12. Sahabat
is everything
Menjadi seorang kasir bukanlah hal yang sulit, namun
membutuhkan ketelitian dan tanggung jawab yang sangat besar karena mengurus
uang yang jumlahnya cukup besar. Kesilapan sedikit saja akan menjadi tanggung
jawab karyawan. Ilmi benar-benar memaksa dirinya untuk tidak melakukan
keteledoran sedikitpun karena jika pendapatan tidak sesuai atau uang yang
didapat lebih sedikit daripada barang yang terjual, maka Ilmi lah yang harus
menanggung jawapinya dengan dipotongnya gajinya sebesar kerugian.
Gaji yang diterima cukup besar namun diterima bulanan.
Ilmi benar-benar berharap bisa betah dan tidak ada lagi hal buruk yang terjadi
seperti yang telah lalu.
Sepulang bekerja hari itu Ilmi mencoba menelpon Ibunya
karena sudah lama ia tidak mendengar suara sang Ibu yang sangat dirindukannya.
Selama ini ia hanya memberitahukan kabarnya lewat sms. Ilmi juga belum berani
menceritakan apa yang telah terjadi padanya. Ia masih tidak tega menambah beban
fikiran Ibunya.
Beberapa kali Ilmi mencoba menelpon namun belum juga
mendapat sahutan dari Ibunya hingga keempat kalinya terdengar suara sendu dari
sebrang sana.
“Assalamualaikum nak, bagaimana kabar Ilmi?” Ibunya
selalu menyakan kabarnya jika pertama kali menjawab telpon, hal itu menandakan
Ibunya selalu memikirkan keadaannya.
“Waalaikumsalam..Alhamdulillah Ilmi baik-baik aja Bu,
gimana dengan Ibu dan adik-adik disana?” Ilmi juga tak lupa menanyakan kabar
adik-adiknya karena dia juga sangat merindukan mereka.
Ilmi berbincang-berbincang banyak dengan Ibunya dan
menanyakan seputar sekolah adik-adiknya.
“Maaf ya Bu, Ilmi bulan ini tidak bisa mengirimi Ibu
uang, tapi Ilmi janji awal bulan nanti Insya Allah Ilmi akan kirimkan untuk
Ibu”.
“Sudahlah tidak apa-apa, jangan jadikan itu beban
untuk Ilmi, yang penting Ilmi disana baik-baik saja sudah cukup untuk Ibu”.
“Bagaimana kabar paman dan bibimu nak?”
Duuuuggg,,,pertanyaan itu sontak mengagetkannya, lama
Ilmi terdiam tidak menjawab apapun, dia bingung harus mengatakan apa. Dia ingin
sekali jujur pada Ibunya namun belum tepat baginya menceritakan semuanya.
“Iya Bu, Paman dan Bibi baik-baik saja”
“Owh syukurlah”
Tak terasa air mata menetes di pipinya sesaat setelah
mengakhiri panggilan tersebut. Ia benar-benar merasa berdosa membohongi Ibunya.
Tapi hal itu terpaksa ia lakukan dan berharap kelak Ibunya dapat mengerti.
Seusai menelpon Ilmi pun mandi karena hari sudah senja
dan ia akan melaksanakan sholat magrib, terlihat Putri yang terlebih dahulu
selesai mandi dan mengenakan pakaian yang agak sedikit rapi. Ilmi merasa heran
dalam hatinya namun tidak mengambil pusing akan hal itu.
Seusai sholat magrib bersama-sama dengan Putri, mereka
selalu mengaji bersama, momen-momen seperti itu merupakan hal yang selalu
menjadi penenang hati mereka.
Sesaat kemudian terdengar suara beberapa orang anak
kecil mengetuk pintu dari luar. Terlihat Putri bergegas mengenakan jilbab
menemui mereka. Ilmi heran siapakah tamu sahabatnya tersebut karena tidak
biasanya dia memiliki tamu seorang anak kecil.
Terlihat dua orang gadis cilik yang kira-kira masih SD
masuk kedalam rumah membawa buku pelajaran dan dipersilahkan oleh Putri duduk didepan
meja belajarnya yang sedari tadi memang telah dirapikannya dari pekakas
kuliahnya.
Perlahan Ilmi memperhatikan aktivitas mereka dan Ilmi
menduga bahwa Putri sedang mengajari mereka tentang pelajaran matematika. Lebih
tepatnya Putri mungkin sedang menjadi guru privat matematika mereka tebak Ilmi
dalam hati.
Ilmi memperhatikan Putri yang begitu semangat dalam
menjelaskan pelajaran, terlihat dia memang berbakat menjadi seorang guru dalam
bidang yang memang dicintainya itu. Namun Ilmi merasa begitu salut dengan Putri
yang masih mau meluangkan waktunya untuk sekedar menjadi guru Privat. Karena
kalo difikir-fikir, kesibukannya disiang hari dengan jadwal kuliah membutuhkan
waktu istirahat yang cukup di malam hari. Putri juga tidak mungkin menerima
menjadi guru privat hanya karena kekurangan uang jajan karena Ilmi tahu betul
Putri sudah mendapat uang saku yang
sangat mencukupi dari orang tuanya.
“Cie-cie udah kayak Ibu guru beneran sekarang ya Put”
Goda Ilmi pada sahabatnya itu setelah melihat murid-muridnya telah pulang.
“Hehehe…gimana-gimana? Keren kan Mi gaya ngajar aku?”
“Ya..ya..ya…pastinya…pastinya lebih baik daripada Bu
Teti guru Matematika kita yang gak pernah senyum dan super Killer itu”.
“Hehehe..kamu bisa aja”
Mereka terhanyut sejenak pada masa-masa sekolah mereka
dulu, bagaimana mereka harus mengahadpi guru-guru dengan karakter yang
berbeda-beda setiap harinya.
“Kamu kok masih mau ngajar Put? Gak capek udah
seharian di kampus?”
“Capek sebenarnya, tapi orang tua mereka minta tolong
karena nilai matematika anaknya yang sangat jelek. Aku gak enak menolak Mi.
Hitung-hitung latihan sebelum jadi guru beneran, dan sekalian berbagi Ilmu kan
berpahala”.
Ilmi tertegun mendengarnya, Ia salut dengan Putrid an
kemuliaan hatinya. Ia juga bersyukur Allah mempertemukannnya dengan sahabat
sebaik dia.
Keesokan harinya seperti biasa Ilmi kembali bekerja
seperti biasanya. Saat sedang menghitung belanjaan pembeli, Ia se melihat
seseorang yang sepertinya dia kenal. Setelah meyakinkan penglihatannya, iya
yakin bahwa orang tersebut Ikhwan yang terlihat sedang mencari beberapa
barang-barang.
Ikhwan pun membayar barang-barang yang telah
dipilihnya. Selesai memberikan struk belanjaan dan kembalian uangnya. Mereka
sempat berbincang-bincang. Ikhwan memang sering ke Supermarket tempat Ilmi
bekerja, namun selama ini dia hanya menemui pamannya. Baru kali ini Ikhwan
berbelanja disitu. Ikhwan juga dikenal Ilmi sebagai pribadi yang ramah.
Kebetulan pembeli sedang sepi, jadi bincang-bincang
yang terjadi tidak mengganggu kerja Ilmi. Saat sedang bercerita Ikhwan kemudian
meminta nomor handphone Ilmi yang membuat Ilmi sedikit terkejut dan heran.
Ikhwan mengatakan bahwa ia meminta nomor Ilmi guna dapat memberitahukan apa
saja yang harus ditingkatkannya dalam bekerja karena pamannya sering
menceritakan prihal karyawannya padanya. Ilmi pun memberikan saja nomor
handphonenya tanpa ada prasangka lain di hatinya.
Mulai saat itu Ikhwan memang sering mengsmsnya. Sms
yang dikirim Ikhwan pun memang sebatas saran-saran tentang pekerjaannya. Namun
makin hari sms itu tak lagi berisikan saran, hanyalah kata-kata humor yang
terkadang menggelitik hati Ilmi. Ilmi juga masih menganggap biasa hal itu.
Suaatu hari saat Ilmi hendak pulang kerja tiba-tiba
Ikhwan datang, Ikhwan mengatakan ada urusan sebentar dengan pamannya dan
memberi tawaran padanya untuk diantar pulang. Ilmi menolak tawaran tersebut,
disamping karena jarak tempat bekerjanya tersebut masih dalam jarak tempuh
jalan kaki, Ilmi juga segan jikalau terlihat oleh Putri. Namun Ikhwan tetap
memaksanya dengan beribu alasan. Ilmi tidak dapat menolak, dan akhirnya sore
itu dia diantar pulang oleh Ikhwan.
Saat tiba di depan kos Putri, Ilmi segera menyuruh
Ikhwan pulang takut jika terlihat oleh Putri. Ilmi merasah bersalah dalam
hatinya dan segera masuk dengan terburu-buru. Didalam terlihat Putri baru
selesai mandi. Dikarenakan perasaan bersalah di hatinya, Ilmi jadi salah
tingkah ddidepan Putri. Putri sedikit aneh dengan sikap yang ditunjukkan oleh
Ilmi.
Pada malam hari saat sedang menonton tv bersama Putri,
Ilmi dikejutkan dengan sms yang diterimanya dari Ikhwan yang berisikan tentang
perasaannya yang selama ini menyimpan perasaan terhadap dirinya. Tubuh Ilmi
bergetar membacanya, sms itu dibacanya berulang-ulang namun ia masih bingung
harus membalas apa.
“Kamu kok gelisah gitu Put?, sms dari siapa?” tanya
Putri padanya setelah melihat ekspresinya yang mungkin tidak biasa.
“Gak apa-apa kok Put, perutku agak sedikit mules”.
Ilmi terpaksa membohonginya karena tidak mungkin memberitahukan is isms yang
pastinya akan melukai hati Putri tersebut.
Ilmi tidak menyangka dibalik perhatian yang diberikan
Ikhwan selama ini padanya tersimpan maksud lain, tapi Ilmi masih tidak habis
fikir karena selama ini dia menyangka Ikhwan benar-benar menyayangi Putri
dengan setulus hati. Fikirannya benar-benar kacau saat itu. Dia tidak mungkin
menerima Ikhwan karena tidak ada perasaan special sedikitpun di hatinya pada
Pria tersebut. Ditambah lagi Putri adalah sahabat yang sudah dianggapnya
sebagai saudara yang tidak mungkin sanggup untuk dia sakiti.
Berkali-kali Ikhwan mengirimkan sms meminta balasan
atas segala curahan hatinya namun tidak satupun digubris oleh Ilmi. Ia hanya
menganggap angin lalu saja.
Keesokan harinya saat Ilmi berangkat kerja Ia melihat
sosok lelaki mirip dengan Ikhwan yang berdiri didepan Supermarket tempatnya
bekerja. Ilmi merasa Ikhwan sudah kelewatan jika sampai harus memperpanjang
urusan ini. Baginya dengan tidak membalas sms tersebut sudah menggambarkan
penolakan dari dirinya. Ilmi tidak menghiraukan keberadaan Ikhwan dan mencoba
langsung hendak masuk kedalam supermarket tersebut. Namun Ikhwan ternyata
menghampirinya dan menarik tangannya.
“Kenapa kamu gak balas sms aku Mi?”
“Maaf wan, aku mau kerja, masalah sms itu, aku sengaja
tidak balas karena aku anggap itu tidak penting untuk dibahas”.
“Kamu kok ngomong gitu? Salah Mi aku suka dan sayan
gsama kamu?”
“Iya jelas salah, kamu bisa mikir gak sih posisi aku
gimana? Bagaimana aku selama ini menumpang hidup dengan Putri, tidak mungkin
aku bisa menyakitinya”.
“Aku beneran sayang sama kamu Mi, dari awal lihat kamu
aku udah ngereasa ada feel sama kamu, kamu beda dari perempuan lain yang setiap
harinya buat aku semakin tertarik”.
“Bulshiit….aku gak nyangka wan kamu bisa mempemainkan
Putri seperti ini, dia itu sayang sama kamu, dan aku sedikitpun tidak punya
perasaan apapun selain rasa hutang budi karena menolongku mendapatkan pekerjaan
ini. Aku fikir kamu Ikhlas wan, ternyata ada maksud dibalik semua kebaikan
kamu”.
“Gak Mi, aku ikhlas bantu kamu, tapi seperti yang aku
bilang, aku benar-benar suka sama kamu semenjak pertama kita jumpa, aku sering
datang ke supermarket ini berpura-pura bertemu paman padahal aku senang
melihatmu Mi.”
Ilmi benar-benar terkejut mendengarnya, ia tidak
menyangka selama ini Ikhwan hanya berpura-pura menemui pamannya dengan maksud
lain dihatinya.
“Maaf wan, aku tidak bisa balas perasaanmu ke aku,
Putri segalanya untukku, dia sahabat terbaikku, aku tidak mungkin menyakitinya,
dan aku mohon kamu belajar sayangi dia dengan setulus hati”.
“Aku gak bisa Put, aku udah coba, tapi perasaanku
untuk dia tidak lebih dari seorang teman, kebaikannya selama ini yang membuat
aku tidak bisa menjauh darinya”.
Sesaat setelah Ikhwan menyelesaikan kata-kata
terakhirnya, terdengar suara kunci terjatuh dari jarak yang tidak begitu dekat.
Mereka terkejut karena ternyata Putri mendegar pembicaraan mereka. Belum sempat
Ilmi berteriak memanggilnya Putri sudah duluan pergi berlari dengan
terburu-buru.
Ilmi mohon izin untuk tidak masuk bekerja pada hari
itu dengan atasannya. Dia langsung lari mengejar Putrid an membiarkan Ikhwan
yang berdiri mematung tanpa tahu harus berbuat apa.
Sesampainya dirumah Ilmi tidak bisa menemui Putri
karena dia mengurung diri dikamar, Ilmi tidak menyangka Putri mendegar semua
pembicaraan mereka karena ternyata Putri menyusulnya untuk mengantarkan kunci
rumah yang terlupa dibawah olehnya.
“Put please buka pintunya, aku bisa jelasin semua sama
kamu, kamu pasti salah faham Put”.
Tidak ada sahutan dari dalam kamar, tapi perlahan
terdengar suara isak tangisnya. Ilmi benar-benar merasa bersalah, bagaimanapun
juga ia mengerti rasa sakit yang dirasakan oleh Putri.
Lama Ilmi mengetuk pintu namun tidak juga dibukakan
oleh Putri.
“Kalau mau marah, marah lah Put, mau usir aku juga
tidak apa-apa, aku akan pergi, tapi please maafin aku dan dengar dulu
penjelasanku”.
Tak lama kemudian pintu pun terbuka, Putri keluar
dengan mata yang berlinangan, Ilmi pun segera memeluknya dan mengusap air
matanya.
“Maafin aku Put, aku yang salah”
“Udah gak perlu minta maaf, aku dengar semuanya kok,
kamu gak salah Mi, aku aja yang bodoh selama ini terlalu berharap padanya”.
Hati Ilmi ikut teriris mendegarnya, dia tidak
menyangka Ikhwan tidak bisa membalas perasaan dari seorang gadis sebaik Putri.
Putri pun akhhirnya bisa menerima yang
telah terjadi. Semenjak saat itu dia tidak pernah lagi berkomunikasi dengan
Ikhwan. Ikhwan benar-benar merasa malu setelah kejadian itu hingga tak pernah
lagi menampakkan batang hidungnya setelah mengirimkan sms permohonan maafnya
pada Putri.
Putri pun memaafkannya karena dia tahu perasaan tidak
bisa dipaksa, dia pun mengambil hikmah dari semua yang telah terjadi karena
dengan adanya kejadian itu dia jadi tahu yang sebenarnya dan tidak lagi
berharap apapun dari Ikhwan.
Untungnya permasalahan itu tidak sampai merambat ke
pekerjaan Ilmi, Ilmi tetap bekerja di tempat tersebut dan tidak lagi pernah
melihat sosok Ikhwan yang datag dengan beribu alasan.