16. Maaf
Bus melaju cepat hingga tak terasa
beberapa saat lagi Ilmi akan tiba kembali dikampungnya yang sudah hampir dua
tahun ditinggal olehnya. Banyak hal memenuhi lamunannya sepanjang perjalanan
saat matanya memperhatikan pepohonan yang dilalui sepanjang jalan. Rindu ingin
segera berkumpul lagi ditengah-tengah keluarganya serta berharap dapat melihat
Hafis adiknya segera sembuh menggelayuti fikirannya. Ditambah lagi pertimbangan
akan keputusan yang harus segera diambilnya atas keinginan Alan untuk
mempersunting dirinya benar-benar ingin membuat seisi kepalanya keluar
berhamburan. Ilmi bahkan tidak membertahu Alan mengenai kepulangannya.
Disamping yang memang sangat mendadak, momen pertemuannya tadi malam dianggap
tidak tepat karena ia takut Alan berfikir bahwa ia menghindar darinya.
Sekitar jam setengah sembilan malam
Ilmi tiba dikampungnya. Ilmi pun memanggil becak guna mengantarkannya kerumah.
Sesampainya di depan rumah, tampak Ibunya yang sudah menanti kedatangannya
didepan pintu, Ilmi pun mempercepat langkahnya untuk segera dapat memeluk
Ibunya. Saat hambruk di pelukan sang Ibu, Ilmi tak kuasa menahan air mata yang
mengalir di pipinya. Perasaan senang dan rindu yang tak tak terbendung mewarnai
pertemuan anak dan Ibu tersebut.
“Ibu senang kamu pulang dengan
selamat Mi”
“Iya Bu, Ilmi juga senang bisa
pulang dan bertemu Ibu lagi”
“Kita ke klinik saja ya, Aira disana
menemani Hafis”
Ilmi tak lagi memperdulikan
kondisinya yang lelah karena seharian diperjalanan, bahkan pada saat itu
perutnya belim terisi oleh makanan. Kedua Ibu dan anak tersebut langsung saja
pergi ke klinik. Sesampainya di klinik Ilmi tampak terburu-buru menuju ruang
dimana Hafis dirawat karena tidak sabar ingin melihat keadaan adik bungsunya
itu. Memasuki ruang tersebut, Ilmi melihat Hafis yang tertidur dengan infus
yang terpasang ke lengannya. Tubuhnya tampak kurus dan pucat. Aira pun
menhampirinya dan memeluk kakaknya tersebut. Keluarga yang tak lagi memiliki
sosok seorang ayah itu tenggelam dalam keharuan suasana keluarga.
“Ra senang kakak akhirnya pulang.
Sebelum sakit, Hafis sering menanyakan kapan kakak pulang”. Perkataan Aira
benar-benar menyentuh hati Ilmi, betapa adik bungsunya merindukan dirinya.
“Iya Ra, kakak juga sangat rindu
dengan kalian. Bagaimana perkembangan kondisi Hafis?”
“Alhamdulillah sudah lebih baik kak”
“Syukurlah Ra, kasian dia masih
terlalu kecil sudah harus mengalami sakit separah ini, tubuhnya kurus, padahal
dia biasanya selalu buat kita gemas dengan tubuhnya yang gempal”
Ilmi mendekati Hafis dan duduk di sisi
ranjang adiknya. Diusapnya kepala adiknya tersebut hingga terasa olehnya suhu
tubuh Hafis yang sangat tinggi. Ilmi merasa keputusannya untuk pulang sangatlah
tepat, keluarganya benar-benar dalam kondisi rapuh, setidaknya meskipun dia
tidak bisa membantu banyak, dengan berkumpulnya ia kembali dapat memberikan
semangat yang saat itu sangat dibutuhkan Ibu dan adik-adiknya.
Keesokan harinya Hafis semakin
menunjukkan tanda-tanda semakin membaik. “Jika memang kondisinya memungkinkan,
ia boleh dibawa pulang besok sore”, kata dokter yang memeriksa Hafis malam itu.
Ilmi sekeluarga pun sangat senang karena Hafis benar-benar membaik hari itu.
Setidaknya selain memang sudah membaik, mereka tidak perlu lagi menanggung
biaya klinik yang cukup menguras keuangan mereka yang sangat minim.
Ilmi dan Aira mempersiapkan makanan
untuk dimakan malam itu. Hafis tampak asyik duduk dipangkuan Ibunya, selain
karena tubuhnya yang masih lemah, Hafis juga memang sangat manja. Aira pun
senang akan kehadiran kembali sosok kakak dihidupnya. Masa-masa pertumbuhannya
kearah dewasa benar-benar butuh seorang kakak untuk dijadikan tempat berbagi.
“Kakak gak balik lagi kan kemedan?”
Pertanyaan Aira seakan berharap Ilmi tidak lagi pergi meninggalkan mereka.
“Kakak belum tahu Ra, kalau memang disini
memungkinkan untuk mendapatkan pekerjaan yang mencukupi kebutuhan kita mungkin
saja kakak tidak balik lagi kesana”.
“Ra bisa ikut bekerja kok kak, kakak
dulu bisa bantu Ibu sambil sekolah, kenapa Ra tidak”.
“Jangan Ra, kalian fokus saja
sekolah, kakak tidak mau sekolahmu terganggu”.
“Kita harus kerja sama kak, kakak
jangan takut, Ra tetap menjaga nilai-nilai Ra disekolah tetap baik kok”.
“Sudah jangan bandal, turuti saja
nasehat kakak, ada nanti masanya kalian untuk mencari nafkah, tapi sekarang tugas
kalian menuntut Ilmi dan harus mendapat nilai terbaik”.
“Bukan hanya masalah uang kak, tapi
kami butuh kakak disini, Ibu terkadang sakit-sakitan, Ra butuh kakak sebagai
anak tertua ada disini agar segala masalah bisa kita hadapi bersama”. Kata-kata
terakhir Aira cukup keras sehingga terdengar oleh Ibu mereka, sang Ibu pun
menghampiri kedua Putrinya guna menengahi perdebatan yang sedang terjadi.
“Sudahlah Ra, tidak boleh begitu,
Kakakmu sudah berkorban banyak, biarkan
dia memutuskan sendiri jalan mana yang harus ditempuhnya. Kakakmu bukan
pergi untuk dirinya sendiri melainkan untuk kita semua”.
Ilmi
benar-benar tersentuh hatinya dengan perkataan Ibunya tersebut, Ibunya bisa
saja mengatakan rela jika harus ditinggal pergi lagi olehnya. Namun apa yang
terlihat olehnya di mata sang Ibu tidaklah sama dengan apa yang diucapkan. Sama
seperti Aira, Ibunya juga tampak sangat berharap dia tidak lagi pergi
meninggalkan mereka.
“Tidak Bu, Ilmi tidak akan pergi
lagi. Uang bisa dicari dimana saja, tapi keluarga takkan bisa Ilmi temukan
selain disini”.
Aira
dan Ibunya benar-benar terkejut mendengar apa yang dikatakan oleh Ilmi, mereka
tidak menyangka Ilmi mau memenuhi permintaan mereka. Sejak saat itu Ilmi
memutuskan untuk mencari pekerjaan baru dikampungnya saja. Berharap besar dari
relasi bisnis pamannya, akhirnya Ilmi mendapat pekerjaan sebagai buruh di salah
satu pabrik terasi dikampung mereka. Meskipun gajinya tidak sebesar yang ia
peroleh sebagai seorang kasir, tapi setidaknya dia bisa terus berada ditengah
keluarganya.
Sementara itu, hatinya masih dirundung kegalauan akan pria yang selalu
memenuhi benaknya. Kemungkinan dirinya untuk bisa menerima lamaran Alan
pupuslah sudah. Ia tidak mungkin mengecewakan Ibu dan adik-adiknya dengan
menikah dan pergi meninggalkan mereka karena kondisi pekerjaan Alan yang sudah
menetap dikota lain yang cukup jauh dari tempat mereka.
Sudah seminggu Ia tidak
berkomunikasi dengan Alan. Sedangkan Alan benar-benar harus melewati hari-hari
dalam penantian akan keinginannya memiliki gadis yang sangat dicintainya.
Malam itu tepatnya malam minggu Alan
tak kuasa menahan dirinya untuk bertemu Ilmi. Ia begitu Rindu akan pujaan
hatinya yang setiap waktu mengisi relung hatinya. Selepas sholat Isya, Alan
nekat datang kekost Putri untuk menemui Ilmi, ia tidak perduli jikalau Ilmi
marah padanya yang tidak tepat janji menunggu jawaban darinya. Ia telah siap
dengan semua resiko meskipun ditolak sekalipun demi terlepas dari segala
kegundahan yang beberapa hari belakangan ini selalu menyelimutinya. Saat tiba
dikos Putri, Ia disambut baik oleh Putri meskipun Putri tampak terkejut dengan
kehadirannya.
“Ilmi ada kan Put?” Putri bingung
harus menjawab apa, ia tahu bahwa Ilmi merahasiakan kepulangannya, tapi Putri
juga tidak menyangka Ilmi sampai saat itu belum memberi tahu Alan dimana
dirinya. Melihat Alan yang begitu berharap dapat bertemu sahabatnya tersebut
membuat Putri Iba dan akhirnya menceritakan semua yang terjadi. Mendengar hal
itu Alan shock berat. Nampak jelas kekecewaan mewarnai raut wajahnya. Alan
tidak menyangka jika Ilmi harus merahasiakan kepulangannya darinya.
Malam itu Alan benar-benar diliputi
gundah dan gelisah. Ia bingung apa yang harus diperbuatnya. Disamping ia sangat
ingin mengetahui jawaban yang akan diberikan Ilmi padanya, Ia juga khawatir
dengan keadaan keluarga Ilmi disana. Lama Alan terdiam membisu dikamarnya
sambil memegang ponselnya. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk menelpon Ilmi
dan mencari tahu kebenarannya.
“Halo…Assalamualaikum” Ilmi akhirnya menjawab telpon dari Alan setelah
sekitar empat kali ponselnya dibiarkan begitu saja berdering. Mendengar sahutan
dari Ilmi, Alan pun senang lah hatinya.
“Waalaikumsalam…maaf Mi kalau aku mengganggumu”
“Tidak kok Mas”
Lama mereka terdiam membisu. Ilmi
bingung dengan maksud Alan menelponnya. Ia menduga jika Alan tidak sabar
menanti keputusannya, namun ia juga berfikiran sepertinya Alan sudah mengetahui
keberadaannya. Sementara itu Alan cukup lega hatinya bisa mendengar kembali
suara Ilmi yang sudah hampir seminggu tidak terdengar olehnya.
“Bagaimana kabar Hafis Mi, sudah
sembuh kan?”
Ilmi tidak menduga Alan langsung
bertanya akan hal itu, ternyata benar dugaannya bahwa Alan telah mengetahui
kepulangannya.
“Alhamdulillah sudah Mas. Mas
maafkan Ilmi karena tidak memberitahukan kepulangan Ilmi kepada Mas”.
“Tidak perlu minta maaf. Jujur aku
sedikit kecewa ternyata aku belum sepenuhnya dijadikan sahabat tempatmu
berbagi, tapi memang aku tidak berhak untuk tau sepenuhnya tentangmu”.
“Bukan begitu Mas, sebenarnya malam
itu Ilmi ingin cerita sama Mas, Tapi Ilmi tidak mau Mas mengira Ilmi mencoba
menghindar dari Mas”.
“Iya Mi sudahlah, aku mengerti. Aku
menelpon hanya ingin tahu kabarmu dan Hafis, sampaikan salamku pada Ibu ya”.
“Iya Mas terimakasih, nanti Ilmi
sampaikan, tapi jangan tutup dulu telponnya”.
Alan sempat berdegup jantungnya
seakan tahu apa yang hendak disampaikan Ilmi selanjutnya.
“Sekali lagi Ilmi mohon maaf Mas,
Ilmi tidak bisa menerima lamaran Mas Alan”. Ilmi benar-benar berat untuk
mengatakan keputusannya saat itu, namun ia juga tidak mampu untuk memendamnya
lebih lama lagi, karena sampai kapanpun jawabannya tidaklah berubah.
“Kenapa Mi, boleh aku tau
alasannya?”
“Mas pasti juga sudah tau kalau Ilmi
juga sangat menyayangi Mas Alan, tapi kondisi yang membuat kita tidak bisa
bersatu Mas. Ilmi tidak mungkin mementingkan diri sendiri sementara disini Ibu
dan adik-adik sangat membutuhkan Ilmi ada diantara mereka. Ilmi sudah mendapat
pekerjaan baru disini, Ilmi tidak akan balik lagi kesana. Sementara Mas Alan
tidak mungkin meninggalkan kota itu. Disanalah tempat Mas, disanalah Mas
mendapatkan rezeki, semuanya sudah cukup jadi alasan kalau kita memang tidak
bisa bersatu”. Tanpa disadarinya air mata mengalir semakin deras di pipinya,
terasa begitu sakit olehnya saat ia harus menolak semua angan-angan indahnya
itu. Ilmi tidak pernah membayangkan sebelumnya aka nada seorang pria yang
begitu sepenuh hati menginginkan dirinya untuk jadi pendamping. Hingga akhirnya
waktu mempertemukan, disaat itu juga ia harus ikhlas melepasnya karena keluarga
lebih utama baginya.
“Iya Mi, aku bisa memahaminya,
terima kasih sudah hadir di hidupku, aku yakin jika memang Ilmi yang telah
ditakdirkan oleh-Nya untukku, kita pasti akan bersatu”. Terdengar nada suara
Alan mulai rendah, tak terkira lagi hancur hatinya malam itu saat mengetahui
semua kenyataan pahit yang harus diterimanya disaat bersamaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar