17. Pelangi Setelah Hujan
Sejak saat itu komunikasi Ilmi dan
Alan benar-benar terputus. Beberapa bulan berlalu namun Alan tak pernah menghubunginya
lagi. Ilmi mengerti pasti Alan sangat kecewa dan mungkin tidak lagi mau
berkomunikasi dengannya.
Sementara itu, Ilmi melewati
hari-harinya dengan haru pilu bersama keluarganya. Ilmi benar-benar berupaya
menjadi anak dan kakak yang baik untuk Ibu dan adik-adiknya. Ilmi sangat bangga
dengan kedua adiknya yang berbudi pekerti baik serta menjadi siswa-siswi yang
berprestasi disekolahnya.
Aira sedang giat-giatnya belajar
demi mengupayakan beasiswa kuliah gratis dari pemerintah yang akan diberikan kepada
siswa yang berprestasi. Sedangkan Hafis selalu saja memenangkan perlombaan
cerdas-cermat baik itu disekolah, maupun menjadi utusan mewakili sekolahnya ke
tingkat kabupaten.
Hari itu Ilmi mengajak kedua adiknya
berziarah ke makam Bapak mereka. Rutinitas itu selalu mereka lakukan setiap
akhir bulan guna menghilangkan rasa rindu mereka kepada sang Bapak. Hari itu
Ibunya tidak ikut karena mereka pergi di sore hari sedangkan Ibunya masih harus
menyelesaikan pekerjaan. Sesampainya di depan pusara sang Bapak, Ilmi tak
pernah bisa menahan meneteskan air mata. Kenangan akan sosok Bapak yang begitu
arif dalam memimpin keluarga selalu menghampirinya. Bersama kedua sanga adik
Ilmi membacakan do’a untuk sang Bapak guna ketenangannya di alam sana.
Setelah mereasa puas melepas rindu,
mereka bergegas pulang kerumah. Jarak pemakaman dari rumah mereka tidaklah jauh
sehingga mereka tidak menaiki kendaraan dan hanya berjalan kaki setiap kali
pergi berziarah. Sesampainya di depan rumah, Aira melihat ada sepatu pria yang
terletak didepan pintu rumahnya.
“Sepertinya ada tamu, tapi siapa ya
kak yang datang sore-sore begini?”.
Mendengar perkataan Aira, Ilmi
langsung memperhatikan sepatu hitam yang terlihat mengkilap karena dirawat baik
oleh pemiliknya terletak didepan pintu rumah mereka. Ia sedikitpun tidak bisa
menduga siapa tamu yang sedang berada didalam rumahnya. Sedangkan Hafis malah
tertarik dengan sepatu tersebut dan mencoba mengenakannya. Namun sayang karena
kakinya masih terlampau kecil sehingga sepatu itu terlihat begitu besar
dikenakannya.
“Fis…jangan dek..cepat lepas dan
letakkan lagi, nanti sepatunya rusak”. Aira dan Ilmi merasa geli dengan tingkah
adik mereka, setelah meletakkan kembali sepatu tersebut, Hafis pun langsung
masuk kedalam rumah disusul oleh kedua kakaknya. Saat masuk dan melihat
ternyata tamu yang datang tak lain adalah Alan. Jantung Ilmi spontan berdetak
kencang tidak karuan. Ia seakan sedang bermimpi melihat tamu pria yang sedang
berbicara dengan Ibunya saat itu adalah Alan.
“Mereka sudah pulang. Nak Alan
bilang dia temanmu Mi, kasian dia agak kesusahan katanya mencari rumah kita”.
Jelas sang Ibu.
Ilmi masih terdiam dan menatap Alan
yang kini benar-benar hadir dihadapannya. Ia tidak menyangka setelah beberapa
bulan tidak mendengar kabarnya, hari itu ia bisa melihatnya kembali secara
langsung.
“Iya bu..sebentar Ilmi buatkan minum
dulu”.
“Tidak usah kak, Ra saja”.
Ilmi semakin salah tingkah karena
dia bermaksud mengambil kesempatan membuatkan minum untuk Alan suapaya dapat
menenangkan hatinya yang sedang tak menentu. Alan pun terlihat memperhatikan
Ilmi dengan seksama. Iya yakin kedatangannya yang begitu mendadak pasti membuat
Ilmi sangat terkejut ditambah lagi komunikasi mereka terputus total dalam
beberapa bulan terakhir.
Ilmi merasa canggung kini berhadapan
dengan Alan, semua perasaan menggelayutinya. Mereka dibiarkan berbicara berdua
karena Ibu dan adik-adiknya tau tamu itu adalah teman Ilmi yang memang ingin
bertemu dengannya.
“Mas tau darimana alamat rumah
Ilmi?”
Ilmi heran kenapa Alan bisa sampai
kerumahnya. Alan pun menceritakan bahwa dia sebenarnya sudah beberapa hari
melakukan pekerjaanya di kampus cabang dari universitas tempatnya bekerja di
Medan. Kampus tersebut terletak diluar kota dari tempat tinggal Ilmi yang jarak
tempuhnya sekitar tiga puluh menit. Pihak kampus memintanya melakukan
peninjauan selama sepuluh hari di kampus yang baru dibuka itu. Kebetulan hari
itu dia tidak ada jadwal, ia memanfaatkan waktu tersebut untuk berkunjung ke
rumah Ilmi yang diketahuinya alamat rumah tersebut dari Putri.
“Jadi ceritanya Universitas tempat
aku bekerja sedang membuka beberapa cabang di kabupaten”. Jelas Alan.
“Owh…tapi kenapa Mas tidak bilang
Ilmi dulu kalau mau datang?”
“Aku sengaja, mau balas dendam
karena kamu dulu pulang gak bilang-bilang sama aku”
Ilmi tertawa mendengarnya. Ilmi
tidak menyangka Alan masih memendam jengkel atas sikapnya bahkan berkesempatan
untuk membalas.
“Aku pamit pulang dulu ya Mi, takut
nanti kemalaman”
“Owh yasudah hati-hati ya Mas, Ilmi senang Mas mau bertamu ke gubuk kami
ini”.
“Mi…meskipun gubuk, namun menyimpan bidadari didalamnya” sahut Alan
sambil melempar senyum pada Ilmi. Alan kemudian pamit kepada Ibu dan adik-adik
Ilmi. Tampak ia begitu sulit memalingkan wajahnya dari Ilmi untuk kemudian
pergi dari rumah itu. Sementara Ilmi begitu senang hatinya karena Alan ternyata
tidak marah padanya bahkan masih mau menyempatkan diri mengunjunginya.
Malam harinya Ilmi menerima sms dari Alan. Alan menanyakan kegiatan yang
sedang dilakukannya. Ilmi dengan senang hati membalas sms tersebut. Beberapa
saat kemudian Alan mengirimkan sms minta izin untuk diperbolehkan bertamu lagi
kerumahnya sebelum kembali ke Medan. Ilmi tentu saja memperbolehkan Alan datang
kerumahnya kapanpun dia mau. Karena pertemuan yang begitu singkat kemarin tak
mampu menghapus rindu Ilmi padanya.
Keesokan harinya seperti yang dijanjikan, Alan benar-benar datang
kembali bertamu kerumahnya. Lama mereka berbincang-bincang mengenai kegiatan
masing-masing. Binar kerinduan tampak jelas melekat disetiap sorot mata kedua
sejoli itu. Tidak ada yang berubah jika mereka bertemu. Selalu saja Alan mampu
membuat Ilmi merasa gembira dengan segala leluconnya.
“Besok Aku balik ke Medan Mi” tiba-tiba saja Alan mengatakan hal yang
sedikit membuat semangat bicara Ilmi menurun.
“Sudah selesai ya Mas urusan ke kampus itu?”
“Iya sudah..Tapi seminggu kemudian aku dipindah tugas menjadi dosen
tetap disitu”
“Maksud Mas?” tanya Ilmi heran.
“Sebelumnya aku minta maaf selama ini tidak pernah menghubungimu. Aku
disibukkan dengan penyelesaian S2 ku beberapa bulan ini. Aku habiskan waktu
untuk fokus pada risetku. Alhamdulillah studiku sudah selesai. Berhubung pihak
Universitas membuka cabang ke daerah-daerah lain termasuk tempat yang sekarang
akan menjadi tempat kerjaku. Aku tertarik untuk mencoba pindah mengajar ke
tempat itu”. Jelas Alan mengenai kepindahannya.
“Tapi kenapa mesti pindah Mas? Bukannya di sana Mas sudah mendapat
posisi yang baik, Mas juga sudah memiliki tempat tinggal disana?”. Tanya Ilmi
sambil melemparkan tatapan penuh keheranan, karena yang dilakukan Alan termasuk
hal yang membuang-buang waktu dan tenaga saja fikir Ilmi.
“Aku tahu tempat itu tidak jauh dari tempat tinggalmu Mi, itu membuat
aku melakukan semuanya, sulit rasanya bagiku menerima penolakanmu hanya karena
masalah jarak. Apa salahnya aku berusaha menggapai kebahagiaanku kalau memang
aku mampu”.
Penjelasan Alan tak hanya membuat Ilmi terharu, ia juga takjub dengan
usaha Alan demi untuk mendapatkan dirinya.
“Mas serius dengan semua ini?”
“Setiap hari aku berdoa meminta petunjuk untuk mengikhlaskanmu atau
terus berusaha mendapatkanmu. Alhamdulillah sholat Istikharah menjawab
segalanya. Allah memberikan petunjuk bagiku lewat pkerjaan ini”.
“Subhanallah..Ilmi tidak tahu harus bilang apa Mas, Ilmi tidak menyangka
Mas lakukan semua ini hanya karena Ilmi”.
“Jadi apa masih ada alasan bagimu menolakku Mi?
Ilmi terhenyak mendengar kata-kata terakhir yang Alan ucapkan, ia tidak
menyangka hari itu ia kembali di lamar oleh Alan.
“Jika Ibu merestui, Ilmi bersedia Mas”.
Dengan setulus hati Alan pun menyampaikan niat baiknya memperistri Ilmi
kepada Ibunya. Bak gayung bersambut, Ibu dan adik-adik Ilmi merestui mereka.
Alan yang baru beberapa hari memperkenalkan diri ternyata cukup bersahaja
dimata keluarga Ilmi.
Setelah menyelesaikan urusan kepindahan tugasnya. Alan pun memboyong
kedua orang tuanya untuk meminang Ilmi secara resmi. Beberapa bulan kemudian
akhirnya mereka resmi menjadi suami istri. Prosesi akad nikah di sebuah mesjid
yang diwalikan oleh pamannya dan dan di saksikan oleh seluruh sanak saudara
benar-benar berlangsung khidmat. Keesokan harinya resepsi pernikahan yang
sederhana namun cukup sakral itu pun berlangsung di kediaman Ilmi. Putri
sahabatnya juga turut hadir dalam pesta itu dan menyaksikan Ilmi yang akhirnya
mulai menemukan mentari yang selama ini enggan menyinari mendungnya kehidupan
sahabatnya itu.
“Takkan terwakilkan oleh
apapun rasanya kebahagiaan yang Ilmi rasakan hari ini Mas. Terimakasih telah
mempercayai Ilmi untuk mendampingimu Mas” ucap Ilmi pada Alan saat mereka memasuki kamar pengantin mereka.
“Jangan berterima
kasih begitu sayang, kita bersatu karena memang Allah telah memberi restu.
Mulai sekarang apapun yang terjadi kita hadapi bersama”.
sambut Alan sambil menggenggam
erat kedua tangan Ilmi. Kedua matanya tak lepas memandang wajah Ilmi
sambil tersenyum. Ilmi menunduk malu, hatinya bergetar saat
telapak tangan Alan menyentuh dagunya kemudian mengecup keningnya. Kini di hadapannya hadir secara nyata
orang yang selalu memenuhi mimpi-mimpinya siang dan malam.
Kehidupan Ilmi pun perlahan berubah menjadi lebih baik. Berkah yang
diterimanya datang silih berganti. Menyadari kemapuan yang di miliki Ilmi, Alan
pun membuka tempat bimbingan belajar dimana Ilmi dan Aira menjadi tenaga
pengajar. Rizky yang diberikan Allah pada mereka tak henti-hentinya mengalir.
Tempat bimbingan belajar itu menjadi salah satu bimbel terbaik di kota itu.
Alan juga mensupport Ilmi untuk kuliah sesuai jurusan yang di inginkannya. Ilmi
sangat senang hatinya akan segala pengertian dan pengorbanan Alan untuk
membahagiakannya. Ilmi tidak menyangka akhirnya bisa duduk di bangku kuliah
meskipun dalam usia yang tidak muda lagi, namun baginya menuntut Ilmi tidaklah
memandang usia. Ilmi menjalani aktivitasnya sebagai Istri sekaligus calon Ibu
dari bayi laki-laki yang dikandungnya serta terus mengikuti kegiatan kuliah.
Semua bisa terlaksana dengan baik karena kepiawaian Alan dalam membimbingnya.
Sosok Alan benar-benar segalanya bagi Ilmi.
Ilmi selalu bersyukur atas segala nikmat yang kini diterima oleh-nya. Ia
akhirnya bisa menikmati indahnya pelangi setelah diterpa derasnya hujan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar