Jumat, 26 April 2013

BAB 7 & 8 "Pelangi setelah hujan"



Pengorbanan

Setelah tamat sekolah, Ilmi mulai bisa fokus bekerja dan tidak lagi harus membagi waktu dengan sekolah. Satu-persatu teman-temannya meninggalkan kampung halaman guna melanjutkan kulyah ataupun bekerja didaerah lain. Sementara itu, Ilmi masih memilih tetap bekerja dikampung saja karena tidak mungkin baginya meninggalkan sang Ibu berdua dengan adik bungsunya yang masih begitu kecil.
Kepergian Bapak masih terlihat meninggalkan kesedihan yang mendalam di hati Ibunya. Ilmi berupaya keras mengembalikan  semangat di hati wanita yang paling dicintainya itu untuk tetap berdiri tegar meski tanpa kehadiran Bapaknya.
Seperti biasanya, menjelang terbenamnya sang surya, Ilmi dan Ibunya pun hampir tiba dirumah yang selalu ditunggu oleh si bungsu Hafis. Melihat kakak dan Ibunya, Hafis berlari mengejar meminta digendong seperti yang sering dia lakukan saat Bapak masih ada.
“Hafis mau dibeliin tas seperti punya Rian Bu” pinta hafis pada ibunya saat digendong.
“Siapa itu Rian nak?” Tanya Ibu pada si bungsu.
“Teman sekelas hafis yang rumahnya cantik disamping balai desa itu bu” jelas hafis.
Ibunya sudah bisa membayangkan pasti tas yang dimiliki anak tersebut sangat bagus, karena Rian adalah Putra dari seorang anggota dewan. Ibunya tahu, bahwa ia tidak mungkin mampu menuruti kemauan sang buah hati karena sudah bisa menyekolahkannya saja sudah sangat disyukuri oleh wanita paruh baya itu.
“Bukannya tas hafis masih bagus sayang, untuk apa dibeli lagi, itu namanya memboroskan uang, dan Allah membenci orang-orang yang memboros, Hafis mau dibenci sama Allah?” jelas ibunya dengan lemah lembut kepada hafis.
“Tidak bu, Hafis gak mau buat bapak yang lagi disurga jadi sedih kalo Hafis dibenci Allah” jawab bocah enam tahun itu yang membuat mata ibunya berkaca-kaca.
“Pintar, hafis harus jadi anak yang soleh ya, supaya bapak tetap di surga” sahut sang Ibu sambil memeluk Putra bungsunya tersebut. Ilmi pun hanya bisa tersenyum menyaksikan percakapan itu. Dia merasa beruntung memiliki adik yang sangat baik seperti Hafis.
Mereka pun masuk kedalam rumah, setelah selesai mandi dan berkumandangnya azan magrib, mereka melaksanakan sholat magrib. Seusai sholat, seperti biasanya Ilmi membantu Ibunya menyediakan makan malam. Disela-sela memasak makanan, Ibunya tiba-tiba mengatakan rindu pada adiknya Aira yang kini berada dipekan baru.
Aira pergi ke pekan baru bersama adik dari Ibunya sejak memasuki SMP, dan kini Aira tentunya sudah tumbuh dewasa dan duduk di bangku SMA. Ilmi mengerti akan rasa kerinduan Ibunya pada adiknya tersebut, apalagi dulu Ibu benar-benar sulit mengikhlaskan Aira pergi jika tidak memikirkan ekonomi keluarga yang tidak mampu menopang biaya pendidikan seluruh anak-anaknya kelak.
“Sudah empat tahun tidak bertemu dengan Aira, Ibu rindu Mi, sekarang dia pasti semakin cantik dan sudah dewasa” Tutur sang Ibu penuh nada sedih kerinduan.
“Ilmi juga rindu dia Bu, dulu saja dia sudah cantik dengan matanya yang mempesona yang selalu membuat Ilmi iri, psti sekarang semakin cantik lagi” jawab Ilmi.
“Tadi pagi Bu Ijah datang waktu Ilmi mengantar Hafis kesekolah” Jelas Ibunya padanya.
Buk ijah selama ini menjadi tempat penghubung komunikasi antara Keluarga Ilmi dengan adiknya dipekan baru. Tidak memiliki alat komunikasi mengakibatkan adiknya maupun keluarga Ilmi menumpang dengan buk ijah untuk dapat berkomunikasi satu sama lain.
“Aira sehat kan bu disana?” Tanya Ilmi mencari tahu tentang pembicaraan Ibunya dengan adiknya tadi pagi.
“Iya dia sehat, dia mengatakan  ingin pulang dan melanjutkan sekolah di sini saja, tapi Ibu belum bisa memberi jawaban apa-apa, Ibu hanya memintanya untuk bersabar dan tetap bertahan tinggal disana”.
Ibunya belum berani mengabulkan permintaan Putri keduanya tersebut karena takut malah tidak mampu membiayai sekolahnya kelak, Ibunya juga tidak ingin Aira bekerja sambil sekolah seperti apa yang dulu dilakukan Ilmi. Cukup baginya melihat Ilmi berjuang untuk untuk keluarga.
“Kenapa Ibu tidak mengiyakan saja bu, Ilmi kan sudah  tamat sekolah, uang gaji Ilmi juga cukup untuk digunakan menyekolahkannya”
Namun bagi Ibunya tidak semudah itu, selain Hafis yang kini juga sudah sekolah, hutang yang masih harus terus dicicil dengan adik almarhum Bapaknya juga menjadi tanggung jawab yang cukup berat. Ibunya tidak ingin hubungan kekeluargaan dengan adik iparnya yang sudah kurang harmonis menjadi lebih buruk lagi. Mungkin bagi pamannya hutang mereka tidaklah begitu berarti untuk dijadikan permasalahan, tapi Ibunya mengerti bahwa Pamannya memiliki istri yang belum tentu bisa begitu saja untuk mengikhlaskan.
“Gaji kita berdua saja sudah pas-pasan untuk biaya sehari-hari, mencicil hutang dan menyekolahkan Hafis, kita dapat uang darimana lagi untuk bisa menyekolahkan Aira disini” Jelas ibunya yang mulai berurai air mata.
Ilmi jadi merasa bersalah, tidak seharusnya dia mencoba memaksakan apa yang tidak mampu dipenuhi oleh Ibunya. Ibunya pasti lebih tau mana yang terbaik untuk anak-anaknya.
“Bagaimana jika Ilmi yang kesana Bu, sedangkan Aira pulang, disana Ilmi bisa bekerja di perkebunan tempat paman bekerja yang gajinya pasti lebih besar daripada menjadi karyawan disini, jadi uangnya bisa Ibu gunakan untuk menyekolahkan Aira juga”.
Ilmi mencoba menjelaskan kembali niat baiknya untuk bisa memenuhi keinginan adiknya untuk pulang. Ilmi mengerti akan rindunya seorang anak yang bertahun-tahun tidak bertemu dengan keluarganya. Ditambah lagi dia tidak bisa berada di sisi sang Bapak saat prosesi pemakamannya. Sedangkan Ilmi sudah cukup mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya selama ini. Hal itu yang memutuskannya untuk pergi bertukar tempat dengan adiknya.
“Kamu serius nak?” Tanya ibunya terheran mendengar penuturan putrinya tersebut.
“Iya bu, nanti kan kalo Aira sudah tamat Ilmi bisa pulang lagi, biarlah dia pulang, dia pasti juga ingin seperti kami yang selama ini tinggal bersama ibu’’
Ibunya sontak memeluknya, tetesan air mata itu pun jatuh membasahi bahu Ilmi.
“Ibu sebenarnya tidak ingin kalian pergi, Ibu ingin kita berkumpul, Ibu sudah cukup kehilangan Bapak, Ibu tidak ingin lagi jauh dari anak-anak Ibu”.
Suasana semakin haru, Ilmi mencoba mengusap air mata yang terus mengalir di pipi Ibunya.
“Iya bu Ilmi mengerti, berpisah sesaat untuk suatu saat berkumpul kembali kan tidak mengapa bu”.
Ibunya pun dengan berat hati akhirnya menerima tawaran dari putri sulungnya tersebut. Selain karena memang merindukan Aira, Ibunya juga percaya pada Ilmi untuk merantau karena selama ini dia cukup gigih dalam menghadapi cobaan.
Akhirnya Aira diantar oleh adik Ibunya yang juga sebagai pamannya. Dia benar-benar tumbuh menjadi gadis yang begitu cantik.
Seminggu Ilmi merasakan hidup berkumpul kembali dengan keluarganya, hingga akhirnya dia lah yang harus meninggalkan mereka. Tak mengapa baginya jika harus berkorban, karena kebahagiaan keluarganya adalah bahagia untuknya



 Pahitnya di Rantau orang

Ilmi mulai menjalani hidup diperantauan. Meskipun tinggal bersama sanak saudara, tetap saja tempat itu asing baginya. Tak jarang ia menangis sebelum tidur karena tak kuasa menahan rindu dengan Ibu dan adik-adiknya, namun ia tetap mencoba untuk kuat dan yakin bahwa ia harus bertahan.
Pamannya memiliki posisi yang cukup penting diperkebunan tempat kini Ilmi bekerja, sehingga tidak sulit baginya untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih layak daripada hanya menjadi pengupas kepiting. Disamping itu, kecerdasan dan bekal ijazah SMA yang ia bawa menjadikannya layak diperhitungkan.
Pamannya menempatkannya dibagian administrasi karena Ilmi juga bisa mengoperasikan komputer. Ilmi mulai menyukai pekerjaan barunya, apalagi pekerjaan itu tidak menimbulkan efek samping bagi kesehatannya seperti alergi seafood yang pernah ia alami. Ia juga mulai bisa beradaptasi dan memendam rasa rindu kepada keluarga dan kampung halamannya.
Setiap harinya Ilmi bekerja dari pagi hingga sore hari dan ia mengupayakan kualitas kerjanya tidak menurun agar tidak mengecewakan pamannya. Ilmi juga sangat mendambakan secepatnya memperoleh gaji pertama agar uangnya segera bisa dikirimkan untuk Ibu dan adik-adiknya pertanda bahwa dia benar-benar hidup layak di rantau orang.
Dalam sela-sela istirahat makan siang, Ilmi mencoba mendatangi pamannya yang juga sedang istirahat diruagannya. Melihat kedatangan Ilmi dari kejauhan, pamannya menyambutnya ramah.
“Kenapa mi, ada keluhan dengan pekerjaanmu?” sambut pamannya sambil mempersilahkannya masuk ke ruangan tersebut.
“Hmmm..tidak paman, Ilmi nyaman dengan pekerjaan ini”.
Ilmi mendatangi pamannya dengan maksud menyampaikan rasa terima kasihnya atas kebaikan beliau memberikannya pekerjaan yang lebih baik daripada pekerjaan yang sebelumnya ia jalani. Ilmi juga merasa berterima kasih atas kesudihan paman dan bibinya memberinya tumpangan untuk bisa tinggal dirumah mereka.
“Kamu ini ada-ada saja Mi, namanya juga kamu keponakan paman, sudah sewajibnya untuk kita saling tolong menolong”. Tutur pamannya yang begitu mendamaikan hatinya. Keluarga pamannya yang satu ini begini begitu jauh berbeda dengan keluarga paman adik dari almarhum Bapaknya. Bibinya begitu baik dan tidak pernah sekalipun berkata-kata kasar. Meski terkadang Ilmi juga merasa kurang nyaman dengan perlakuan dari sepupu-sepupunya. Namun Ilmi tidak mengambil pusing akan hal itu.
Tiga hari kemudian Ilmi menerima gajinya untuk pertama kali. Gaji tersebut sebagian dikirimkannya kepada Ibunya dikampung guna membiayai sekolah adik-adiknya. Ilmi juga menyisakan uang gajinya untuk dibelikan sebuah ponsel agar memudahkannya berkomunikasi dengan Ibu dan adik-adiknya. Hingga akhirnya sebuah ponsel bekas yang cukup murah pun dibeli olehnya. Ilmi tidak mendambakan memiliki ponsel degan kecanggihan fantastis dari merek-merek ternama, asalkan sudah bisa menghubungkan antara dirinya dengan Ibunya saja sudah cukup baginya.
Bulan demi bulan pun di laluinya. Karena kepiawaiannya dalam menyelesaikan semua pekerjaan dengan baik, Ilmi selalu mendapat perlakuan istimewa dari para atasan, ditambah lagi mereka tahu Ilmi adalah keponakan dari seseorang yang posisinya disegani di tempat itu. Hal itu juga yang belakangan ini menimbulkan kecemburuan di hati karyawan-karyawan lain. Mereka menganggap para atasan tidak memperlakukan adil antara mereka dengan Ilmi. Padahal mereka sendiri pun tidak pernah bekerja lebih baik dari Ilmi.
Desas-desus yang sering didengarnya baik secara langsung maupun tidak lngsung akan kecemburuan para karyawan lain tidak pernah ditanggapi Ilmi. Ilmi tetap mencoba menjalin komunikasi yang baik dengan mereka agar tidak terjadi saling iri dan dengki yang dapat merusak segalanya.
Disisi lain, ketidak betahan yang dirasakan oleh Ilmi kini bukannya berasal dari omongan dari teman-teman kerjanya. Melainkan ketidak nyamanannya yang ia rasakan kini dirumah pamannya. Sikap adik sepupu laki-lakinya yang seusia dengan adiknya Aira yang kini mulai membuatnya tidak nyaman. Selain suka berkata-kata kasar jika tidak diketahui oleh orang tuanya. Anak laki-laki sulung  pamannya tersebut kerap melemparkan tatapan yang membuat Ilmi risih.
Tidak jarang juga Ilmi kehilangan uang di lemarinya. Dan hanya adik sepupunya tersebut lah yang Ilmi curigai.
Hingga suatu pagi Insiden yang tidak terduga pun terjadi yang mengakibatkan Ilmi terpaksa pergi dari rumah tersebut.
Seperti biasanya Paman dan Bibinya terlebih dahulu pergi bekerja. Sedangkan Ilmi dan dua orang adik sepupunya masih tinggal dan bersiap-siap melakukan kegiatan masing-masing.
Ilmi dipercaya oleh pamannya mengantarkan anaknya yang masih SD kesekolah. Saat telah selesai bersiap-siap, Ilmi dan adik sepupunya yang bernama Rini tersebut keluar rumah dan menunggu angkutan yang harus mereka naiki. Setelah mengantarkan Rini kesekolah, Ilmi teringat kembali akan berkas pekerjaan yang tertinggal diatas lemarinya. Ilmi pun segera kembali menuju rumah pamannya guna mengambil berkas tersebut.
Sesampainya didepan rumah, Ilmi sedikit terheran dengan pintu rumah yang masih terbuka. Didepan pintu Ilmi masih melihat sepatu dari Putra sulung pamannya tersebut. Ilmi heran  kenapa dia belum pergi padahal jam sudah menunjukkan waktu yang sudah melewati jam masuk sekolahnya.
Perlahan Ilmi pun masuk kedalam rumah, dan dilihatnya pintu kamarnya terbuka. Pelan-pelan dia menuju kamarnya dan dengan shock melihat Ivan putra sulung pamannya sedang membongkar lemarinya. Namun Ilmi sudah memastikan Ivan tidak menemukan uang sepeser pun karena Ilmi sudah  jera kehilangan uang dan hari itu dia membawa semua uang yang ia miliki.
“Ngapain Ivan bongkar-bongkar lemari kakak?”
Bentak Ilmi yang membuat Ivan begitu terkejut, ia tidak menyangka Ilmi akan kembali dan memergoki dirinya membongkari lemarinya. Mengetahui akan hal itu, Ivan segera berbalik badan dan mencoba lari melewati Ilmi yang sedang berdiri diambang pintu.
“Hei..mau kemana kamu?”
Teriak Ilmi kepada Ivan dan mencoba mencegatnya dengan menarik lengan bajunya. Serempak dengan kejadian itu, Bibinya yang juga Ibu Ivan tiba-tiba masuk kerumah dan melihat Putranya sedang bertengkar dengan Ilmi. Melihat lengan baju Ivan terkoyak, Bibinya menunjukkan reaksi marah kepada Ilmi.
“Ada apa ini?, kamu apakan anak saya sampai bajunya koyak begitu?”
Bentak bibinya dengan suara marah. Situasi itupun dimanfaatkan oleh Ivan untuk memutar balikkan fakta dengan menuduh Ilmi yang mencoba menuduhnya mencuri uang selama ini.
Kondisi Ilmi pun terpojokkan. Dia mencoba menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya kepada Bibinya tersebut, namun
“Plaaakkkkkk…”
Jemari sang Bibi terlebih dahulu mendarat dipipi mulusnya yang mengakibatkan pipinya memerah.
Untuk pertama kalinya Ilmi diperlakukan sekasar itu oleh oorang lain yang tak lain adalah istri dari pamannya sendiri.
“Tidak tahu diuntung kamu ya Mi, sudah ditolong malah bertingkah seperti ini, keluar kamu sekarang juga dari rumah saya”
Sang bibi melemparkan makiannya kepada Ilmi dengan murkahnya. Ilmi tahu Bibinya tidak akan mungkin percaya padanya karena Ivan adalah anak kesayangan yang begitu dimanja oleh bibinya.
Air mata tumpah dipipi gadis tersebut. Hatinya begitu teriris dengan apa yang baru saja ia alami. Secepatnya ia mengemasi barang-barangnya untuk pergi dari rumah tersebut tanpa tahu kemana ia harus pergi mengadu. Ia mencoba berpamitan dan meminta maaf kepada bibinya, namun sang Bibi tidak lagi mau menggubris uluran tangannya.

Sabtu, 13 April 2013

BAB 6 "Pelangi setelah hujan"



Graduated Day

Hampir sebulan sudah kepergian sang Bapak, dan sebulan juga menjelang Ujian Nasional yang akan dijalani Ilmi. Ujian penentu untuk dapat melepas seragam jenjang terakhir itu.
Semenjak bapaknya tiada, Ilmi yang menggantikan posisinya bekerja setelah pulang sekolah. Bukan hanya karena hutang, namun biaya menjelang tamat sekolah yang cukup besar menuntutnya untuk terus berupaya mengumpulkan rupiah demi rupiah.
Sayangnya, usaha sang gadis berparas lembut itu masih tetap harus bercampur dengan bumbu-bumbu hambatan. Kulit putihnya tidak tahan dengan kontak langsung terhadap bahan-bahan seafood termasuk kepiting. Perlahan tangannya mulai merah dan gatal-gatal. Apoteker yang menjaga apotik tempat ilmi membeli obat untuk alerginya menyarankannya untuk tidak lagi menyentuh zat-zat yang menyebabkan kulitnya alergi. Namun baginya, jangankan sekedar gatal-gatal, perihnya sayatan pisau sudah menjadi makanan sehari-hari.
Saat berjalan bersama ibunya sepulang bekerja dan hampir tiba dirumah, Ilmi melihat seorang gadis sebayanya berdiri diujung jalan dekat rumahnya. Feelingnya tidak salah, dia memang gadis yang ia kenal dan Ilmi pun segera menghampirinya.
“Kenapa tadi tidak sekolah Mi?” Tanya lembut seorang sahabat.
“Aku harus bolos beberapa hari Put supaya bisa membayar uang ujian kita nannti” Jawab ilmi sambil mempersilahkan sahabatnya tersebut masuk kerumah.
“Aku tidak bisa lama-lama, hari hampir senja, aku ingin mengantarkan ini” sahut Putri sambil memberikan buku catatannya dan beberapa PR yang harus dikumpulkan besok.
“Thanks ya Put, aku tidak tahu bagaimana caranya membalas kebaikanmu” jawab Ilmi dengan senyum haru penuh rasa terima kasih.
Selama Ilmi bekerja, Ilmi sering bolos sekolah. Semua dikarenakan jika dia bekerja sepulang sekolah, hasil yang didapat sangat minim. Sehingga banyak pelajaran-pelajaran yang tidak ia mengerti bahkan tugas-tugas sekolahpun banyak yang tidak ia kerjakan. Namun Putri lha yang selama ini berperan dalam menyemangatinya untuk tetap menomorsatukan pendidikan. Tidak jarang Putri membuatkan tugas untuknya karena mengetahui Ilmi tidak lagi memiliki waktu untuk melakukan tugas-tugas itu.
Tak jarang Ilmi iri dengan keberuntungan yang diperoleh sahabatnya tersebut. Selalu hidup berkecukupan, mendapatkan apa yang dia inginkan, dan masih memiliki kedua orang tua yang utuh. Sementara dia kini hanya seorang anak anak yatim yang tidak jelas masa depannya. Ia begitu ingin seperti Putri yang kini mulai memilih universitas mana kelak yang akan dijadikannya tempat untuk meraih gelar sarjana. Sementara dirinya mulai mempersiapkan diri untuk benar-benar membuang impiannya melanjutkan ke Sastra Inggris.
Semua angan-angan itu benar-benar harus ia hapus dari benaknya sejak seminggu yang lalu Ilmi dipanggil kekantor oleh wali kelasnya.
“Ilmi mau melanjutkan kuliah?” Tanya Pak Mirza yang menjadi wali kelasnya dikelas tiga saat ini.
“Iya pak saya mau” jawab Ilmi penuh harap semoga ada jalan untuk menggapai impiannya.
“Begini Mi, Pihak sekolah sudah mendapatkan undangan jalur PMP dari salah satu universitas negeri di Medan, dan dari data nilai yang bapak punya, kamu layak mengikuti jalur ini”. Jelas pak Mirza penuh semangat.
“Iya pak, terima kasih bapak sudah memberi saya kesempatan” jawab ilmi penuh rasa bahagia.
“Kalau kamu memang mau mengikutinya, secepatnya kamu urus pendaftarannya di biro, dan bayar uang pendaftarannya” Pak Mirza menambahi.
“Berapa yang harus saya bayar Pak?” Tanya ilmi penuh harap semoga ia mampu memperolehnya.
“Dua ratus lima puluh ribu” sahut pak Mirza.
“Apakah jika saya sudah lulus biaya kuliah saya gratis Pak?”
“Tidak, tapi kamu berpeluang besar mendapat beasiswa jika kamu berprestasi selama kuliah” jelas Pak Mirza yang membuat segala sinar diwajah gadis berkulit putih tersebut sirna begitu saja.
Dengan penuh rasa kecil hati Ilmi menolak tawaran tersebut. Dia hanya merasa baru saja mencoba ingin memungkiri nasibnya kini yang tidak mungkin untuk meraih cita-citanya. Namun jelas sudah fikirnya dalam hati bahwa impian itu hanya benar-benar mimpi.
Ilmi tidak mungkin mampu membiayai kuliahnya, disamping ekonomi keluarga yang begitu lumpuh, kerja kerasnya selama sang Bapak meninggal juga teruntuk sang adik bungsu yang kini harus masuk sekolah. Baginya kini, mengenyam pendidikan hinga SMA saja sudah sangat harus ia syukuri, dan kewajiban kini bagi Ilmi untuk bisa membuat sang adik mencicipi Ilmi seperti dirinya.
Ujian Nasional pun telah dilewati oleh Imi dan teman-temannya. Hingga dua minggu berikutnya nama mereka secara resmi diumumkan lulus dari SMA tersebut. Hari perpisahan pun dilalui dengan penuh suka cita. Sejuta senyum  dan air mata bahagia tumpah di hari itu. Hari dimana mereka mengenang kembali indahnya masa-masa persahabatan yang terukir dengan beribu emosi jiwa muda.
Begitu juga dengan Ilmi, air mata yang mengalir di pipinya seirama dengan tangisan hatinya. Ia bahagia dengan kabar bahwa para teman-temannya akan mendaftarkan diri mereka untuk melanjutkan ke bidang yang mereka inginkan. Bahkan sebagian dari mereka ada yang sudah resmi lulus melalui jalur PMP yang juga dulu ditawarkan padanya. Namun hatinya tidak bisa memungkiri kesedihan setelah sadar mulai hari itu ia hanyalah seorang karyawan yang mengais rezeki berharap kelak dapat hidup sejahtera.