Ibunya. Tapi hal itu terpaksa ia lakukan dan berharap kelak Ibunya dapat mengerti.
Seusai menelpon Ilmi pun mandi karena hari sudah senja dan ia akan melaksanakan sholat magrib, terlihat Putri yang terlebih dahulu selesai mandi dan mengenakan pakaian yang agak sedikit rapi. Ilmi merasa heran dalam hatinya namun tidak mengambil pusing akan hal itu.
Seusai sholat magrib bersama-sama dengan Putri, mereka selalu mengaji bersama, momen-momen seperti itu merupakan hal yang selalu menjadi penenang hati mereka.
Sesaat kemudian terdengar suara beberapa orang anak kecil mengetuk pintu dari luar. Terlihat Putri bergegas mengenakan jilbab menemui mereka. Ilmi heran siapakah tamu sahabatnya tersebut karena tidak biasanya dia memiliki tamu seorang anak kecil.
Terlihat dua orang gadis cilik yang kira-kira masih SD masuk kedalam rumah membawa buku pelajaran dan dipersilahkan oleh Putri duduk didepan meja belajarnya yang sedari tadi memang telah dirapikannya dari pekakas kuliahnya.
Perlahan Ilmi memperhatikan aktivitas mereka dan Ilmi menduga bahwa Putri sedang mengajari mereka tentang pelajaran matematika. Lebih tepatnya Putri mungkin sedang menjadi guru privat matematika mereka tebak Ilmi dalam hati.
Ilmi memperhatikan Putri yang begitu semangat dalam menjelaskan pelajaran, terlihat dia memang berbakat menjadi seorang guru dalam bidang yang memang dicintainya itu. Namun Ilmi merasa begitu salut dengan Putri yang masih mau meluangkan waktunya untuk sekedar menjadi guru Privat. Karena kalo difikir-fikir, kesibukannya disiang hari dengan jadwal kuliah membutuhkan waktu istirahat yang cukup di malam hari. Putri juga tidak mungkin menerima menjadi guru privat hanya karena kekurangan uang jajan karena Ilmi tahu betul Putri sudah  mendapat uang saku yang sangat mencukupi dari orang tuanya.
“Cie-cie udah kayak Ibu guru beneran sekarang ya Put” Goda Ilmi pada sahabatnya itu setelah melihat murid-muridnya telah pulang.
“Hehehe…gimana-gimana? Keren kan Mi gaya ngajar aku?”
“Ya..ya..ya…pastinya…pastinya lebih baik daripada Bu Teti guru Matematika kita yang gak pernah senyum dan super Killer itu”.
“Hehehe..kamu bisa aja”
Mereka terhanyut sejenak pada masa-masa sekolah mereka dulu, bagaimana mereka harus mengahadpi guru-guru dengan karakter yang berbeda-beda setiap harinya.
“Kamu kok masih mau ngajar Put? Gak capek udah seharian di kampus?”
“Capek sebenarnya, tapi orang tua mereka minta tolong karena nilai matematika anaknya yang sangat jelek. Aku gak enak menolak Mi. Hitung-hitung latihan sebelum jadi guru beneran, dan sekalian berbagi Ilmu kan berpahala”.
Ilmi tertegun mendengarnya, Ia salut dengan Putrid an kemuliaan hatinya. Ia juga bersyukur Allah mempertemukannnya dengan sahabat sebaik dia.
Keesokan harinya seperti biasa Ilmi kembali bekerja seperti biasanya. Saat sedang menghitung belanjaan pembeli, Ia se melihat seseorang yang sepertinya dia kenal. Setelah meyakinkan penglihatannya, iya yakin bahwa orang tersebut Ikhwan yang terlihat sedang mencari beberapa barang-barang.
Ikhwan pun membayar barang-barang yang telah dipilihnya. Selesai memberikan struk belanjaan dan kembalian uangnya. Mereka sempat berbincang-bincang. Ikhwan memang sering ke Supermarket tempat Ilmi bekerja, namun selama ini dia hanya menemui pamannya. Baru kali ini Ikhwan berbelanja disitu. Ikhwan juga dikenal Ilmi sebagai pribadi yang ramah.
Kebetulan pembeli sedang sepi, jadi bincang-bincang yang terjadi tidak mengganggu kerja Ilmi. Saat sedang bercerita Ikhwan kemudian meminta nomor handphone Ilmi yang membuat Ilmi sedikit terkejut dan heran. Ikhwan mengatakan bahwa ia meminta nomor Ilmi guna dapat memberitahukan apa saja yang harus ditingkatkannya dalam bekerja karena pamannya sering menceritakan prihal karyawannya padanya. Ilmi pun memberikan saja nomor handphonenya tanpa ada prasangka lain di hatinya.
Mulai saat itu Ikhwan memang sering mengsmsnya. Sms yang dikirim Ikhwan pun memang sebatas saran-saran tentang pekerjaannya. Namun makin hari sms itu tak lagi berisikan saran, hanyalah kata-kata humor yang terkadang menggelitik hati Ilmi. Ilmi juga masih menganggap biasa hal itu.
Suaatu hari saat Ilmi hendak pulang kerja tiba-tiba Ikhwan datang, Ikhwan mengatakan ada urusan sebentar dengan pamannya dan memberi tawaran padanya untuk diantar pulang. Ilmi menolak tawaran tersebut, disamping karena jarak tempat bekerjanya tersebut masih dalam jarak tempuh jalan kaki, Ilmi juga segan jikalau terlihat oleh Putri. Namun Ikhwan tetap memaksanya dengan beribu alasan. Ilmi tidak dapat menolak, dan akhirnya sore itu dia diantar pulang oleh Ikhwan.
Saat tiba di depan kos Putri, Ilmi segera menyuruh Ikhwan pulang takut jika terlihat oleh Putri. Ilmi merasah bersalah dalam hatinya dan segera masuk dengan terburu-buru. Didalam terlihat Putri baru selesai mandi. Dikarenakan perasaan bersalah di hatinya, Ilmi jadi salah tingkah ddidepan Putri. Putri sedikit aneh dengan sikap yang ditunjukkan oleh Ilmi.
Pada malam hari saat sedang menonton tv bersama Putri, Ilmi dikejutkan dengan sms yang diterimanya dari Ikhwan yang berisikan tentang perasaannya yang selama ini menyimpan perasaan terhadap dirinya. Tubuh Ilmi bergetar membacanya, sms itu dibacanya berulang-ulang namun ia masih bingung harus membalas apa.
“Kamu kok gelisah gitu Put?, sms dari siapa?” tanya Putri padanya setelah melihat ekspresinya yang mungkin tidak biasa.
“Gak apa-apa kok Put, perutku agak sedikit mules”. Ilmi terpaksa membohonginya karena tidak mungkin memberitahukan is isms yang pastinya akan melukai hati Putri tersebut.
Ilmi tidak menyangka dibalik perhatian yang diberikan Ikhwan selama ini padanya tersimpan maksud lain, tapi Ilmi masih tidak habis fikir karena selama ini dia menyangka Ikhwan benar-benar menyayangi Putri dengan setulus hati. Fikirannya benar-benar kacau saat itu. Dia tidak mungkin menerima Ikhwan karena tidak ada perasaan special sedikitpun di hatinya pada Pria tersebut. Ditambah lagi Putri adalah sahabat yang sudah dianggapnya sebagai saudara yang tidak mungkin sanggup untuk dia sakiti.
Berkali-kali Ikhwan mengirimkan sms meminta balasan atas segala curahan hatinya namun tidak satupun digubris oleh Ilmi. Ia hanya menganggap angin lalu saja.
Keesokan harinya saat Ilmi berangkat kerja Ia melihat sosok lelaki mirip dengan Ikhwan yang berdiri didepan Supermarket tempatnya bekerja. Ilmi merasa Ikhwan sudah kelewatan jika sampai harus memperpanjang urusan ini. Baginya dengan tidak membalas sms tersebut sudah menggambarkan penolakan dari dirinya. Ilmi tidak menghiraukan keberadaan Ikhwan dan mencoba langsung hendak masuk kedalam supermarket tersebut. Namun Ikhwan ternyata menghampirinya dan menarik tangannya.
“Kenapa kamu gak balas sms aku Mi?”
“Maaf wan, aku mau kerja, masalah sms itu, aku sengaja tidak balas karena aku anggap itu tidak penting untuk dibahas”.
“Kamu kok ngomong gitu? Salah Mi aku suka dan sayan gsama kamu?”
“Iya jelas salah, kamu bisa mikir gak sih posisi aku gimana? Bagaimana aku selama ini menumpang hidup dengan Putri, tidak mungkin aku bisa menyakitinya”.
“Aku beneran sayang sama kamu Mi, dari awal lihat kamu aku udah ngereasa ada feel sama kamu, kamu beda dari perempuan lain yang setiap harinya buat aku semakin tertarik”.
“Bulshiit….aku gak nyangka wan kamu bisa mempemainkan Putri seperti ini, dia itu sayang sama kamu, dan aku sedikitpun tidak punya perasaan apapun selain rasa hutang budi karena menolongku mendapatkan pekerjaan ini. Aku fikir kamu Ikhlas wan, ternyata ada maksud dibalik semua kebaikan kamu”.
“Gak Mi, aku ikhlas bantu kamu, tapi seperti yang aku bilang, aku benar-benar suka sama kamu semenjak pertama kita jumpa, aku sering datang ke supermarket ini berpura-pura bertemu paman padahal aku senang melihatmu Mi.”
Ilmi benar-benar terkejut mendengarnya, ia tidak menyangka selama ini Ikhwan hanya berpura-pura menemui pamannya dengan maksud lain dihatinya.
“Maaf wan, aku tidak bisa balas perasaanmu ke aku, Putri segalanya untukku, dia sahabat terbaikku, aku tidak mungkin menyakitinya, dan aku mohon kamu belajar sayangi dia dengan setulus hati”.
“Aku gak bisa Put, aku udah coba, tapi perasaanku untuk dia tidak lebih dari seorang teman, kebaikannya selama ini yang membuat aku tidak bisa menjauh darinya”.
Sesaat setelah Ikhwan menyelesaikan kata-kata terakhirnya, terdengar suara kunci terjatuh dari jarak yang tidak begitu dekat. Mereka terkejut karena ternyata Putri mendegar pembicaraan mereka. Belum sempat Ilmi berteriak memanggilnya Putri sudah duluan pergi berlari dengan terburu-buru.
Ilmi mohon izin untuk tidak masuk bekerja pada hari itu dengan atasannya. Dia langsung lari mengejar Putrid an membiarkan Ikhwan yang berdiri mematung tanpa tahu harus berbuat apa.
Sesampainya dirumah Ilmi tidak bisa menemui Putri karena dia mengurung diri dikamar, Ilmi tidak menyangka Putri mendegar semua pembicaraan mereka karena ternyata Putri menyusulnya untuk mengantarkan kunci rumah yang terlupa dibawah olehnya.
“Put please buka pintunya, aku bisa jelasin semua sama kamu, kamu pasti salah faham Put”.
Tidak ada sahutan dari dalam kamar, tapi perlahan terdengar suara isak tangisnya. Ilmi benar-benar merasa bersalah, bagaimanapun juga ia mengerti rasa sakit yang dirasakan oleh Putri.
Lama Ilmi mengetuk pintu namun tidak juga dibukakan oleh Putri.
“Kalau mau marah, marah lah Put, mau usir aku juga tidak apa-apa, aku akan pergi, tapi please maafin aku dan dengar dulu penjelasanku”.
Tak lama kemudian pintu pun terbuka, Putri keluar dengan mata yang berlinangan, Ilmi pun segera memeluknya dan mengusap air matanya.
“Maafin aku Put, aku yang salah”
“Udah gak perlu minta maaf, aku dengar semuanya kok, kamu gak salah Mi, aku aja yang bodoh selama ini terlalu berharap padanya”.
Hati Ilmi ikut teriris mendegarnya, dia tidak menyangka Ikhwan tidak bisa membalas perasaan dari seorang gadis sebaik Putri. Putri  pun akhhirnya bisa menerima yang telah terjadi. Semenjak saat itu dia tidak pernah lagi berkomunikasi dengan Ikhwan. Ikhwan benar-benar merasa malu setelah kejadian itu hingga tak pernah lagi menampakkan batang hidungnya setelah mengirimkan sms permohonan maafnya pada Putri.
Putri pun memaafkannya karena dia tahu perasaan tidak bisa dipaksa, dia pun mengambil hikmah dari semua yang telah terjadi karena dengan adanya kejadian itu dia jadi tahu yang sebenarnya dan tidak lagi berharap apapun dari Ikhwan.
Untungnya permasalahan itu tidak sampai merambat ke pekerjaan Ilmi, Ilmi tetap bekerja di tempat tersebut dan tidak lagi pernah melihat sosok Ikhwan yang datag dengan beribu alasan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar