Kamis, 27 Juni 2013

13. Musibah (Pelangi Setelah Hujan)



13. Musibah
Mendapati gaji pertamanya sebagai seorang kasir Ilmi sangat bahagia, sepulang dari bekerja Ilmi langsung mengirimkan sebagian gajinya untuk sang Ibu dikampung halaman. Setelah Ilmi mengirimkan uang tersebut, Ilmi bergegas menelpon Ibunya agar Ibunya senang mengetahui dia yang masih bekerja keras untuk keluarga.
Baru sekali saja nomor ponsel Ibunya ditelpon sudah langsung dijawab oleh sang Ibu. Ibu Ilmi seakan tahu bahwa Putrinya akan menelpon.
“Assalamualaikum Mi, Ibu senang kamu menelpon”
Mendengar ucapan tersebut senyuman merekah di bibirnya.
“Waalaikumsalam..Ilmi kangen sama Ibu”
“Ilmi sudah kirimkan uang tadi untuk Ibu, tidak banyak Bu, semoga bermanfaat buat Ibu”.
“Makasi ya Mi, Ibu bangga sekali punya anak seperti Ilmi”.
Ilmi menitikkan air matanya, Iya senang jika memang harus berkorban apapun demi menolong sang Ibu.
“Bu..ada yang mau Ilmi ceritakan pada Ibu, sebelumnya Ilmi minta maaf pernah berbohong……”.
Ilmi kemudian menceritakan semua yang telah terjadi. Ibunya sempat berkali-kali Istighfar mendengar cerita Putrinya. Bukannya marah, Ibunya kasihan setelah tahu besarnya pengrobanan yang telah dilakukan Putri sulungnya itu. Dia dipaksa oleh keadaan unutk dewasa sebelum waktunya dengan cobaan yang selalu datang silih berganti. Lama Ibu dan anak itu saling terisak melalui telpon. Setelah selesai menelpon Ibunya, Ilmi keluar dari kamar dan serentak dengan Putri yang baru pulang dari kekosan tersebut.
“Kenapa mata kamu bengkak Mi?”
“Biasa baru nelpon Ibu, terbawa rasa kangen Put”.
“Owh, aku kira ada apa”.
Malam hari seperti biasanya Putri mengajar privat matematika murid-muridnya dan Ilmi menggunakan waktu malam untuk beristirahat dan sekedar menonton tv. Setelah murid-muridnya pulang Putri kembali bergabung dengan Ilmi untuk menonton tv bersama.
“Besok aku Libur kerja Put”
“Loh..kenapa libur Mi?”
“Entah aku juga kurang tau, tadi atasanku bilang besok supermarket tutup”.
“Hemmmm…begitu,,jadi besok kamu di rumah aja seharian Mi?
“Rencananya sih aku pengen jalan-jalan. Selama disini aku belum pernah kemana-mana. Aku pengen lihat rumahku dulu Put”.
“Owh iya, kamu dulu kan lahir di Medan. Kamu masih ingat alamatnya dimana Mi?”.
“Insya Allah masih, sebentar aja kok, Cuma pengen lihat-lihat daerah tempat aku dulu dibesarkan hingga SMP”.
“Yasudah kamu hati-hati besok ya, sayangnya aku kuliah, kalo gak, aku mau  kok nemenin kamu”.
“Udah gak apa-apa, aku berani kok sendiri, tenang aja”.
Dan malam itu banyak mimpi Indah menyelimuti tidurnya, mungkin karena siang itu mendapat gaji dan bisa mengirimkannya untuk keluarga serta besok dia bisa libur bekerja membuat hatinya begitu senang.
Keesokan harinya seperti rencananya Ilmi bergegas pergi menuju tempat yang dimaksud, sebuah komplek perumahan yang tidak sulit untuk ditemukan karena tidak jauh dari pusat kota.
Lama Ilmi terduduk dibawah sebuah pohon dan memperhatikan sebuah rumah yang cukup besar di kelilingi pagar dengan taman yang indah. Rumah itu adalah rumah yang dulunya di huni olehnya. Rumah yang dulu berisikan semua kenangan manis antara dirinya dengan almarhum Bapaknya. Tidak banyak yang berubah dari rumah itu maupun lingkungannya meskipun telah bertahun-tahun dihuni oleh penghuni yang baru.
Setelah puas bernostalgia dengan masa lalunya, Ilmi mulai beranjak dari tempat duduknya dan berjalan sekitar beberapa meter untuk mencari angkutan yang bisa mengantarkannya pulang kekosan Putri. Saat hendak menyebrangi jalan diperempatan, tiba-tiba dari tikungan sebelah kiri ada sebuah sepeda motor yang melaju kencang hingga akhirnya menabrak Ilmi yang sedang menyebrang.
Ilmi sempat berteriak sekuat-kuatnya hingga akhirnya dia jatuh tersungkur, terjadi benturan keras di kepalanya dan terlihat seketika darah membanjiri dirinya. Sang pengemudi sepeda motor yang menabrak Ilmi pun terjatuh keluar dari jalanan. Namun dia masih bisa berdiri dan melihat korban yang ia tabrak seorang wanita yang kini tergeletak ditengah jalan dengan bersimbah darah. Pengemudi sepeda motor tersebut segera berteriak meminta pertolongan hingga akhirnya penduduk setempat pun segera memanggilkan ambulance.
Ilmi segera di larikan ke rumahh sakit terdekat  guna mendapat pertolongan pertama terutama berupa donor danar karena banyaknya darah yang habis karena kepalanya terbentur aspal yang mengakibatkan luka yang tidak bisa di sepelekan.
Sementara itu, sang pengemudi pun harus berurusan dengan pihak yang berwajib dan langsung menjadi tersangka dari kasus tabrakan tersebut.
Pihak kepolisian pun menghubungi kerabat terdekatnya berdasarkan nomor-nomor handphone yang tertera di ponsel Ilmi. Polisi menghungi nomor yang terbanyak dihubungi dan menghubungi Ilmi diponsel Ilmi. Setelah tersambung dengan pemilik nomor yang tidak lain adalah Putri, polisi langsung menceritakan kejadian yang menimpa sahabatnya. Putri benar-benar  shock dengan kabar tersebut. Ia langsung bergegas kerumah sakit yang menjadi tempat Ilmi dirawat.
Sesampainya di kamar pasien tempat Ilmi  dirawat, Putri mendapati sahabatnya yang tidak sadarkan diri. Terlihat perban membaluti kepalanya dan selang oksigen yang terhubung ke hidungnya. Langkahnya lunglai mendekati  tubuh yang terbaring tidak berdaya itu. Ia tidak  menyangka musibah ini menimpa sahabatnya mengingat betapa senangnya Ilmi tadi pagi bisa mendapat libur kerja dan pergi untuk melepaskan penatnya.
Dokter memberi penjelasan tentang diagnose sementara resiko kecelakaan yang dialami Ilmi. Terjadi penggumpalan darah di otaknya. Minimal dia akan terkena geger  otak kecil. Putri terpaku mendengar penuturan tersebut.
“Jika kondisinya sudah memungkinkan, kita harus mengoperasinya agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan padanya kelak”.
“Iya dok, saya mohon lakukan yang terbaik untuknya, selamatkan dia dok”.
“Kami akan mengupayakannya semaksimal mungkin, tapi semua usaha tetap yang kuasa yang mengaturnya, kami mohon do’a dari pihak keluarga untuk keberhasilan operasinya kelak”.

12. Sahabat is Everything (Pelangi Setelah Hujan)



12. Sahabat is everything

Menjadi seorang kasir bukanlah hal yang sulit, namun membutuhkan ketelitian dan tanggung jawab yang sangat besar karena mengurus uang yang jumlahnya cukup besar. Kesilapan sedikit saja akan menjadi tanggung jawab karyawan. Ilmi benar-benar memaksa dirinya untuk tidak melakukan keteledoran sedikitpun karena jika pendapatan tidak sesuai atau uang yang didapat lebih sedikit daripada barang yang terjual, maka Ilmi lah yang harus menanggung jawapinya dengan dipotongnya gajinya sebesar kerugian.
Gaji yang diterima cukup besar namun diterima bulanan. Ilmi benar-benar berharap bisa betah dan tidak ada lagi hal buruk yang terjadi seperti yang telah lalu.
Sepulang bekerja hari itu Ilmi mencoba menelpon Ibunya karena sudah lama ia tidak mendengar suara sang Ibu yang sangat dirindukannya. Selama ini ia hanya memberitahukan kabarnya lewat sms. Ilmi juga belum berani menceritakan apa yang telah terjadi padanya. Ia masih tidak tega menambah beban fikiran Ibunya.
Beberapa kali Ilmi mencoba menelpon namun belum juga mendapat sahutan dari Ibunya hingga keempat kalinya terdengar suara sendu dari sebrang sana.
“Assalamualaikum nak, bagaimana kabar Ilmi?” Ibunya selalu menyakan kabarnya jika pertama kali menjawab telpon, hal itu menandakan Ibunya selalu memikirkan keadaannya.
“Waalaikumsalam..Alhamdulillah Ilmi baik-baik aja Bu, gimana dengan Ibu dan adik-adik disana?” Ilmi juga tak lupa menanyakan kabar adik-adiknya karena dia juga sangat merindukan mereka.
Ilmi berbincang-berbincang banyak dengan Ibunya dan menanyakan seputar sekolah adik-adiknya.
“Maaf ya Bu, Ilmi bulan ini tidak bisa mengirimi Ibu uang, tapi Ilmi janji awal bulan nanti Insya Allah Ilmi akan kirimkan untuk Ibu”.
“Sudahlah tidak apa-apa, jangan jadikan itu beban untuk Ilmi, yang penting Ilmi disana baik-baik saja sudah cukup untuk Ibu”.
“Bagaimana kabar paman dan bibimu nak?”
Duuuuggg,,,pertanyaan itu sontak mengagetkannya, lama Ilmi terdiam tidak menjawab apapun, dia bingung harus mengatakan apa. Dia ingin sekali jujur pada Ibunya namun belum tepat baginya menceritakan semuanya.
“Iya Bu, Paman dan Bibi baik-baik saja”
“Owh syukurlah”
Tak terasa air mata menetes di pipinya sesaat setelah mengakhiri panggilan tersebut. Ia benar-benar merasa berdosa membohongi Ibunya. Tapi hal itu terpaksa ia lakukan dan berharap kelak Ibunya dapat mengerti.
Seusai menelpon Ilmi pun mandi karena hari sudah senja dan ia akan melaksanakan sholat magrib, terlihat Putri yang terlebih dahulu selesai mandi dan mengenakan pakaian yang agak sedikit rapi. Ilmi merasa heran dalam hatinya namun tidak mengambil pusing akan hal itu.
Seusai sholat magrib bersama-sama dengan Putri, mereka selalu mengaji bersama, momen-momen seperti itu merupakan hal yang selalu menjadi penenang hati mereka.
Sesaat kemudian terdengar suara beberapa orang anak kecil mengetuk pintu dari luar. Terlihat Putri bergegas mengenakan jilbab menemui mereka. Ilmi heran siapakah tamu sahabatnya tersebut karena tidak biasanya dia memiliki tamu seorang anak kecil.
Terlihat dua orang gadis cilik yang kira-kira masih SD masuk kedalam rumah membawa buku pelajaran dan dipersilahkan oleh Putri duduk didepan meja belajarnya yang sedari tadi memang telah dirapikannya dari pekakas kuliahnya.
Perlahan Ilmi memperhatikan aktivitas mereka dan Ilmi menduga bahwa Putri sedang mengajari mereka tentang pelajaran matematika. Lebih tepatnya Putri mungkin sedang menjadi guru privat matematika mereka tebak Ilmi dalam hati.
Ilmi memperhatikan Putri yang begitu semangat dalam menjelaskan pelajaran, terlihat dia memang berbakat menjadi seorang guru dalam bidang yang memang dicintainya itu. Namun Ilmi merasa begitu salut dengan Putri yang masih mau meluangkan waktunya untuk sekedar menjadi guru Privat. Karena kalo difikir-fikir, kesibukannya disiang hari dengan jadwal kuliah membutuhkan waktu istirahat yang cukup di malam hari. Putri juga tidak mungkin menerima menjadi guru privat hanya karena kekurangan uang jajan karena Ilmi tahu betul Putri sudah  mendapat uang saku yang sangat mencukupi dari orang tuanya.
“Cie-cie udah kayak Ibu guru beneran sekarang ya Put” Goda Ilmi pada sahabatnya itu setelah melihat murid-muridnya telah pulang.
“Hehehe…gimana-gimana? Keren kan Mi gaya ngajar aku?”
“Ya..ya..ya…pastinya…pastinya lebih baik daripada Bu Teti guru Matematika kita yang gak pernah senyum dan super Killer itu”.
“Hehehe..kamu bisa aja”
Mereka terhanyut sejenak pada masa-masa sekolah mereka dulu, bagaimana mereka harus mengahadpi guru-guru dengan karakter yang berbeda-beda setiap harinya.
“Kamu kok masih mau ngajar Put? Gak capek udah seharian di kampus?”
“Capek sebenarnya, tapi orang tua mereka minta tolong karena nilai matematika anaknya yang sangat jelek. Aku gak enak menolak Mi. Hitung-hitung latihan sebelum jadi guru beneran, dan sekalian berbagi Ilmu kan berpahala”.
Ilmi tertegun mendengarnya, Ia salut dengan Putrid an kemuliaan hatinya. Ia juga bersyukur Allah mempertemukannnya dengan sahabat sebaik dia.
Keesokan harinya seperti biasa Ilmi kembali bekerja seperti biasanya. Saat sedang menghitung belanjaan pembeli, Ia se melihat seseorang yang sepertinya dia kenal. Setelah meyakinkan penglihatannya, iya yakin bahwa orang tersebut Ikhwan yang terlihat sedang mencari beberapa barang-barang.
Ikhwan pun membayar barang-barang yang telah dipilihnya. Selesai memberikan struk belanjaan dan kembalian uangnya. Mereka sempat berbincang-bincang. Ikhwan memang sering ke Supermarket tempat Ilmi bekerja, namun selama ini dia hanya menemui pamannya. Baru kali ini Ikhwan berbelanja disitu. Ikhwan juga dikenal Ilmi sebagai pribadi yang ramah.
Kebetulan pembeli sedang sepi, jadi bincang-bincang yang terjadi tidak mengganggu kerja Ilmi. Saat sedang bercerita Ikhwan kemudian meminta nomor handphone Ilmi yang membuat Ilmi sedikit terkejut dan heran. Ikhwan mengatakan bahwa ia meminta nomor Ilmi guna dapat memberitahukan apa saja yang harus ditingkatkannya dalam bekerja karena pamannya sering menceritakan prihal karyawannya padanya. Ilmi pun memberikan saja nomor handphonenya tanpa ada prasangka lain di hatinya.
Mulai saat itu Ikhwan memang sering mengsmsnya. Sms yang dikirim Ikhwan pun memang sebatas saran-saran tentang pekerjaannya. Namun makin hari sms itu tak lagi berisikan saran, hanyalah kata-kata humor yang terkadang menggelitik hati Ilmi. Ilmi juga masih menganggap biasa hal itu.
Suaatu hari saat Ilmi hendak pulang kerja tiba-tiba Ikhwan datang, Ikhwan mengatakan ada urusan sebentar dengan pamannya dan memberi tawaran padanya untuk diantar pulang. Ilmi menolak tawaran tersebut, disamping karena jarak tempat bekerjanya tersebut masih dalam jarak tempuh jalan kaki, Ilmi juga segan jikalau terlihat oleh Putri. Namun Ikhwan tetap memaksanya dengan beribu alasan. Ilmi tidak dapat menolak, dan akhirnya sore itu dia diantar pulang oleh Ikhwan.
Saat tiba di depan kos Putri, Ilmi segera menyuruh Ikhwan pulang takut jika terlihat oleh Putri. Ilmi merasah bersalah dalam hatinya dan segera masuk dengan terburu-buru. Didalam terlihat Putri baru selesai mandi. Dikarenakan perasaan bersalah di hatinya, Ilmi jadi salah tingkah ddidepan Putri. Putri sedikit aneh dengan sikap yang ditunjukkan oleh Ilmi.
Pada malam hari saat sedang menonton tv bersama Putri, Ilmi dikejutkan dengan sms yang diterimanya dari Ikhwan yang berisikan tentang perasaannya yang selama ini menyimpan perasaan terhadap dirinya. Tubuh Ilmi bergetar membacanya, sms itu dibacanya berulang-ulang namun ia masih bingung harus membalas apa.
“Kamu kok gelisah gitu Put?, sms dari siapa?” tanya Putri padanya setelah melihat ekspresinya yang mungkin tidak biasa.
“Gak apa-apa kok Put, perutku agak sedikit mules”. Ilmi terpaksa membohonginya karena tidak mungkin memberitahukan is isms yang pastinya akan melukai hati Putri tersebut.
Ilmi tidak menyangka dibalik perhatian yang diberikan Ikhwan selama ini padanya tersimpan maksud lain, tapi Ilmi masih tidak habis fikir karena selama ini dia menyangka Ikhwan benar-benar menyayangi Putri dengan setulus hati. Fikirannya benar-benar kacau saat itu. Dia tidak mungkin menerima Ikhwan karena tidak ada perasaan special sedikitpun di hatinya pada Pria tersebut. Ditambah lagi Putri adalah sahabat yang sudah dianggapnya sebagai saudara yang tidak mungkin sanggup untuk dia sakiti.
Berkali-kali Ikhwan mengirimkan sms meminta balasan atas segala curahan hatinya namun tidak satupun digubris oleh Ilmi. Ia hanya menganggap angin lalu saja.
Keesokan harinya saat Ilmi berangkat kerja Ia melihat sosok lelaki mirip dengan Ikhwan yang berdiri didepan Supermarket tempatnya bekerja. Ilmi merasa Ikhwan sudah kelewatan jika sampai harus memperpanjang urusan ini. Baginya dengan tidak membalas sms tersebut sudah menggambarkan penolakan dari dirinya. Ilmi tidak menghiraukan keberadaan Ikhwan dan mencoba langsung hendak masuk kedalam supermarket tersebut. Namun Ikhwan ternyata menghampirinya dan menarik tangannya.
“Kenapa kamu gak balas sms aku Mi?”
“Maaf wan, aku mau kerja, masalah sms itu, aku sengaja tidak balas karena aku anggap itu tidak penting untuk dibahas”.
“Kamu kok ngomong gitu? Salah Mi aku suka dan sayan gsama kamu?”
“Iya jelas salah, kamu bisa mikir gak sih posisi aku gimana? Bagaimana aku selama ini menumpang hidup dengan Putri, tidak mungkin aku bisa menyakitinya”.
“Aku beneran sayang sama kamu Mi, dari awal lihat kamu aku udah ngereasa ada feel sama kamu, kamu beda dari perempuan lain yang setiap harinya buat aku semakin tertarik”.
“Bulshiit….aku gak nyangka wan kamu bisa mempemainkan Putri seperti ini, dia itu sayang sama kamu, dan aku sedikitpun tidak punya perasaan apapun selain rasa hutang budi karena menolongku mendapatkan pekerjaan ini. Aku fikir kamu Ikhlas wan, ternyata ada maksud dibalik semua kebaikan kamu”.
“Gak Mi, aku ikhlas bantu kamu, tapi seperti yang aku bilang, aku benar-benar suka sama kamu semenjak pertama kita jumpa, aku sering datang ke supermarket ini berpura-pura bertemu paman padahal aku senang melihatmu Mi.”
Ilmi benar-benar terkejut mendengarnya, ia tidak menyangka selama ini Ikhwan hanya berpura-pura menemui pamannya dengan maksud lain dihatinya.
“Maaf wan, aku tidak bisa balas perasaanmu ke aku, Putri segalanya untukku, dia sahabat terbaikku, aku tidak mungkin menyakitinya, dan aku mohon kamu belajar sayangi dia dengan setulus hati”.
“Aku gak bisa Put, aku udah coba, tapi perasaanku untuk dia tidak lebih dari seorang teman, kebaikannya selama ini yang membuat aku tidak bisa menjauh darinya”.
Sesaat setelah Ikhwan menyelesaikan kata-kata terakhirnya, terdengar suara kunci terjatuh dari jarak yang tidak begitu dekat. Mereka terkejut karena ternyata Putri mendegar pembicaraan mereka. Belum sempat Ilmi berteriak memanggilnya Putri sudah duluan pergi berlari dengan terburu-buru.
Ilmi mohon izin untuk tidak masuk bekerja pada hari itu dengan atasannya. Dia langsung lari mengejar Putrid an membiarkan Ikhwan yang berdiri mematung tanpa tahu harus berbuat apa.
Sesampainya dirumah Ilmi tidak bisa menemui Putri karena dia mengurung diri dikamar, Ilmi tidak menyangka Putri mendegar semua pembicaraan mereka karena ternyata Putri menyusulnya untuk mengantarkan kunci rumah yang terlupa dibawah olehnya.
“Put please buka pintunya, aku bisa jelasin semua sama kamu, kamu pasti salah faham Put”.
Tidak ada sahutan dari dalam kamar, tapi perlahan terdengar suara isak tangisnya. Ilmi benar-benar merasa bersalah, bagaimanapun juga ia mengerti rasa sakit yang dirasakan oleh Putri.
Lama Ilmi mengetuk pintu namun tidak juga dibukakan oleh Putri.
“Kalau mau marah, marah lah Put, mau usir aku juga tidak apa-apa, aku akan pergi, tapi please maafin aku dan dengar dulu penjelasanku”.
Tak lama kemudian pintu pun terbuka, Putri keluar dengan mata yang berlinangan, Ilmi pun segera memeluknya dan mengusap air matanya.
“Maafin aku Put, aku yang salah”
“Udah gak perlu minta maaf, aku dengar semuanya kok, kamu gak salah Mi, aku aja yang bodoh selama ini terlalu berharap padanya”.
Hati Ilmi ikut teriris mendegarnya, dia tidak menyangka Ikhwan tidak bisa membalas perasaan dari seorang gadis sebaik Putri. Putri  pun akhhirnya bisa menerima yang telah terjadi. Semenjak saat itu dia tidak pernah lagi berkomunikasi dengan Ikhwan. Ikhwan benar-benar merasa malu setelah kejadian itu hingga tak pernah lagi menampakkan batang hidungnya setelah mengirimkan sms permohonan maafnya pada Putri.
Putri pun memaafkannya karena dia tahu perasaan tidak bisa dipaksa, dia pun mengambil hikmah dari semua yang telah terjadi karena dengan adanya kejadian itu dia jadi tahu yang sebenarnya dan tidak lagi berharap apapun dari Ikhwan.
Untungnya permasalahan itu tidak sampai merambat ke pekerjaan Ilmi, Ilmi tetap bekerja di tempat tersebut dan tidak lagi pernah melihat sosok Ikhwan yang datag dengan beribu alasan.



Minggu, 23 Juni 2013

11. Rizki dari-Nya (Pelangi Setelah Hujan)



11. Rizki dari-Nya

Ilmi mulai akrab dengan aktivitas dan tempat tinggal barunya. Berbeda dengan ditempat pamannya, ditempat ini meskipun penghasilannya masih terbilang sangat kecil, Ilmi tidak pernah merasa mendapat tekanan akan perilaku sepupu-sepupunya, ditempatnya kini ia berdiam, Ilmi merasa lebih nyaman, hanya saja ia sedang berusaha sekuat tenaga mencari-cari pekerjaan yang lebih memungkinnya mendapatkan uang yang lebih banyak agar ia tetap dapat mengirimkan sebagian penghasilannya untuk keluarganya dikampung.
Semenjak Ilmi bekerja di warung Bu Lina, tampak pengunjungnya semakin bertambah, mungkin karena service dari pihak warung yang semakin meningkat mengakibatkan konsumen semakin betah bahkan bertambah dalam setiap harinya. Ilmi selalu mengingat pesan Bu Lina untuk mengutamakan keramahan dan kesabaran dalam bekerja dan melayani pelanggan. Pembeli adalah raja, hal tersebut selalu mereka tanamkan.
Setiap harinya pendapatan warung Bu Lina semakin meningkat, seperti janji yang pernah beliau ucapkan, beliau tak jarang member tambahan gaji untuk Ilmi, hal itu yang selalu menjadi motivasi bagi Ilmi untuk lebih giat lagi dalam bekerja dan Ilmi juga selalu berharap pembeli yang datang ke warung Bu Lina bertambah lebih banyak lagi.
Bu Lina sudah dianggap oleh Ilmi seperti Ibunya sendiri, apalagi status Bu Lina sebagai seorang Janda yang memiliki dua orang anak membuat Ilmi salut dengan kegigihannya mencari rezeki seorang diri. Hal itu yang mengakibatkan Ilmi berupaya keras untuk tidak mengecewakannya.
Banyaknya pembeli yang datang hari ini mengakibatkan dagangan  Bu Lina telah habis terjual padahal masih jam empat sore. Ilmi senang karena selain diberi tambahan jajan oleh Bu Lina, Ilmi juga bisa pulang cepat pada hari itu. Langkahnya tampak cepat menuju kosan Putri, senyum sumringah tampak memancar di wajahnya.
Sesampainya didepan kosan Putri, Ilmi melihat ada sepeda motor yang terparkir di halaman kosnya. Ilmi sudah tahu siapa pemiliknya, pasti Ikhwan temennya Putri fikirnya. Putri tidak pernah mengaku memiliki pacar, tapi Ilmi bisa melihat betapa spesialnya Ikhwan baginya. Ikhwan satu-satunya lelaki yang pernah datang kekosnya Putri. Ilmi tahu, dari dulu Putri selalu menjaga pergaulannya dengan lawan jenis, jadi kalau sampai ada seseorang yang sering diizinkan bahkan sering menemuinya bisa dipastikan orang tersebut bukanlah teman biasa bagi Putri.
“Assalamualaikum” Ilmi masuk kedalam dan terlihat Putri sedang membahas tugas-tugas kuliahnya dengan Ikhwan.
“Waalaikumsalam” jawab mereka serempak.
“Tumben kok cepat pulang Mi?” tanya Putri heran karena tidak biasanya Ilmi pulang secepat itu.
“Iya hari ini banyak pembeli Put, jadi dagangannya cepat habis”
“Owh…sering-sering begitu bagus juga ya Mi, kamu bisa cepat istirahat” Putri melihat raut senang diwajah sahabatnya tersebut, melihat hal itu, Putri merasa turut senang. Ilmi pun tersenyum mendengar perkataan Putri, Tentu saja dia sangat senang jika setiap hari bisa pulang lebih awal seperti ini. Ilmi pun meninggalkan Putri dan Ikhwan diruang tersebut dan bergegas mandi.
Setelah melihat Ilmi dan mendengar percakapan antara Putri dan temannya tersebut, Ikhwan mulai menanyakan tentang siapa Ilmi sebenarnya. Tidak banyak yang diceritakan oleh Putri pada temannya tersebut, ia hanya menceritakan perihal kegigihan Ilmi dalam menjalani setiap ujian dalam hidupnya. Putri juga memberitahukan bahwa Ilmi  sedang membutuhkan pekerjaan yang lebih bisa memenuhi kebutuhannya.
Mendengar cerita dari Putri, Ikhwan turut salut akan profil Ilmi, ia juga teringat dengan pamannya yang memiliki supermarket yang letaknya tidak jauh dari tempat tinggal putri dan sedang membutuhkan seorang karyawan sebagai seorang kasir. 
Putri pun tertarik mendengar informasi dari teman prianya tersebut, iya yakin Ilmi pasti senang jika mengetahuinya. Setelah Ikhwan pulang, Putri segera menemui Ilmi yang sedang tertidur didalam kamar, Putri tidak perduli jika harus mengganggu tidur sahabatnya tersebut demi menyampaikan kabar gembira itu.
Ilmi tidak marah meskipun tidurnya diganggu, “Putri tidak mungkin sejahil itu kalo memang tidak ada hal yang penting yang ingin disampaikan olehnya” fikirnya dalam hati. Setelah mendengar semua penjelasan Putri, Ilmi langsung mengangkat tubuhnya dan duduk disamping Putri.
“Tapia apa mungkin aku diterima kerja disitu Put, aku kan belum ada pengalaman kerja dibidang itu?”
“Sudah kamu tenang aja, yang penting kamu masukin aja dulu lamarannya, urusan lain biar Ikhwan yang atur, aku yakin dia pasti mau bantu kamu”. Putri mencoba member support kepada sahabatnya tersebut untuk lebih percaya diri.
Ilmi begitu senang, ia tidak menyangka akan ada orang yang mau turut peduli dengannya, Ia kagum dengan sosok Ikhwan yang selama ini didengarnya baik dimata Putrid an hari itu terbukti juga baik di matanya. Ilmi senang jika hati Putri direbut oleh pria sebaik dia karena Putri juga orang yang sangat baik.
Keesokan harinya saat ada waktu senggang makan siang, Ilmi memohon Izin kepada Bu Lina untuk memasukkan surat lamaran kerjanya di Supermarket yang Ikhwan maksud. Mendengar hal itu terlihat rasa kecewa di raut wajah Bu Lina, Bu Lina sudah begitu merasa tertolong olehnya. Kinerja Putri yang sangat baik dan jujur membuat Bu Lina sayang padanya, Bu Lina juga terkadang memperlakukannyya sebagai anaknya sendiri.
Melihat respon tidak enak yang diberikan Bu Lina, Ilmi mencoba menjelaskan keadaan dirinya yang sebenarnya, bahwa dia sangat membutuhkan pendapatan dalam jumlah yang lebih besar. Mendengar segala kisah yang telah diceritakan oleh Ilmi, Bu Lina tidak mampu menahannya  lagi, hamper saja beliau meneteskan air matanya karena terharu dengan perjalanan hidup yang dialami gadis belia itu. Bu Lina sangat salut dengan ketangguhannya. Ilmi juga berjanji jika nanti dia tidak bekerja lagi disitu, ia akan tetap sering menjenguk Bu Lina karena dia sangat merasa berhutang budi pada Bu Lina.
Ilmi pun bergegas pergi ketempat  tujuannya, sesampainya di Supermarket tersebut, Ilmi mencoba menemui kepala supermarket yang tidak lain adalah pamannya Ikhwan. Setelah bertemu dengan orang yang di maksud, Ilmi langsung memberikan surat lamaran kerjanya. Ternyata sang Kepala Supermarket sudah terlebih dahulu tau tenttang dirinya dan langsung menerimnya dan memintanya untuk langsung bekerja esok hari.
Ilmi terkejut, ia juga senang lamarannya diterima, tapi ia menyampaikan beberapa hal yang ia cemaskan.
“Maaf pak sebelum terima kasih karena telah menerima saya bekerja disini, tapi kalau saya bolehh jujur, saya tidak punya pengalaman apapun dibidang ini, mohon bapak bisa membimbing saya”
            “Saya mengerti nak Ilmi, tapi pekerjaan ini bukanlah pekerjaan yang membutuhkan keahlian yang terlalu berlebihan, kamu hanya butuh seorang karyawan yang berdisiplin, jujur, cekatan dan ramah. Saya yakin nak Ilmi bisa memenuhinya”.
            “Insya Allah pak, sebisa mungkin saya tidak akan mengecewakan bapak”
            Ilmi mengundurkan diri dan berjanji akan bekerja mulai besok di tempat itu dan berusaha menjadi karyawan yang diharapkan.
            Sesampainya kembali di warung Bu Lina, Ilmi menceritakan bahwa dia langsung diterima, dan pertanda hari itu adalah hari terakhirnya bekerja ditempat itu. Bu Lina turut senang mendengarnya, ia yakin Allah pasti memudahkan jalan gadis baik hati tersebut.