Kamis, 21 Februari 2013

BAB 2 "Pelangi setelah hujan"


Medali Perak

Ilmi tiba digerbang sekolah tepat 10 menit lagi bel akan berbunyi. Keadaan sudah ramai, langkahnya sedikit gontai karena tidak enak badan ditambah lagi baju lembab yang begitu tidak nyaman dikenakan.
Memasuki ruang kelas dan duduk ditempat duduknya. Putri memperhatikannya dengan seksama. “kamu sakit mi?” tanya putri sembari meletakkan tangannya di dahi Ilmi untuk memeriksa suhu badannya.
“Iya gak enak badan Put, semalam kehujanan pulang sekolah” jawabnya sembari memasukkan tas kedalam laci.
“Kenapa sekolah, kan bisa izin, hari ini kan kita gak ada tugas,,hmmm, sebentar ya..” putri tiba-tiba saja pergi keluar kelas. Ilmi pun membaringkan kepalanya ke meja, kepalanya terasa semakin sakit.
“Nih minum dulu obatnya mi” tiba-tiba Putri datang dan menyodorkan parasetamol dan secangkir air putih. Ilmi pun tersipu, Putri benar-benar sahabatnya yang paling mulia hatinya. Dia selalu mengerti akan keadaan ilmi. Meskipun anak orang yang serba berkecukupan, sedikitpun dia tidak pernah bersikap sombong dan memilih-milih dalam pertemanan.
            “Terima kasih banyak ya Put, seharusnya kamu gak usah repot-repot, aku cuma gak enak badan aja koq”
            “Udah gak usah terima kasih begitu, namanya juga teman, masak ngeliat temennya sakit dibiarin gitu aja, jahat itu namanya”. Jawabnya sambil tersenyum dan menepuk-nepuk bahu ilmi. Kebiasaan yang sering dia lakukan yang terkadang membuat Ilmi begitu nyaman.
            Bu Ratna guru Bahasa Inggris mereka pun masuk kekelas. Pelajaran yang menjadi favorit Ilmi juga yang menjadi alasannya memaksakan diri untuk hadir hari itu. Ilmi adalah siswi yang cerdas terutama dalam pelajaran Bahasa Inggris. Setiap olimpiade yang diadakan oleh sekolah selalu bisa diraihnya juara pertama. Kemampuan berbahasa inggrisnya itu diperoleh saat Ilmi masih tinggal dikota yang memungkinkannya mengikuti berbagai les termasuk les Bahasa Inggris.
            “Good morning my students, before we start our lesson today, I will give information about your friend” Bu Ratna membuka percakapan yang membuat para murid sedikit penasaran tentang pengumuman yang akan dia sampaikan.
            “Teman kalian mendapat juara 2 dalam lomba pidato Bahasa Inggris sekabupaten kemarin, selamat untuk Hayati Ilmi” Bu Ratna memberitahu kabar yang benar-benar membuat Ilmi gembira dan memintanya maju kedepan kelas. Ilmi menerima penghargaan berupa medali perak dan sejumlah uang saku.
            “Thank you so much Mam, I can get it cause you always give me support” Ilmi pun menyampaikan rasa terima kasih nya kepada semua sahabat-sahabatnya yang juga mendukungnya untuk mengikuti lomba tersebut.
Ilmi tidak menyangka akan menerima surprise istimewa di hari itu. Betapa uang saku itu begitu berarti untuknya. Setidaknya kabar gembira itu pasti akan membahagiakan hati kedua orang tuanya, dan bukti bahwa dia benar sungguh-sungguh dalam belajar.
“Aku kan udah bilang Mi, kamu pasti menang, selamat ya Mi”.
“Iya Put, thanks ya”.
Bel pulang pun berbunyi, semua murid berhamburan dari kelas hendak pulang kerumah. Begitu juga Ilmi, tak sabar rasanya ia ingin secepatnya tiba dirumah dan menunggu kedua orang tuanya pulang bekerja untuk menyampaikan kabar gembira itu.
“Ayo ikut sama aku Mi, nih aku lagi dijeput Ayahku, rumah kita kan satu arah” tiba-tiba Putri yang sedang dibonceng Ayahnya menghampirinya dan menawari tumpangan. Ilmi sempat menolak namun Putri memaksanya untuk ikut dan Ilmi pun dengan senang hati menerima.
Ayah Putri juga sangat baik, tidak heran kalau anaknya sebaik Putri. Benar kata pepatah, buah jatuh tak jauh dari pohonnya.
“Jadi ini ya Put yang namanya Ilmi yang pintar itu?” tanya Ayahnya yang membuat Ilmi merasa terlalu dipuji.
“Bapak ini bisa aja, Putri malah yang pintar pak” jawab Ilmi sambil tersipu.
“Bohong dia yah, Ilmi itu paling pintar dikelas, apalagi pelajaran Bahasa Inggris, udah kayak orang barat ngomongnya” mereka pun tertawa bersama karena gurauan yang dikatakan Putri.
Ilmi benar-benar bahagia mempunya sahabat sebaik Putri, dia sering berfikir entah dengan apa membalas kebaikan sahabatnya tersebut. Dan akhirnya mereka tiba didepan rumah Ilmi.
“Sampaikan salam bapak untuk kedua orang tua Ilmi ya”
“Iya Pak nanti Ilmi sampaikan, terima kasih banyak ya Pak, Put udah kasi ilmi tumpangan” jawab ilmi penuh rasa terima kasih.
“Iya sama-sama, kita memang harus saling membantu” sahut Ayah Putri sembari pergi.
Ilmi pun berjalan menuju rumahnya. Tidak seperti biasanya, terlihat sepi tidak ada hafis adiknya yang biasa bermain-main dengan anak tetangga. Sesampainya dirumah ternyata benar, terlihat gembok menggantung pada pintu. Ilmi pun heran, kenapa rumh dikunci dan kemana adiknya.
“Baru pulang Mi?” salah seorang tetangga bertanya padanya saat melihat ia berdiri sendiri didepan rumah.
“Ia kak, kakak tau gak kemana adik saya?, saya heran kenapa rumah dikunci?” tanya Ilmi gelisah.
“Tadi kalau tidak salah kakak lihat ibumu terburu-buru menjeput adikmu, sepertinya ayahmu sakit mi, mungkin dibawa ke klinik yang didekat Bank Mandiri” jelas tetangganya.
Ilmi sontak terkejut mendengar berita tersebut dan tanpa sengaja medali yang iya pegang terlepas dari tangannya dan jatuh ketanah. Medali yang sedari tadi tak sabar ingin ia perlihatkan pada bapaknya. Air mata mulai menetes di pipinya, membasahi wajah yang sedari tadi begitu indah di hiasi senyum kemenangan namun kini berubah muram.
Dengan uang saku hadiah juara 2 lomba pidato yang tadi ia terima, ilmi memutuskan menyusul ke klinik yang mungkin menjadi tempat ayahnya dirawat.

Jumat, 15 Februari 2013

Pelangi Setelah Hujan

Bissmillahirrahmanirrahim...
Kisah ini dipersembahkan untuk seorang sahabat dimana perjalanan hidupnya benar-benar memotivasiku untuk tetap bersyukur dengan apa yang telah ku miliki saat ini.

Kisah yang menyadarkan kita untuk tetap sabar dalam menghadapi segala cobaan dan tetap berjuang untuk melewati cobaan hidup. Ikhlas menerima segala yang telah digariskan oleh-Nya dan meyakini ada hikmah dibalik semua yang terjadi.
Sebuah novel berjudul "Pelangi Setelah Hujan"



BAB 1
Pasang Surut keluargaku
           
      Ilmi menatap langit yang mulai tertutup awan kelabu pertanda akan segera turun hujan. Ia menyingsingkan rok abu-abu seragam sekolahnya agar bisa mempercepat langkahnya. Satu-persatu teman-temannya berlalu mendahuluinya, bukan jalan kaki sepertinya melainkan menaiki kendaraan meskipun sekedar naik ojek atau becak. Tiga setengah kilo meter harus ia tempuh setiap hari pulang dan pergi demi menempuh harapan menamatkan sekolah dan menggapai cita-cita.
            Beberapa puluh meter menuju rumah akhirnya hujan pun turun begitu derasnya. Ilmi basah kuyup. Sepatunya kotor terkena lumpur. Sesampainya dirumah ia segera mengambil beberapa ember untuk menampung tetesan hujan yang membasahi rumah karena atap yang bocor. Kemudian mengeringkan tubuhnya dengan handuk lalu bergegas mengeringkan pakaian dan mencuci sepatu yang besok harus kembali ia gunakan karena itu adalah satu-satunya seragam sekolah yang ia miliki.
            Setiap harinya seperti itu, bukan hanya basah kuyup karena diguyur hujan, tak jarang juga bajunya basah kuyup karena keringat yang mengucur akibat panasnya sengatan sinar matahari.
            “Bapak dan ibu belum pulang Fis?” tanya ilmi pada adik sulungnya yang masih berumur lima tahun.
            “Belum kak” sambil terus memainkan robot-robot kesayangannya dengan anak tetangga. Robot yang lima tahun lalu masih sanggup dibelikan oleh sang bapak untuk adiknya meskipun dengan harga yang mahal.
            Namun sekarang semua berbeda, tak jarang kami hanya makan dengan nasi putih dan garam  saja. Ibu dan bapak bekerja keras setiap hari demi melunasi hutang-hutang peminjaman uang yang dulu digunakan untuk biaya mengobati bapak dirumah sakit.
            Ilmi terlahir sebagai anak tertua dari keluarga berkecukupan yang berpemukiman dikota besar. Bapaknya bekerja sebagai asisten menejer disebuah perusahaan otomotif, dan sang Ibu hanya sebagai ibu rumah tangga yang setiap harinya mengurus Ilmi dan kedua orang adiknya. Ilmi dan adiknya bersekolah disekolah favorit dan menikmati segala fasilitas yang menunjang kebutuhan mereka.
Empat tahun lalu semua berubah. Bapaknya menderita struk yang terpaksa harus dirawat dirumah sakit selama beberapa bulan. Perusahan menghentikan gaji dan akhirnya memecat bapaknya. Semua tabungan terkuras, mobil, speda motor dan beberapa barang berharga milik keluarganya pun terjual untuk biaya pengobatan. Saat bapaknya pulih, mereka hanya  memiliki rumah yang mereka tempati, hanya itu lah harta yang tersisa. Ibu dan bapaknya memutuskan menjual rumah tersebut dan pindah ke daerah pinggiran dekat keluarga sang bapak. Uang penjualan rumah digunakan untuk membeli rumah kecil yang begitu sempit untuk kami tempati berlima, sisanya digunakan untuk mencicil hutang dengan saudara bapak.
Kami tinggal dengan perabotan seadanya. Tidak ada barang yang tersisa dari kota, semua habis terjual. Suasana baru ini begitu kontras dengan kehidupan Ilmi yang dulu.
Kepindahan mereka bertepatan dengan lulusnya ilmi SMP dan adiknya lulus dari SD. Namun sulitnya ekonomi yang kini di alami keluarganya mengakibatkan adiknya bersekolah dipekan baru diasuh oleh pamannya. Bapaknya takut tidak sanggup membiayai sekolah anak-anaknya sehingga mengikhlaskan anak keduanya diasuh oleh adik sang istri dipekan baru.
Hari hampir senja. Ilmi dan adiknya duduk diberanda rumah menunggu Bapak dan Ibunya pulang. Terlihat dikejauhan dua orang paruh baya berjalan beriringan menginjak beceknya jalanan sisa dari hujan siang itu. Tak ada lagi suara klakson mobil yang dulu sering Ilmi dengar pertanda bapaknya pulang bekerja.
“Assalamulaikum” salam dari kedua orang tuanya serempak saat memasuki rumah.
“Waalaikumsalam” jawab ilmi dan sang adik menyambut gembira. Adiknya pun langsung minta digendong oleh ayahnya, maklum lah, hafis anak sulung yang begitu manja.
“Kapan bapak belikan hafis robot-robotan yang baru”? tanya hafis polos, dia masih terlalu kecil yang masih belum mengerti dengan keadaan.
“Sabar ya sayang, pokoknya nanti hafis Bapak belikan robot-robotan yang baru” jawab bapaknya menenangkan putra sulungnya.
Ilmi dan Ibunya terhenyak mendengar penuturan tersebut, mereka tidak tahu entah kapan janji itu dapat terpenuhi.
“Kamu tadi kehujanan mi?” tanya ibunya melihat seragam sekolah yang ia jemur didapur. “Iya bu” jawabnya sambil membereskan perlengkapan kerja ibunya.
Keesokan harinya seragam itu masih lembab, namun terpaksa harus ia gunakan karena tidak ada seragam lain. Tidak ada alasan untuk tidak sekolah baginya selagi kakinya masih mampu ia gunakan untuk berjalan. Seusai sarapan dengan ubi goreng dan air hangat ilmi bergegas berangkat kesekolah meskipun jalanan masih begitu sepi dan mataharipun belum keluar dari peraduannya.
“Ibu hanya bisa memberi jajan segini nak” sambil memberikan uang jajan seribu rupiah kepadanya.
“Trima kasih bu, ini sudah lebih dari cukup, yang penting bukan jajan, tapi menimba ilmu disekolah” sambil mencium tangan ibunya dan berpamitan dengan bapaknya. Tak jarang uang jajan itu tidak dipergunakan olehnya. Ia lebih memilih menabungnya berharap suatu saat dapat dipergunakan pada saat yang tepat.

Senin, 04 Februari 2013

Penyesalan Terakhir


 Aku masih memperhatikan jam tanganku. Masih satu jam lagi dari waktu janjianku dengan Ilmi. Pekerjaanku begitu menumpuk, hampir  tidak ada waktu bagiku untuk bersantai, apalagi menemaninya entah itu untuk urusan apa, hingga akhirnya aku memutuskan membatalkan janji itu.
 “Mi, perginya dibatalin aja ya, aku mendadak ada urusan” jelasku pada ilmi saat aku menelponnya.
“Selalu batalin janji, kalo memang gak bisa, gak usah janjiin segala, yaudalah” ilmi pun langsung menutup telponku.
Aku sudah bisa menebak, dia pasti akan marah. Itu yang aku gak suka dari dia, sedikitpun gak bisa menahan emosinya, selalu memaksakan apa yang ia mau.
Belum lama hubungan ini ku jalani dengannya, baru berkisar delapan bulan.  Ada sedikit rasa jenuh dihatiku yang aku tidak tahu apa penyebabnya. Ilmi adalah wanita yang baik, setia, terlebih dia juga bisa menerimaku apa adanya.
Namun, belakangan ini kejenuhan itu menghampiriku. Terkadang dia begitu egois, keinginannya harus selalu dituruti. Aku dengan segala rutinitasku menuntut pengertian darinya yang begitu sulit ku dapatkan.
Seperti malam ini, terasa malas bertemu dengannya walau sekedar untuk mengapeli nya di malam minggu. Komunikasi kami akan terputus begitu saja jika aku tidak membujuknya. Padahal yang ku inginkan sifat kedewasaan darinya. 
 Aku pun mencoba menelponnya, namun nihil, dia tidak mau menerima telponku. Ilmi benar-benar manja, mungkin karena terlahir sebagai anak bungsu  yang menjadikan sifatnya selalu ingin menang sendiri.
Terkadang terbesit difikiranku untuk mengakhiri segalanya, tapi aku merasa kasihan dengannya, aku tidak tega menyakiti hatinya. Rasa suntuk benar-benar menghampiriku. Aku benar-benar butuh seseorang untuk berbagi.
           Aku memutuskan pergi kerumah sahabatku vina, dia sahabatku sejak SMP, terkadang aku juga sering curhat ke vina masalah hubunganku dengan Ilmi. Berbeda dengan ilmi, vina begitu dewasa, dia selalu bisa mengerti perasaanku. Tak jarang aku merasa kagum terhadapnya, hati kecilku berharap ilmi bisa memiliki sifat sepertinya. Bahkan sesekali ada keinginanku untuk melepas ilmi dan memiliki vina.
                Aku tiba didepan rumah vina, dia kebetulan sedang duduk diberanda rumahnya sendirian.
“Fis, tumben kamu kesini malam minggu, berantem lagi sama ilmi”? sembari mempersilahkanku masuk
“Biasalah vin, masalah kecil dibesar-besarkan sama dia”.
“cerita donk ke aku”
“uda lha vin, bosan bahas dia terus, intinya dia tetap dengan sikapnya yang hanya mau menang sendiri itu”
“kamu yang sabar ya fis, menghadapi perempuan itu memang butuh kesabaran ekstra”
“iya vin, thanks ya, kita jalan-jalan yuk, aku bete banget nih”
“Boleh, aku ganti baju dulu ya”
Kami pun pergi jalan-jalan mengitari jalanan kota dengan speda motorku, terasa begitu nyaman didekat wanita ini fikirku dalam hati, namun aku juga teringat akan ilmi, aku teringat masa-masa indah saat kami baru pacaran dulu, tidak ada pertengkaran, semuanya berjalan indah.
                Sembari berbincang-bincang, dari arah berlawanan aku melihat Ilmi yang juga sedang bersepeda motor membonceng adik sepupunya, dan kami pun berpapasan.
Aku benar-benar terkejut, aku bisa meilhat bagaimana ekspresi ilmi saat berpapasan denganku tadi, penuh luka kecewa tersirat diwajahnya. Ia pasti benar-benar marah bahkan membenciku.
“Masya Allah Fis, itu ilmi kan”?
“iya Vin” jawabku singkat tanpa bisa berkata-kata lagi.
“tunggu apa lagi, cepat kejar dia, dia bisa salah faham dengan kita” jelas vina.
Aku langsung memutar speda motorku dan mengejarnya, terlihat ilmi juga memacu motornya dengan begitu kencang, namun aku berhasil memotongnya. Dia pun menghentikan motornya.
“Mi, maafin aku, ini gak seperti yang kamu fikirkan” jelasku padanya.
“Tutup mulutmu, aku gak butuh segala omong kosongmu” bentaknya, terlihat ia begitu marah dan membenciku.
“ternyata ini alasan dari semua janji-janji yang kamu batalin ke aku selama ini?, aku benci sama kamu fis”. Ilmi menyalakan lagi sepeda motornya, iya gas dengan sekencang-kencangnya.
Aku mencoba mengejarnya, namun na’asnya,  dari arah kanan ada mobil yang juga  melaju dengan knecangnya, dan tabrakan itu tidak dapat dihindari. Aku menyaksikan sendiri ilmi bersimbahan darah tergeletak tak berdaya.
Hatiku hancur, warga ramai mengerumuni lokasi kejadian, dan akhirnya aku melihat tubuhnya diangkut dengan ambulance.
“Fis, ayo kita susul ilmi kerumah sakit” ajak vina dari belakang.
Aku seakan mematung, rasanya begitu shock, tidak tahu harus berbuat apa, hingga akhirnya kami pun tiba dirumah sakit tempat ilmi dirawat.
Aku melihat keluarganya berkumpul didepan ruang UGD, dan dari kakaknya ku ketahui ilmi kritis karena kehabisan banyak darah. Aku sontak membenci diiriku sendiri, ini semua terjadi karena salahku. Seharusnya aku tidak lari dari masalah dan seharusnya aku kerumah ilmi dan membujuknya, pasti hatinya senang.
Jika memang dia tidak dewasa, mengapa aku juga tidak bisa mencotohkan sikap kedewasaan dengannya, seharusnya aku mengalah, seharusnya aku yang ajari dia untuk tidak selalu memaksakan kehendak ke orang lain. Dan seharusnya........ya...semua sudah terlambat, hanya bisa ku sesali.
Andai malam ini aku bisa sedikit mengalah untuknya, pasti ini tidak akan terjadi. Segala penyesalan itu menari-nari dibenakku. Aku tidak mungkin bisa memaafkan diriku sendiri jika hal yang lebih buruk lagi terjadi dengannya. Aku memukul-mukul kepalaku merasa diriku begitu bodohnya.
Vina mencoba menenangkanku, “udahlah fis, udah takdirnya harus begini, jangan menyalahkan dirimu”.
Tapi tidak semudah itu bagiku menerima kenyataan yang ada, aku lebih memilih dia memarahiku sesuka hatinya daripada melihatnya terbaring tak berdaya seperti sekarang. Dibalik kekesalanku selama ini terhadap sikap ilmi, tersadar aku memiliki cinta yang juga begitu besar untuknya, itu juga yang baru kusadari menjadi alasan mengapa selama ini aku tidak mampu meninggalkannya.
Selang beberapa saat kemudian dokter memberi tahu bahwa ilmi telah selamat dari masa-masa kritisnya, dia dapat tertolong karena cepat mendapatkan transfusi darah. Aku benar-benar bahagia. Aku tidak tahu betapa bencinya aku akan diriku sendiri jika ilmi tidak terselamatkan.
Sudah lima hari ilmi terbaring dirumah sakit dan belum juga sadarkan diri. Setiap hari pula aku datang menjenguknya, jika diizinkan, akupun rela menemaninya dalam lelap istirahatnya.
Semakin hari semakin aku sadar aku benar-benar menyayanginya.  Aku menyadari betapapun pucatnya ia dalam sakitnya, namun ia tetap terlihat cantik dan mempesona. Aku menginginkan ia secepatnya siuman agar aku bisa meminta maaf atas segala kesalahanku padanya.
Hari ketujuh saat aku berada disis tempat tidurnya, dia mulai menggerakan tangan dan membuka matanya. Seluruh keluarga begitu senang, terlebih aku. Aku melihatnya tersenyum lagi, tapi rasanya  aku penuh dosa hingga memutskan untuk pergi, aku takut ilmi malah jadi down lagi melihatku. Namun saat aku melangkah pergi, aku tak menyangka dia memanggilku.
“Fis, mau kemana, kok pergi”?
“Udah satu minggu kamu nemenin aku disini, nangis penuh penyesalan disampingku, masak saat aku siuman kamu malah pergi, jahat” tuturnya dengan suara yang terdengar begitu lemah.
Aku berbalik dan memeluknya, aku sangat merindukannya.
“Tapi kamu kok tau aku disini selama ini nemenin kamu”? tanyaku heran.
“Yang lumpuh kan tubuhku, tapi batinku masih sadar” jawabnya asal. Aku pencet hidungnya, dan dia menjerit manja.
“Aku minta maaf mi, aku salah sebagai pacar gak bisa memahami karaktermu, aku terlalu menuntutmu sesempurna yang ku harapkan.
“Aku rindu dimarahi olehmu, rindu melihatmu merajuk, rindu dengan sifat keras kepalamu yang gak pernah mau ngalah kalo ngomong”. Jelasku sambil kembali memeluknya. Ilmi tertawa, dia mencubitku.
“Kok malah ngomongin kekuranganku terus sih, ini pernyataan bersalah atau malah menghakimi”? tanyanya yang membuatku juga tertawa.
“Aku juga banyak salah Fis, egoku begitu tinggi, keras kepala, pasti kamu sering kesal gara-gara aku. Masalah kecelakaan ini bukan salah kamu fis, aku aja yang memang ceroboh, untung Allah masih baik izinin aku buat ketemu kamu lagi dan minta maaf, kalo enggak, gak kebayang aku bakal gentayangan cemburu setengah mati liat kamu jadi milik orang, hehehe”. Kami kembali tertawa.
Begitulah ilmiku, dibalik segala kekurangannya, dia punya hati yang mulia yang takkan pernah kubiarkan tersakiti lagi oleh kebodohanku.