9.
Kota Itu…
Dengan berderai air mata Ilmi berjalan pergi
meninggalkan rumah Paman dan Bibinya tersebut, ia tidak menyangka musibah akan
menimpanya di hari itu. Ilmi berniat menemui pamannya untuk sekedar pamit dan meminta
maaf namun Ilmi mengurungkan niatnya kemudian memutuskan terus berjalan dan
tidak tahu entah kemana.
Setelah berjalan sejauh hampir satu kilometer, Ilmi
beristirahat di halaman sebuah mesjid, Ilmi duduk dan mengeringkan keringat yang
bercucuran. Dia begitu bingung harus berbuat apa, kemana harus pergi dan
bagaimana nasibnya terombang-ambing di tengah jalan seorang diri.
Dengan bekal uang pas-pasan yang dia miliki, Ilmi
benar-benar harus bijak dalam mengambil tindakan. Tidak mungkin baginya pulang
kekampung halamannya karena hal tersebut hanya akan membuat sedih Ibunya. Ilmi
masih menimang-nimang ponsel genggam di tangannya karena bingung harus
menghubungi siapa. Ilmi sempat berfikir untuk meninggalkan kota tersebut namun
tidak tahu harus kemana, hingga ia teringat dengan Putri yang kini melanjutkan
kuliahnya di Medan. Meskipun sudah tamat sekolah dan sudah tidak pernah bertemu
lagi, hubungan persahabatan antara Ilmi dan Putri masih terjalin dengan baik.
Putri tetaplah Putri sahabatnya yang dulu yang selalu baik dan tidak pernah
sombong, hal itu pula lah yang membuat ilmi yakin untuk mengadu nasib dengan
sahabatnya tersebut.
Ilmi masih
memikirkan rencananya tersebut berulang kali hingga akhirnya ia memberanikan
diri untuk menghubungi Putri. Beberapa kali telponnya tidak di jawab oleh
Putri. Ilmi mulai putus asa karena satu-satunya orang yang sangat dia harapkan dapat menolong kondisinya belum
menjawab telponnya.
Beberapa saat kemudian posel Ilmi bordering
menunjukkan panggilan dari Putri, Ilmi mulai merekahkan senyum di
bibirnya, hatinya sedikit lega. Ia
segera menjawab telpon tersebut.
“Assalamulaikum Put”.
“Waalaikum salam, Maaf ya Mi, tadi aku masih kuliah”.
“Tidak apa-apa kok Put, seharusnya aku yang minta maaf
karena mungkin telah mengganggumu”.
“Kamu bisa aja mi, oh iya kamu tidak kerja Mi?,
biasanya kamu bilang jam segini itu lagi sibuk-sibuknya mengurusi kerjaan?
Tanya Putri yang tidak tahu apa
sebenarnya yang telah terjadi.
“Hmmmm…tidak Put” sahut Ilmi dengan suara yang
terdengar sedih.
Ilmi kemudian menceritakan segala hal yang telah ia
alami dan maksud sebenarnya kenapa ia menelpon Putri saat itu. Putri
benar-benar shock mendengar cerita Ilmi, ia kasihan dengan Ilmi yang sampai
sekarang masih terus dijajah oleh rasa sedih. Tapi ia yakin bahwa Ilmi wanita
yang berbeda, Ilmi bukanlah wanita yang hanya bisa menangis pasrah dengan
segala kodrat yang ia terima, namun Ilmi adalah seorang gadis yang rela
menangis demi merobah segala kodrat yang ia terima untuk bisa lebih baik lagi.
“Begitu lah Put, ada-ada saja musibah yang terjadi,
padahal rasanya baru saja aku merasa bahwa ini adalah tempat yang tepat untukku
mulai merajut masa depan”.
“Sudahlah Mi, jangan begitu, aku yakin ada hikmahnya,
kamu sabar aja, yasudah kamu bolehh datang kapan aja ketempatku, dan aku akan
bantu kamu selagi aku mampu Mi”.
“Terima kasih Put, aku malu dari dulu menyusahkanmu”
“Ngomong apa sih kamu, udah cepat kamu ke terminal,
aku takut kamu ketinggalan bus kalo terlalu lama”.
Ilmi mengusap air mata yang terus mengalir, ia tahu
bahwa Allah tidak menguji hamba-Nya diluar batas kemampuannya. Ilmi menaiki
angkot menuju terminal, dan sesampainya di terminal Ilmi segera memesan tiket menuju
Medan. Bus yang ditumpanngi Ilmi pun mulai melaju. Ilmi tenggelam dalam
lamunannya ditengah perjalanan mengingat kembali pengalaman-pengalaman yang
telah ia dapatkan di kota itu. Andai saja tadi pagi dia bisa sedikit menahan
emosinya dalam menghadapi ivan sepupunya tersebut, pasti sekarang mungkin ia
masih diizinkan tinggal di rumah bibinya tersebut. Tapi tidak ada yang perlu di
sesali, nasi telah menjadi bubur, Ilmi hanya menanti hikmah dari semua kejadian
tersebut.
Beberapa jam di perjalanan hari mulai gelap, Ilmi
memperkirakan akan tiba di Medan esok pagi. Sesaat kemudian ponsel Ilmi kembali
berdering, Ilmi sempat menduga bahwa Putri yang kembali menghubunginya, namun
ternyata dugaannya salah, panggilan yang ia terima adalah dari pamannya. Ilmi
gugup, bingung harus menerima telpon tersebut atau tidak. Ilmi takut
kalau-kalau pamannya akan memarahinya. Tapi rasanya begitu tidak sopan jika
begitu saja tidak menghiraukan telpon tersebut mengingat selama ini pamannya
sudah begitu baik padanya.
Ilmi siap dengan apapun yang akan ia dengarkan,
perlahan ia raih kembali ponselnya dari dalam tas dan mencoba menghubungi
kembali pamannya.
“Halo, Assalamualaikum, kamu dimana Mi? terdengar
sahutan dari pamannya.
“Waalaikum salam, hemm…eh…” bibirnya kelu ia takut
mengatakan keberadaannya sekarang dimana.
“Jawab nak, paman sangat khawatir dengan keadaanmu”
suara pamannya menunjukkan rasa khawatir yang begitu kuat.
“Maafkan
Ilmi paman” Ilmi kemudian menceritakan semua yang terjadi pada pamannya.
“Masya Allah, kenapa kamu nekat pergi, setidaknya kamu
kan bisa menemui paman terlebih dahulu, kamu juga seharusnya tidak perlu pergi,
bibimu hanya emosi sesaat, kamu maklum saja, Ivan itu kan anak kesayangan
bibimu”.
“Iya paman, Ilmi minta maaf, tapi Ilmi benar-benar
tidak enak dengan bibi, Ilmi juga sudah terlalu merepotkan paman selama ini”.
“Kamu ini ngomong apa sih, paman bertanggung jawab
penuh atas apapun yang terjadi padamu, paman harus bilang apa pada Ibu mu kalau
terjadi hal yang tidak diinginkan
denganmu Mi”.
“Paman jangan khawatir, Ilmi sudah memikirkan
matang-matang keputusan yang Ilmi ambil, Paman jangan bilang Ibu ya, biar Ilmi
sendiri nanti yang ceritakan semua sama Ibu kalu waktunya sudah tepat, Ilmi
tidak mau menambah beban fikiran Ibu disana”.
“Yasudahlah Mi, kamu hati-hati ya, maafkan bibimu atas
perlakuannya, jaga dirimu baik-baik ya, kalau terjadi apa-apa jangan
segan-segan menghubungi paman.”
“Iya paman terima kasih”.
Ilmi terkulai lemas menyandarkan kepalanya pada
jendela bus, memandangi jalanan yang dilalaui, lampu-lampu terlihat berdiri
gagah mencoba menerangi setiap jalan yang gulita. Berbeda dengannya yang hampir
tidak mampu berdiri lagi apalagi untuk menerangi gelapnya jalan hidup yang akan
dilaluinya, Ilmi benar-benar memasrahkan nasibnya pada yang Maha Kuasa.
Bus tiba di medan sekitar pukul delapan pagi, kota
kelahirannya itu kini begitu asing baginya. Kota yang tak pernah tidur dimalam
hari, kota yang penuh dengan polusi dan lalu lintas dengan seribu angkotnya.
Ilmi turun dari bus, melihat sekeliling mencoba
mencari-cari wajah yang ia kenali, hingga terlihat seorang gadis rupawan yang
dari kejauhan berjalan mendekati dirinya. Semakin dekat semakin dia tidak
meragukan kebenaran penglihatannya bahwa dia benar-benar Putri.
“Kamu belum lama menunggu kan Mi?
Sapa Putri menhampiri Ilmi dan membantu membawa
beberapa tas yang dibawa oleh Ilmi.
“Tidak kok Put, Busnya baru sampai, emangnya tidak ada
kuliah ya Put pagi ini?
“Tadi aku sudah kekampus terlebih dahulu mengumpulkan
tugas, makanya aku takut kalau terlambat kesini, kasian kamu kalau terlalu lama
nunggu”.
“Enggak kok Put, seharusnya tidak perlu repot-repot
menjemputku, kamu kan bisa kasi tau alamat kamu dimana, aku bisa datang
sendiri”.
“Ngawur kamu, nanti kalo kamu diculik orang gimana,
aku belum mau tidur dipenjara non Ilmi gara-gara disalahkan jadi penyebab
terculiknya anak gadis orang”.
“Hahaha..bisa aja kamu”.
Mereka mulai asyik bercerita satu sama lain karena
sudah lama tidak bertemu, Putri terlihat mencoba menghibur Ilmi karena dia tau
pasti hatinya pasti sedang tidak karuan.
Becak yang mereka tumpangi pun tiba didepan kost
Putri. Putri mengajak Ilmi masuk dan mempersilahkannya untuk beristirahat,
Putri melihat raut lelah diwajah sahabatnya tersebut.
Kamar kost Ilmi tidak terlalu besar, namun cukup untuk
ditempati berdua. Ilmi melihat sekeliling kamar dan mendapati fotonya bersama
Putri terpajang diatas lemari. Ilmi tersenyum melihatnya. Ia tidak menyangka
Putri memposisikan dirinya menjadi sahabat yang special sehingga masih memajang
foto mereka berdua saat masih sekolah.
“Kamu tinggal sendiri Put disini? Tanya Ilmi pada
Putri setelah memperhatikan sepertinya perabotan dikamar itu hanya milik Putri
saja.
“Ia Put, aku sendiri, makanya aku senang kalo kamu mau
tinggal disini, jadinya kan aku punya temen.” Jawab Putri menggoda.
Ilmi tersenyum mendengarnya, andai saja nasibnya
seberuntung Putri yang bisa melanjutkan kuliah dengan segala fasilitas yang terbilang
lengkap dan mewah. Tapi perasaan itu ia buang jauh-jauh setelah sadar dengan
kondisinya saat itu.
Ilmi pun mulai membenahi barang-barang yang ia bawa,
setelah merapikan semuanya, ia pun beristirahat. Putri harus meninggalkannya
sendirian dikamar tersebut karena ada jadwal kuliah yang harus dia ikuti lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar