15. Pangeran Berkuda Putih (Pelangi Setelah Hujan)
Perlahan jemari tangan Ilmi mulai bergerak hingga akhirnya dia membuka
kelopak matanya. Ilmi tampak heran dan memperhatikan sekelilingnya yang
dirasakannya begitu asing. Ilmi melihat kesisi sebelah kiri tempat tidur ia di
rawat ada seorang gadis yang tertidur dengan tangan yang menggenggam tangan
kirinya. Ilmi mulai teringat akan
peristiwa terakhir yang dialaminya. Ia mulai sadar bahwa dia tidak sadarkan
diri sejak siang hari dan kini terjaga pada saat pukul setengah sepuluh malam.
Ia melihat Putri tertidur pulas di
sisi rajangnya. Ilmi tidak bermaksud membangunkan Putri namun Putri langsung
terjaga karena pergerakan yang dilakukan olehnya.
“Ilmiiiiiiiiiiiiii….syukurlah kamu
sudah sadar”
“Dokter bilang kamu akan siuman
setelah tiga jam selesai operasi, tapi sudah empat jam tidak sadar juga, aku
khawatir tadi”.
Putri tampak begitu bersemangat
mencerita perihal kejadian yang telah menimpa Ilmi. Disamping itu dia sangat senang
karena Ilmi sudah kembali terjaga dari tidurnya.
“Kamu keliatannya capek Put, kalau
mau pulang gak apa-apa kok, aku gak apa-apa disini sendiri, nanti ka nada
suster yang memeriksa beberapa jam sekali” Tutur Imi pada sahabatnya yang
begitu terlihat lelah olehnya sembari menggenggam tangannya.
“Kamu tu ya, selalu bisa bilang
sendiri, gara-gara terlalu pede kemana-mana sendiri makanya jadi kayak gini”.
Bantah Putri dengan juteknya. Ilmi pun tersenyum melihat respon Putri.
“Makasi ya Put, entah apa jadinya
nasibku kalo kamu gak ada disini, tapi kamu tidak bilang ke Ibu kan Put?” Ilmi
takut jikalau Ibunya tahu hal yang menimpa dirinya. Pasti Ibunya akan sangat
khawatir dan akan menambah beban fikirannya.
“Udah kamu tenang aja, semuanya aman
Mi, aku panggilkan perawatnya dulu ya, mana tau ada yang harus diperiksa”.
Putri pun beranjak keluar dari kamar tersebut menuju perawat yang sedang
berjaga guna mengecek keadaan Ilmi yang sudah siuman.
Butiran air mata mengalir di pipi
Ilmi. Ia merasa begitu ceroboh dan bodoh selalu saja menyusahkan orang-orang
disekitarnya. Baru saja ia mendapat perkerjaan dan gaji yang lumayan. Sudah
datang musibah yang harus mengehentikan semua aktivitasnya entah untuk berapa
lama.
Ilmi pun meraba kepalanya yang
terbalut perban. Kepalanya terasa pusing. Samar-sama dia ingat bahwa kepalanya
terbentur karena tertabrak sepeda motor hingga akhirnya dia tidak sadarkan diri
lagi.
Keesokannya setelah mengurus sarapan
pagi dan memastikan kondisi Ilmi yang cukup stabil, Putri mohon pamit untuk
meninggalkan Ilmi karena ada kuliah yang harus diikutinya.
“Nanti kalo sudah pulang kuliah aku
langsung kesini, kalo ada apa-apa jangan langsung kabari aku ya Mi”.
“Ok bos..thanks ya Put” jawab Ilmi
sambil melempar senyuman pada sahabatnya tersebut.
Putri pun bergegas pergi dari ruang
tersebut. Saat hendak keluar dari gerbang ia berpapasan dengan Fadlan yang
sepertinya berniat masuk ke dalam. Fadlan tampak menghampirinya dengan wajah
yang terlihat ramah. Putri agak sedikit bingung dan malu atas sikap kasar yang
dilakukannya semalam.
“Mau kemana Dik, saya baru saja
hendak menjenguk teman Dik Putri”. Terlihat di tangan kanannya menggenggam
bungkusan yang berisi buah-buahan.
“Saya mau pulang Pak, silahkan saja
Pak, tadi dia baru selesai sarapan, dan kebetulan sedang sendiri karena saya
harus buru-buru pergi”. Putri tampak kikuk, disamping rasa tidak enak
dihatinya, dia juga merasa sangat tidak sopan dengan seseorang yang berstatus dosen
ditempatnya kuliah.
Fadlan hanya terheran melihat
ekspresi Putri yang tampak kebingungan dan terlihat lebih sopan. Tapi dia tidak
berbincang banyak dengan gadis berwajah oriental tersebut karena Putri
buru-buru pergi meninggalkannya.
Fadlan pun menuju ke ruangan tempat
Ilmi dirawat. Memasuki ruangan yang berisikan beberapa pasien tersebut, Fadlan
seakan sudah bisa menduga mana Ilmi karena hanya dia pasien yang seumuran
dengan Putri. Fadlan langsung saja menyapa Ilmi dengan nada ramah dan senyum tergambar
jelas di wajahnya.
Ilmi tampak heran dengan lelaki yang
tidak dikenalnya dan tiba-tiba datang menjenguknya. Fadlan tampak lebih
berwibawa hari itu dengan stelan kemeja kerja yang biasa dikenakannya. Lelaki
yang berparas tampan dengan susunan alis bak semut beriring tersebut hampir
membuat Ilmi tidak mengedipkan mata melihatnya.
“Selamat pagi, Dik Ilmi kan?” sapaan
ramah dilemparkan oleh Fadlan sebagai awal pembuka percakapan.
“Iya saya Ilmi, maaf Bapak siapa
ya?” jawab Ilmi yang masih heran namun tetap bersikap ramah ciri khas dirinya
yang selalu dilakukan kepada siapapun.
“Hmmm…Saya Fadlan, panggilan akrab
saya Alan”
“Nama yang bagus sama seperti
orangnya” Bisik Ilmi dalam hati.
“Maaf dik jika saya lancang datang
kesini, karena saya lah semalam yang telah menabrak dik Ilmi hingga jadi
berkondisi seperti sekarang ini”. Alan menghentikan
kata-katanya dan menghela nafas. Ilmi pun sempat terkejut dengan pengakuannya.
Ilmi memperhatikan terdapat beberapa luka di dahi dan lengan laki-laki yang sedang
berdiri di hadapannya tersebut membuatnya yakin bahwa sepertinya ia tidak
sedang berbohong.
“Tidak apa-apa Pak, semalam itu
musibah yang juga terjadi karena kecerobohan saya tidak berhati-hati
menyebrangi jalan”. Ilmi berusaha mencairkan Susana karena melihat ketegangan
diwajah Alan.
Alan merasakan kondisi yang bertolak
belakang dengan apa yang telah dibayangkannya, berdasarkan sikap Putri padanya
semalam, Ia berfikir Ilmi akan lebih histeris lagi mendegarkan pengakuannya.
“Terima kasih Dik, tapi sekali lagi saya mohon maaf”. Balasnya sambil
merekahkan senyum di bibirnya. Perasaan bersalah tidak begitu saja hilang dari
benaknya melihat Ilmi yang menjadi korban kini terbaring tidak berdaya dengan
perban yang melilit kepalanya dan selang infus yang masih menancap di lengan
kanannya. Alan berjanji dalam hati akan mempertanggung jawabakan semua
perbuatannya.
“Iya pak sama-sam, Ilmi juga begitu”
“Jangan panggil saya Pak, panggil
saja saya Mas Alan, umur saya masih 26 tahun kok Mi”.
Ilmi tersenyum mendengar
penuturannya. Penampilannya yang bersahaja dan begitu rapi membuat Ilmi merasa
tidak hormat jika harus memanggil namanya secara langsung. “Baiklah Mas” jawab
Ilmi.
“Saya semalam sudah bertemu dengan
teman kamu Putri waktu membicarakan kasus ini, dia tampak marah sekali dengan
saya”.
“Hehehe…dia memang agak jutek mas apalagi sampai ngeliat saya seperti
ini, pasti dia jadi emosi”.
“Tapi tadi sepertinya dia terburu-buru pergi saat berpapasan dengan saya
di gerbang”.
“Iya dia mau kuliah Mas, dari semalam dia sudah lelah menjaga saya”.
Ilmi menceritakan perihal kedekatan mereka sebagai sahabat. Ilmi juga
mengatakan bahwa Putri bukan saja sahabat melainkan sudah dianggap saudara
olehnya.
Alan nampak asyik mendengarnya. Ia mulai mengerti betapa dekatnya
hubungan mereka. Jadi wajar baginya jika Putri semalam seemosi itu melihatnya.
“Kalau saya boleh tau dia kuliah dimana ya Mi?” tanya alan.
Ilmi pun memberitahukan dimana Putri
mendalami studi Pendidikan Matematikanya yang ternyata juga tempat dimana Alan
mengajar. Alan sedikit terkejut dan mulai paham dengan perubahan sikap Putri
padanya pagi tadi. Ia menduga bahwa Putri pasti sudah mengenalnya sebelumnya
karena mereka berkecimpung di fakultas yang sama.
“Kebetulan ya Mi, saya juga mengajar
disitu sebagai dosen fisika”.
Ilmi sudah menduga bahwa lelaki yang sedang dihadapannya bukan orang
biasa karena tampak dari penampilan dan cara bertutur kata yang terlihat
sebagai seorang yang terpelajar. “Wah..hebat ya Mas, pasti mas pintar, masih
muda sudah jadi dosen”. Penuturan Ilmi tersebut mengembangkan
senyum diwajah Alan.
“Semuanya tergantung usaha Mi, saya juga perantau disini, Orang tua saya
hanya bisa memberikan uang pas-pasan setiap bulan selama masa kuliah saya. Tapi
itu sudah sangat saya syukuri. Saya selalu belajar keras demi mencoba beberapa
beasiswa yang bisa membantu menopang biaya kuliah saya yang akhirnya saya
dapatkan. Alhamdulillah Allah seakan selalu mendengar do’a saya dan membalas
semua jerih payah saya. Seorang dosen mengangkat saya menjadi asisten. Beliau
mengupayakan saya mendapatkan beasiswa untuk S2 dan meminta saya melanjutkan
kuliah sambil mengajar. Saya pun mengikuti saran beliau dan melanjutkan kuliah
sambil mengajar hingga akhirnya saya diangkat menjadi dosen”. Alan terus
menceritakan pengalaman hidupnya yang semakin membuat Ilmi terpana. Sedikitpun
tidak ada rasa benci di hatinya pada Alan akibat kecelakaan yang dialaminya.
Malah ia semakin terkagum akan sosok Alan yang hangat dan penuh potensi itu.
“Maaf Mi, saya jadi terlalu banyak bicara, tapi saya selalu menceritakan
pengalaman saya ini guna membangkitkan semangat adik-adik yang menurut saya
masih mempunyai kesempatan meraih semua hal yang mereka impikan. Asalkan
beruusaha dan berdo’a, Insya Allah semua bisa diraih.
“Wooww…fantastis, Ilmi jadi lupa sama nyeri di kepala Ilmi karena cerita
Mas Alan. Ilmi jadi pengen cepat-cepat sembuh juga biar bisa bekerja lagi Mas”.
Tutur Ilmi yang tampak lebih bersemangat setelah beberapa saat
berbincan-bincang dengan teman barunya tersebut.
Setelah hampir satu jam menghabiskan waktu ngobrol dengan Ilmi, Alan
pamit undur diri karena ada jadwal mengajar yang harus dipenuhinya. Ia juga
melihat Ilmi butuh istirahat. Sementara itu Ilmi cukup senang dengan kehadiran
Alan pagi itu. Tidak pernah dia merasakan senyaman itu berbicara dengan lawan
jenisnya. Setelah Alan keluar dari ruangannya, Ilmi mulai berkenalan pula
dengan pasien-pasien yang ada
disekelilingnya yang rata-rata adalah manula dengan berbagai macam penyakit.
Setelah lelah bertegur sapa Ilmi kembali tertidur diatas ranjang
rawatnya hingga akhirnya kedatangan Putri membawakan makan siang kesukaannya
membangunkan Ilmi dari tidurnya. Ia senang melihat Putri kembali ada
disampingnya ditambah lagi membawakan makanan yang sangat dia sukai.
“Kamu kok cepat pulang kuliahnya Put?”
“Iya nih Mi, dosen untuk sore ini tidak masuk, jadinya aku bisa pulang
sekarang”.
Mereka kemudian menyantap makanan yang dibawa Putri bersama-sama.
Kondisi Ilmi tampak lebih membaik dari sebelumnya, hanya saja dia masih sering
mengeluhkan rasa sakit dikepalanya karena terbentur pada saat kecelakaan
terjadi.
“Hmm…iya Put, tadi orang yang nabrak aku semalam datang kesini, namanya
Alan”.
“Iya Mi, aku sudah kenal, tadi pagi juga papasan kok sama aku”
“Dia baik ya Put, ganteng lagi, hahahaha…” Ilmi tampak malu
mengekspresikan kata-kata terakhirnya.
“Iya memang, tapi semalam sempat aku jutekin, abis aku kesal kenapa dia
seceroboh itu”.
“Gak heran, nona Darting (Darah Tinggi)” julukan yang sedari dulu
diberikan Ilmi pada Putri karena Putri sangat mudah terbawa emosi.
“Hahahaha…malah ternyata dia dosen dikampusku, segan banget Mi rasanya
semalam marah-marahi Bapak itu”.
“Iya tadi Mas Alan juga bilang gitu pas aku kasi tau kamu kuliah dimana.
Hebat banget lo Put, pengalaman hidupnnya luar biasa Put”. Ilmi tampak
bersemangat saat menceritakan segala hal tentang Alan.
“Mas?” tanya Putri heran dengan nada mengejek dan lirikan nakal.
“Hmmm…iya..tadi dia minta dipanggil Mas” jawab Ilmi polos.
“Wah..wah…sepertinya ada something spesial nih yang udah terjadi,
semangat amat ngomongin Alan, upss maksudnya Mas Alan”.
“iiiiicccchhhh apaan sich, biasa aja kok, aku kan Cuma kagum sama dia”
Ilmi kemudian menceritakan semua pengalaman Alan yang tadi diceritakan oleh
Alan padanya. Putri sebenarnya turut kagum karena untuk meraih beasiswa ataupun
diangkat sebagai asdos yang kemudian menjadi dosen bukan hal yang mudah.
Kesempatan yang sangat langka dan hanya bisa di raih oleh Mahasiswa yang
benar-benar jenius.
“Iya..iya dech..tapi dia memang baik kok, semalam dia minta damai atas
kasus ini dan berjanji membiayai semua tanggungan pengobatanmu, pas sorenya aku
ke ruang administrasi, mereka bilang semuanya telah dilunasi oleh Fadlan”.
Papar Putri.
“Masya Allah..kasian ya Put”
“Ya itu kan memang udah resiko dia Mi…”
Putri tak henti-henti membully Ilmi yang tampak sangat care pada Alan.
“Cie…cie…bukannya menumpas bajak laut, malah kesengsem sama pesona
pangeran berkuda putih”.
“Hahahahaha…..” Mereka tertawa bersama-sama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar